Lapangan Banteng, Ruang Publik yang Terus Bertransformasi dari Masa ke Masa

Lapangan Banteng, Ruang Publik yang Terus Bertransformasi dari Masa ke Masa
info gambar utama

Jakarta merupakan salah satu kota besar yang terus berkembang. Baik pemerintah maupun warganya tidak pernah kehilangan akal untuk mengisi kota dengan berbagai hal baru. Upaya tersebut juga dilakukukan di salah satu ruang publiknya yaitu Lapangan Banteng.

Saat ini lapangan dengan luas 5,2 hektare tersebut merupakan salah satu ruang publik Jakarta yang terkenal. Tempat tersebut sering menjadi sarana warga Jakarta melakukan aktivitas mulai dari tempat berbagai macam festival, olahraga, kagiatan seni hingga untuk sekedar tempat nongkrong. Arsitekturnya yang modern dan unik banyak menarik minat warga Jakarta untuk meluangkan waktunya di lokasi tersebut.

Kawasan Lapangan Banteng mulai dilirik semenjak wajah barunya yang muncul secara resmi pada 25 Juli 2018. Sebelumnya kawasan tersebut memang telah direvitalisasi atau coba dihidupkan kembali sejak November 2017.

Menurut Dinas DKI Jakarta revitalisasi yang sudah dicanangkan Basuki Tjahaja Purnama sejak 2016 tersebut menghabiskan dana sebesar Rp 60 miliar. Dana yang besar tersebut ditanggung secara utuh oleh pihak swasta sesuai skema kompensasi pelampauan koefisien lantai bangunan dan dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Dari berpindah tangan hingga beralih fungsi

Menurut catatan De Haan pada tahun 1935 pada masa JP Coen membangun kota Batavia (sebutan Jakarta pada saat itu), lokasi Lapangan Banteng masih merupakan hutan belantara, namun lokasi ini resmi menjadi milik Anthony Paviljoen pada 1632. Saat itu lapangan tersebut pun diberi nama sesuai pemiliknyaa yaitu Lapangan Paviljoen.

Pada masa kepemilikannya Paviljoen menyewakan beberapa bagian dari lahan tersebut untuk ditanami tebu dan sayur-sayuran oleh orang Tionghoa. Ia pun hanya menyisakan sedikit lahan untuk dirinya beternak sapi.

Setelah Paviljoen, kepemilikan kawasan tersebut terus berpindah. Perpindahan kepemilikan dimulai dari Cornelis Chastelin yang seorang anggota Dewan Hindia, pada masa itu lapangan tersebut berganti nama menjadi Waltervreden yang selanjutnya berpindah tangan kembali pada Justinus Vinck hingga Gubernur Jendral Van De Parra.

Pada abad ke-19 daerah sekitar Waltervreden mengalami perkembangan. Tak hanya kemunculan bangunan-bangunan baru, perkembangan tersebut juga mendorong kawasan Watervreden saat itu menjadi tempat berkumpul elite kota Batavia. Kawasan itu akhirnya menjadi tempat pertunjukan musik yang biasa ditonton para elite Batavia tiap sore hingga menjelang malam.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kawasan Lapangan Banteng dikenal sebagai lapangan singa, sebutan tersebut muncul karena adanya tugu singa yang berada di tengah lapangan.

Tugu yang merupakan peringatan kemenangan Belanda saat melakukan perang di Waterloo tersebut pun dirobohkan saat Jepang datang ke Indonesia. Namanya pun ikut berganti menjadi Lapangan Banteng karena daerah tersebut yang dianggap dulunya sering didatangi binatang liar, yang salah satunya adalah banteng.

Kartu Pos Batavia Weltevreden Waterlooplein yang menunjukkan patung singa pada Lapangan Singa yang sekarang disebut Lapangan Banteng | foto : dejadoel.blogspot.com
info gambar

Setelah masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia membangun sebuah Monumen Pembebasan Irian Barat di tengah Lapangan Banteng pada 1963. Patung yang dibuat memiliki bentuk seseorang yang sedang mematahkan rantai dengan posisi mengarah barat. Menurut pematung monumen tersebut, Edhi Sunarso, patung tersebut merupakan pernyataan Soekarno kepada dunia barat yang masih ingin membelenggu Indonesia.

Kondisi Lapangan Banteng yang kini semakin modern dan penuh fasilitas

Saat ini Lapagan Banteng dapat dinikmati warga Jakarta mulai pukul 05.00-22.00 WIB setiap harinya. Kawasan ini juga dipenuhi berbagai fasilitas pendukung, beberapa di antaranya ada keran air siap minum, taman bermain anak, jogging track hingga amphitheater.

Penampilan Air Terjun Menari | foto: infopublik.id
info gambar

Amphitheater sendiri dibangun menghadap ke air mancur yang berada di tengah lapangan banteng. Setiap akhir pekan pengunjung dapat menikmati pertunjukan air mancur menari yang disertai pancaran laser pada pukul 19.30, 20.30 dan 21.30 yang masing-maing berdurasi 30 menit.

Dinding sekitar monumen pembebasan papua barat yang di isi dengan tulisan-tulisan terkait Konfrensi Meja Bundar | foto: sinarmas.com
info gambar

Walaupun terlihat modern kawasan Lapangan Banteng tetap mencoba menjadi medium pembelajaran bagi warga Jakarta. Tak haya dari monumennya berbagai panel yang terdapat pada dinding di kawasan tersebut juga memiliki pesan sejarah. Terdapat sepuluh panel terkait salah satu peristiwa penting Indonesia yaitu Konferensi Meja Bundar yang di ada di dinding-dinding sekitar monumen.

Sumber: liputan6.com | liputan6.com | kompas.com | kompas.com | tempo.co | arsitekturindonesia.org

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini