Pelajaran Berharga Bangsa: Meninggalnya "Rudy" BJ Habibie

Pelajaran Berharga Bangsa: Meninggalnya "Rudy" BJ Habibie
info gambar utama

Banyak orang menangis ketika melihat laporan langsung TV prosesi pemakaman almarhum Prof. Bachrudin Jusuf Habibie dari rumah duka di kawasan Kuningan sampai Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

Saya pun terharu ketika melihat lautan manusia di sepanjang jalan mengelu-elukan iringan jenazah almarhum. Di antara kerumunan itu ada yang memberi hormat secara militer meskipun berbaju sipil.

Seorang pengemudi ojek daring kepercayaan keluarga saya di Jakarta, namanya Bang Ucup, mengunggah video pendek di akun FB-nya kerumunan masa di Pancoran, Jakarta, yang sedang menunggu prosesi jenazah pak Habibie lewat. Kebetulan Bang Ucup rumahnya di daerah Pancoran.

Dia pun mengunggah video ketika dia dan ibu-ibu berziarah di pusara pasangan Pak Habibie dan istri tercinta, Bu Ainun, sehabis upacara kenegaraan pemakaman.

Teman saya waktu kuliah tahun 1970-an pun juga menulis di akun FB-nya bahwa dia “mbrebes mili” (berlinang air mata) ketika melihat tayangan TV itu. Setelah itu banyak bermunculan tulisan-tulisan mengenang pak Habibie ini.

Memang almarhum patut dikenang dan diambil pelajaran berharga oleh bangsa ini.

BACA JUGA: "Tanpanya, Mungkin Saya Jadi Penjual Es di Tebet"

Terlepas dari dinamika politik nasional yang terjadi dari ketika pak Habibie pulang dari Jerman ke Tanah Air dan menduduki berbagai jabatan sampai wakil presiden, ada yang kontra beliau karena keputusannya membuka referendum di Timor Timur, ketika beliau membangun industri strategis yang dianggap oleh pemrotesnya sebagai menghambur-hamburkan uang negara, dan “menjegalnya” dari kursi kepresidenan (yang sebenarnya beliau tidak “pateken” atau tidak ingin menadi presiden). Namun harus jujur kita akui negara ini kehilangan orang pandai dan sangat religius, dan sangat cinta negaranya.

Pak Habibie atau Rudy, demikian dipanggilnya yang lahir pada tanggal 25 Juni 1936 di daerah pantai yang sunyi di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, adalah anak ke-4 dari 8 bersaudara. Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie, PNS pertanian yang mempromosikan pengembangan tanaman cengkeh dan kacang. Kakeknya seorang ulama di Pare-Pare.

Kehebatan pak Habibie dalam bidang pesawat terbang memang sudah muncul sejak kecilnya, yaitu punya hobi membuat model pesawat terbang selain renang, membaca dan naik kuda milik ayahnya. Tahun 1950 ketika “Rudy” berumur 13 tahun, ayahnya wafat karena sakit jantung (pak “Rudy” juga wafat karena sakit jantung), mantan presiden Soeharto yang waktu itu sebagai perwira muda TNI AD berada di sisi almarhum ayahnya.

Karena itu beliau menganggap pak Harto sebagai ayahnya sejak ayahnya wafat. Media barat mengutip otobiografinya Pak Harto yang menulis pernyataannya tentang Habibie ”regards me as his -own parent. He always asks for my guidance and takes down notes on philosophy”.

BACA JUGA: Tulisan Fiersa Besari dan Masa Kecilku tentang Habibie

Hasil pendidikannya di ITB dan Aachen Institute Jerman dan pengalaman kerjanya di Messerchmitt Boelkow Bluhn sampai menduduki jabatan wakil presiden perusahaan besar ini, membuat almarhum punya obsesi membangun industri pesawat terbang nasional- sepertinya ini obsesinya sejak kecil dulu di Pare-Pare.

Banyak yang mengkritik obsesinya tersebut. Tapi tidak dapat dimungkiri para pengkritik ini juga mengakui bahwa pak Habibie itu orang Indonesia yang ikut merancang pembuatan pesawat-pesawat terbang di dunia ini.

Termasuk pesawat jenis DO-31 di Jerman, sebuah pesawat inovatif yang bisa lepas landas dan mendarat secara vertikal. Para pengkritiknya juga mengakui bahwa pak Habibie adalah ilmuwan pertama yang menghitung penyebaran keretakan di pesawatt.

The first scientist to calculate the dynamics of random crack propagation” kata media barat. Bahkan beliau terlibat pemasaran pesawat terbang secara global dan pengembangan pertahanan NATO.

Media barat juga mengkritik beliau memiliki pemikiran “leapfrog”. Dalam pembangunan teknologi di Indonesia, yaitu dari industri yang “low skill industries” langsung melompat ke “high-tech ventures” karena Indonesia sebagai negara bekembang banyak memiliki SDM “Low –Skill”.

Kritikan-kritikan yang bernada negatif dan pesimis itu ditunjukkan dengan kerja nyata pak Habibie ketika IPTN di bawah kepimimpinannya dibantu dengan insinyur-insinyur muda lulusan ITB,

BACA JUGA: Kenapa BJ Habibie Dijuluki Mr. Crack?

ITS dan berbagai Universitas di Indonesia berhasil menerbangkan pertama kali pesawat N-250. Sayang proyek gemilang ini behenti di tengah jalan karena krisis ekonomi (atas desakan IMF) dan dinamika politik nasional yang panas.

Saya yang termasuk banyak membaca pikiran-pikiran pak Habibie ketika beliau mengembangkan industri strategis nasional (antara lain PT. PINDAD, PT. PAL, dan IPTN), bisa memahami cara berpikir beliau yang “melompat” tadi, karena beliau selalu menjelaskan dengan memberi contoh bahwa kalau seonggok besi yang beratnya sekian ton dibiarkan terrbengkelai begitu saja, tentu menjadi rongsokan-besi tua dan tidak ada harganya, namun besi tersebut kalau diberi “value added” teknologi akan menjadi pesawat terbang yang harganya miliaran rupiah.

Beliau juga sering memberi contoh Korea Selatan yang dengan cepat membangun industri perkapalan. Kalau Korea Selatan bisa kenapa kita tidak bisa, begitu jalan pikiran pak Habibie.

Karena itu bagi beliau peningkatan mutu SDM Indonesia, terutama di bidang penguasaan teknologi adalah suatu kewajiban dan mutlak. Bila mengatakan perlunya Indonesia meningkatkan SDM dan teknologi, mata beliau terbuka lebar dan menatap tajam lawan bicaranya menunjukkan betapa seriusnya soal ini.

BACA JUGA: Undang-Undang Pers, Salah Satu Warisan B.J. Habibie

Di bidang urusan negara, Pak Habibie dikritik tidak tahu politik (karena beliau ilmuwan), namun ternyata ketika menjadi presiden, meskipun dalam waktu singkat, banyak hal positif yang dihasilkan antara lain dengan membuka kran kebebasan pers dari era otoriter ke arah kebebasan (hasilnya kita saksikan sampai sekarang); menandatangani UU Zakat nomor 38/99, yang membuat pertama kali di Indonesia zakat sebagai hal yang penting sehingga harus diatur negara, dan melahirkan BAZNAS, sebuah lembaga zakat yang dikelola negara.

Dalam urusan internasional, pak Habibie juga berani blak-blakan mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan pendapat pimpinan negara lain tentang Timor Timur waktu itu, bahkan berani menyebut Singapura sebagai “The Little Red Dots”, negara yang hanya tergambar titik-titik merah di antara gambar peta Indonesia yang luas (kala itu para politisi dan warga Singapura tersinggung dengan ucapan beliau, tapi sekarang ungkapan itu malah menjadi kebanggaan, karena meskipun negara yang hanya titik-titik saja tapi pintar).

Berani blak-blakan dengan mitranya di luar negeri karena beliau berpikir rasional dan yang penting beliau lancar berbahasa asing seperti Inggris dan Jerman. Karena itu beliau sebagai orang Indonesia tidak kikuk, menundukkan kepala atau “minder” berhadapan dengan orang asing.

Di antara banyak pelajaran dari wafatnya pak Habibie ini adalah antara lain: kalau ada anak-anak bangsa yang cerdas, pintar teknologi, dan bidang-bidang lain, yang jujur-religius dan punya komitmen untuk membangun NKRI ini seperti pak Habibie (beliau pernah ditawari menjadi warga negara Jerman oleh pemerintah Jerman, tapi beliau menolak karena masih cinta NKRI), maka perlu dipertahankan, dan dikembangkan, karena mereka itu aset bangsa yang sangat berharga.

BACA JUGA: Duel Udara Pesawat R80 vs ATR dan Bombardier

Jangan pernah meremehkan atau mengejek kemampuan mereka, dan jangan sampai nanti ada karya anak bangsa yang gemilang berhenti di tengah jalan karena terjegal oleh perebutan kepentingan politik jangka pendek.

Sehubungan dengan itu menutup tulisan ini, saya pakai kata populernya Cak Lontong alumni ITS yang menjadi komedian terkenal itu: “MIKIR..!!!”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini