Di Bali, Skizofernia dari Cercaan Jadi Kebanggaan

Di Bali, Skizofernia dari Cercaan Jadi Kebanggaan
info gambar utama

“Skizofrenia bukan gila,” ujar I Nyoman Sudiasa dengan bangga.

Pria berusia 45 tahun tersebut, hingga 4 tahun lalu, tidak menyadari kondisi schizophrenia yang dialaminya selama lebih dari 10 tahun.

“Saya sering merasa aneh, cemas, dan curiga terhadap orang lain, termasuk istri saya. Saya merasa semua orang memperhatikan saya dan saya menjadi depresi.”

Istrinya, Ni Putu Sri Ayu Astuti, juga merasa stres dalam menghadapi suaminya dan ketidakmampuannya dalam mempertahankan pekerjaan. Himpitan finansial dan emosional ia hadapi sehari-hari, tetapi ia bertahan untuk suami dan anak-anaknya.

Sampai akhirnya I Nyoman Sudiasa bertemu dengan Dr I Gusti Rai Wiguna yang memberikan jawaban atas misteri kondisinya – skizofrenia, kondisi kesehatan jiwa ekstrim yang menimpa sekitar 21 juta orang di dunia.

I Nyoman Sudiasa. Foto: Our Better World
info gambar

Dengan bantuan dari aktivis sekaligus seniman Budi A. K. Kabul, Dr.Rai menginisiasi Rumah Berdaya pada tahun 2015, komunitas di mana orang-orang dengan skizofrenia dapat berkumpul, belajar untuk mengekspresikan diri sendiri, dan belajar keterampilan baru dengan bantuan dari para relawan.

Ke-76 anggotanya belajar keterampilan seperti melukis, membuat dupa, memproduksi minyak kelapa, dan membuat kue, yang membantu mereka menambah penghasilan. Banyak dari pasien membutuhkan banyak uang untuk mengobati penyakit mereka, sehingga tambahan penghasilan membantu mengurangi tekanan finansial terhadap keluarganya.

Budi melihat manfaat jangka panjang dari program ini, selain dukungan penghasilan.

“Terdapat dampak sangat positif ketika produk-produk dari anggota kami berhasil dijual. Itu membuat mereka merasa pekerjaan mereka diapresiasi oleh masyarakat, terlebih saat penderita skizofernia memiliki stigma di masyarakat,” ujarnya pada Our Better World, inisiatif kisah inspiratif dari Singapore International Foundation.

Gotong Royong

Salah satu misi Rumah Berdaya adalah mendorong interaksi yang lebih baik antara para penderita skizofernia, keluarganya, dan masyarakat. Khususnya, dalam hal pemahaman mengenai “pemasungan” yang sering terjadi pada saat anggota keluarga mengalami penyakit kesehatan jiwa.

Dr.Rai, yang telah berhadapan dengan kasus-kasus pasien yang dipasung, mengatakan bahwa keluarga tak sepenuhnya bisa disalahkan, “Keluarga juga merupakan korban. Jika mereka memiliki pilihan, mereka tidak mungkin memasung anggota keluarga.”

Seringkali, keluarga mengunci anggota keluarga dengan penyakit kesehatan jiwa di dalam rumah untuk mencegah mereka melukai diri atau tersesat. Meskipun pemerintah Indonesia telah melarang pemasungan sejak tahun 1977, masalah tersebut belum sepenuhnya hilang, dengan sekitar 14 juta masyarakat dengan gangguan jiwa memiliki resiko tinggi.

Nyoman, dengan dukungan dari Rumah Berdaya dan keluarganya, mulai memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Sebagai coordinator Rumah Berdaya, Nyoma percaya bahwa karyanya “memberikan bukti bahwa kami dapat berintegrasi dengan masyarakat secara alami.”

Ayo Bercerita

Ada ide mengenai dukungan yang dapat dilakukan oleh individu, keluarga, dan masyarakat untuk membantu orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa? Berikan pendapat anda di forum.

A story by Our Better World– telling stories of good to inspire action

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Indah Gilang Pusparani lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Indah Gilang Pusparani.

Terima kasih telah membaca sampai di sini