Ki Hadjar Dewantara dan Warisan Konsep Pendidikannya

Ki Hadjar Dewantara dan Warisan Konsep Pendidikannya
info gambar utama

Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional. Dalam sejarah pergerekan Indonesia, kita mengenal istilah Tiga Serangkai; E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka mendirikan partai yang dikenal dengan sebutan Indische Partij pada 25 Desember 1912.

Perjalanan politik dan pendidikan Ki Hajar Dewantara mempertemukannya dengan gagasan pendidikan Friedrich Wilhelm August (1782-1852) tentang permainan sebagai media pembelajaran dan gagasan Maria Montessori (1870-1952) yaitu memberi kemerdekaan kepada anaka-anak.

Kedua gagasan ini menjadi dasar berpikir serta pondasi untuk pengembangan Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara setelah pulang dari Belanda pada tahun 1922. Terbatasnya akses pendidikan bagi bangsa Indonesia pada masa kolonialisme Belanda menjadi salah satu alasan Ki Hajar mendirikan perguruan Taman Siswa.

Sekolah-sekolah yang ada yang didirikan oleh pemerintah penjajah pun kurang menguntungkan bagi bangsa ini. Sekolah-sekolah seperti HIS dan MULO dibuat demi kepentingan Belanda sendiri, yaitu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja siap pakai.

Perguruan Taman Siswa

Perguruan Taman Siswa

Ilustrasi: Pendopo Taman Siswa | Sumber: psikologi.ustjogja.ac.id

Perguruan Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini kemudian berkembang luas baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa, seperti Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon.

Tujuan Perguruan Taman Siswa itu adalah menuju Indonesia merdeka, demi terwujudnya masyarakat tertib dan damai. Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Nasional Taman Siswa adalah antitesa terhadap sistem pendidikan bangsa kolonial yang bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Pendidikan seperti ini yang mengekang dan menindas anaka-anak.

Singkatnya didirikan taman siswa ini sebagai bentuk pembentukan karakter bumiputera pelajar di Indonesia. Dikarenakan sistem pendidikan masa kolonial yang sangat mengekang dan hanya ditunjukan untuk mendapat ijazah dan menghasilkan kaum siap kerja.

Dilansir dari Artikel Tirto.id, dasar pemikiran di balik pembangunan Taman Siswa memang bertujuan membentuk karakter siswa yang berasas nasionalisme. Maka tidak heran bahwa sedari awal pembangunannya, Taman Siswa sudah menyatakan diri sebagai Lembaga Pengajaran Nasional.

Dalam pelaksanaan kegiatan ajar, Taman Siswa menyelenggarakan sistem pendidikan yang dapat membentuk karakter siswa berlandaskan budaya bangsa. Salah satu tujuannya adalah mempercepat kemerdekaan yang sejak lama dicita-citakan kaum nasionalis.

Perguruan Taman Siswa juga didirikan untuk menampung minat masyarakat Hindia yang ingin bersekolah namun terkendala oleh berbagai hal, termasuk status sosial. Sebab, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu lebih diperuntukkan bagi kaum bangsawan maupun pangreh praja (pegawai pemerintah), sehingga rakyat jelata tidak bisa bersekolah.

Kehadiran Perguruan Taman Siswa membuka kesempatan bagi semua orang untuk bisa bersekolah secara mudah dan murah. Mudah karena tidak ada persyaratan-persyaratan khusus, sedangkan murah dalam artian biayanya terjangkau oleh semua golongan. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu delapan tahun (1922-1930) jumlah Perguruan Taman Siswa telah mencapai 100 cabang dengan jumlah puluhan ribu murid.

Patrap Triloka, Tri No, dan Tri Pusat

Patrap Triloka Ki Hajar Dewantara

Ilustrasi: Patrap Triloka | Sumber: himaindonesia.com

Perguruan Taman Siswa memiliki pedoman bagi seorang guru yang disebut Patrap Triloka dan Tripusat. Konsep yang sangat populer ini dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori dan Rabindranath Tagore. Unsur-unsur dari Patrap Triloka yang menjadi dasar kerja seorang guru sebagai berikut:

  1. Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan)
  2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun karsa/semangat/kemauan)
  3. Tut wuri handayani (dari belakang mendukung)

Konsep Tri No ini relevan untuk praktik pendidikan sekolah atau guru, yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton, nonton di sini adalah secara pasif dengan segenap panca indera. Niteni, adalah menandai, mempelajari, mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan Nirokke yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi perkembangan anak.

Sedangkan konsep selanjutnya, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat.

Kesempurnaan pendidikan dalam masyarakat akan terwujud apabila orang-orang yang berkepentingan, yaitu orangtua, tokoh masyarakat, guru-guru dengan anak atau pemuda, bersatu paham, misal dalam bidang agama, bidang politik, dalam kebangsaan, sehingga sistem Tri Pusat Pendidikan itu akan tercapai. Terwujudnya Tri Pusat Pendidikan akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa ini yang berkarakter Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Para pemimpin yang diidealkan Ki Hadjar Dewantara ini di masa depan akan menghasilkan pemimpin yang tangguh karena merupakan pemimpin yang disiplin terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat.

TanSumber: tirto.id, 1001indonesia.net, geotimes.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini