Di Kota Ini, Meriam Menjadi Suatu Simbol Perayaan Hari Besar

Di Kota Ini, Meriam Menjadi Suatu Simbol Perayaan Hari Besar
info gambar utama

Jika di beberapa daerah makanan atau minuman menjadi suatu simbol untuk merayakan hari spesial, di provinsi bagian barat Indonesia ini bebeda lagi. Disini, tepatnya Aceh perayaan hari lebaran dirayakan dengan pesta meriam yang turut mengundang berbagai kolega dan tetangga sekitar rumahnya.

Memasuki lebaran Idul Fitri, sebagian warga Aceh sibuk dengan acara tradisi adu meriam karbit. Persiapan itu biasanya dilakukan satu hari sebelumnya, mulai dari merancang bambu sebagai wujud meriam dan drum minyak atau benda bermaterial baja lainya disulap menjadi bedil raksasa yang siap untuk ditandingkan dalam festival.

Pemuda-pemuda setempat menyulap cincin sumur, drum minyak, dan batang bambu, menjadi meriam. Selain itu, mereka juga ‘perang kembang api’. Tak tanggung-tanggung, donasi yang diperoleh dari masyarakat dan pemuda-pemuda desa yang merantau ke luar untuk membuat festival tersebut bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap tahunnya.

Tet Bude Trieng dan Tet Karbet

Foto: Tet Bude Trieng dan Tet Karbet | Sumber: vice.com/hendri-abik

Mengulik sedikit sejarah asal muasal toet bude trieng dan tet karbet, tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu yang dibawa turun-temurun orang Pidie.

Konon, tradisi ini adalah kebiasaan masyarakat Pidie untuk mengusir hama babi (let buy), namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1987 sudah ada meriam karbit pertama kali dibawa oleh Syeh Ali Topan dari Padang Tiji.

Pada masa konflik Aceh perang DII/TII dan DOM kegiatan ini tetap dilaksanakan walaupun kondisi Aceh pada saat itu sedang tidak aman,namun tidak menggugurkan semangat pemuda di Pidie untuk menyalakan meriam bambu tersebut.

Ada dua macam meriam yang di gunakan dalam kegiatan ini, meriam trieng yang berbahan baku minyak bensin dan minyak tanah, bambu yang panjangnya mencapai 2-4 meter dan kayu sebagai pembakar. Sedangkan meriam karbit yang berbahan baku karbit dan drum bekas, sekali bakar menghabiskan kan 2.5 ons karbit.

Festival dan Kemeriahannya

Di Aceh, beberapa masyarakatnya memiliki kebiasaan menyemarakkan malam lebaran Idul Fitri dengan mengadakan festival Tet Bude Trieng dan Tet Karbet (perang meriam bambu dan karbit).

Tradisi tersebut sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, terutama di sejumlah gampong dalam Kecamatan Indrajaya dan Kecamatan Delima.

Festival ini dulunya dilakukan pada malam lebaran Idul Fitri pertama. Namun dalam beberapa tahun terakhir, digelar pada malam hari raya Fitrah kedua. Hal ini berlaku setelah adanya lomba gema pawai takbir se-Kabupaten Pidie dan malam pertama Idul Fitri.

Festival Tet Bude Trieng dan Tet Karbet dimulai setelah berlalunya waktu Isya, sekitar jam 9 malam, hingga berakhir menjelang Subuh. Dari beberapa titik lokasi tet bude trieng dan tet karbet di Pidie, yang paling meriah terdapat di Kubang (Indrajaya) – Kongkong (Delima) dan Gampong Aree (Delima) – Garot (Indrajaya).

Suasana berubah menjadi seperti perang. Terdengar suara seperti ledakan bom, yang menggetarkan tanah dan kaca rumah. Suara itu berasal dari lokasi festival yang memanfaatkan bantaran sungai Krueng Baro sebagai arena perang. Kedua belah pihak saling adu meriam bambu dan karbit secara berhadap-hadapan dari kedua sisi bantaran sungai.

Keramian festival ini digelar sepanjang malam yang dimulai setelah salat Isya. Bahkan tak jarang tradisi ini berlangsung hingga pagi dan berakhir sekitar pukul 10.00 WIB.

Tradisi ini sangat menarik minat pengunjung dari kabupaten lain, sejumlah warga sengaja ke sana untuk mendengar atau merasakan langsung suara dan getaran meriam karbit. Misalnya dari Kota Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireuen, dan Aceh Besar.

Sumber: vice.com | wastha.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini