Rumah Cemara: Tentang Mengubah Stigma dan Berjuang di HWC

Rumah Cemara: Tentang Mengubah Stigma dan Berjuang di HWC
info gambar utama

Stigma yang melekat ke seseorang atau sekelompok orang, tak jarang membuat mereka yang mendapat stigma merasa terpinggirkan, terkucilkan, bahkan terasingkan dari masyarakat. Padahal, pada hakekatnya para anggota yang ter-stigma itu juga manusia, hanya saja sedang butuh perhatian lebih.

Di Indonesia, stigma sering kali menempel pada orang-orang yang termasuk golongan marjinal. Gelandangan, pengemis, PSK, waria, pengguna/konsumen narkoba, dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) adalah beberapa yang selalu mendapatkan stigma dan diskriminasi tersebut.

Dari golongan orang-orang yang selalu mendapatkan stigma dan diskriminasi itu, dua yang disebut terakhir coba dienyahkan stigmanya oleh Rumah Cemara, yang berlokasi di Jl. Gegerkalong Girang no. 52, Bandung.

Rumah Cemara merupakan sebuah organisasi yang memimpikan Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi, di mana semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk maju, memperoleh layanan HIV dan NAPZA yang bermutu, serta dilindungi sesuai konstitusi.

Saat dikunjungi Good News from Indonesia (GNFI), Gina Afriani Wulan Pratami selaku Coordinator Support for Development Rumah Cemara, menceritakan bagaimana upaya Rumah Cemara mengubah stigma masyarakat Indonesia tentang konsumen narkoba dan ODHA. Salah satunya dengan partisipasi di Homeless World Cup (HWC) 2019.

BACA JUGA: Piala Dunia U-20 2021 Bukan Garis Finis

HWC adalah sebuah turnamen sepak bola yang digagas oleh Homeless World Cup Foundation. Organisasi ini juga mendukung dan mengembangkan proyek akar rumput yang menggunakan sepak bola sebagai media untuk perubahan sosial.

Di HWC, para peserta diberi kesempatan untuk unjuk gigi mempertontonkan aksinya, dan membuktikan kalau mereka masih punya kesempatan berkarier, layaknya manusia pada umumnya.

Alm. Ginan, semasa hidupnya memperjuangkan keikutsertaan Indonesia di HWC | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

Salah satu pendiri Rumah Cemara, Alm. Ginan, menonton film Kicking It dan dari situlah muncul ketertarikan untuk mengajukan partisipasi. Waktu itu Alm. Ginan dibantu Katherine Otto, dan Aditia Taslim yang sekarang jadi direktur Rumah Cemara.

"HWC itu salah satu media yang digunakan oleh Rumah Cemara untuk bisa mengikis stigma dan diskriminasi, khususnya terhadap orang yang marginal. Marginal di sini ada ODHA, dan konsumen narkoba. Selain itu ada kelompok-kelompok yang menjadi konstituen dari Rumah Cemara yang sesuai dengan RenStra (Rencana Strategis), misalnya anak jalanan dan miskin kota," urainya.

Gina menuturkan, awal partisipasi Rumah Cemara mewakili Indonesia di Homeless World Cup dimulai tahun 2010 untuk turnamen Rio de Janeiro, namun di tahun tersebut tim Indonesia gagal diberangkatkan karena tidak berhasil mengumpulkan dana.

Jadi, baru di tahun 2011 bisa mengirim tim. Mereka dibantu dana sponsor dari sebuah perusahaan ternama Indonesia, yaitu Sidomuncul dan Kick Andy. Seiring waktu, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) turut memberikan dukungan.

"Itu (Kemenpora) juga sifatnya nggak langsung nutupin dana transport 12 orang berangkat tapi setengahnya dulu, berapa orang dulu, sampai sekarang udah full," ujar Gina.

BACA JUGA: Ada Pemain Indonesia di Deretan 10 Pemain Termahal Asia Tenggara

Persoalan dana ini pula yang membuat Rumah Cemara baru bisa mengirimkan satu tim putra, tanpa tim putri. Meski begitu, perempuan tetap bisa ikut bermain mewakili Indonesia di HWC, dengan masuk ke tim putra. Contohnya Eva Dewi Rahmadiani yang bermain di HWC 2018 dan Isye Susilawati yang bermain di HWC 2019 Cardiff.

Sedemikian antusiasnya Rumah Cemara ambil bagian di HWC, karena mereka yakin partisipasinya bisa membantu kampanye mengikis stigma di Indonesia.

"Kalau kita cuma cuap-cuap doang orang juga nggak akan aware juga kan sebenarnya," lanjut Gina, merujuk pada slogan #IndonesiaTanpaStigma yang diusung Rumah Cemara.

Peringkat 4, prestasi terbaik Indonesia di HWC sejauh ini | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

Mendunia dari Indonesia

Tahun ini adalah partisipasi yang ke-9 bagi Indonesia di HWC. Dari sekian lama perjalanannya di turnamen internasional ini, Indonesia telah meraih beraneka prestasi. Yang tertinggi peringkat 4 di lini pertama, tahun 2009.

"Jadi HWC itu misal 44 negara dibagi menjadi beberapa grup. Untuk penghargaan pun dibagi beberapa kriteria. Misalnya ada juara 1 HWC diambil dari peringkat 1-8, ada juara di layer dua untuk peringkat 9-16, ada juara di layer 3 untuk peringkat 17-24, dan seterusnya," kata Gina, menjelaskan sistem pemeringkatan di HWC.

Sayangnya, prestasi tim Rumah Cemara yang mewakili Indonesia di HWC tidak selalu mulus. Tahun ini misalnya, Indonesia hanya sanggup menempati peringkat 4 di layer ketiga.

"Tahun ini kita ada di layer ketiga. Dari peringkat 17-24. Kita ada di peringkat 20," ucap Gina.

BACA JUGA: Simson Situmorang, Atlet Renang Tanpa Tangan dan Kaki Utuh

Namun demikian, Rumah Cemara tidak mempermasalahkan penurunan prestasi yang dialami tim Indonesia. Sebab yang diutamakan adalah kampanyenya dalam mengikis stigma, bukan mengejar trofi.

"Masalah penurunan prestasi sebenarnya nggak jadi masalah. Buat pihak sponsor nggak jadi masalah buat jita juga nggak jadi masalah, karena yang terpenting adalah kampanyenya dan orang-orang yang berangkat memang adalah konstituen dari Rumah Cemara."

Gina Afriani Wulan Pratami, Coordinator Support for Development Rumah Cemara | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

Visi Rumah Cemara adalah Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi di mana setiap orang memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas terkait HIV, penggunaan narkoba, perlindungan hukum, aturan dan kebijakan berbasis Hak Asasi Manusia, serta kesempatan untuk berkembang.

Kemudian misi Rumah Cemara adalah berkontribusi pada respon nasional bagi HIV/AIDS dan pengguna narkoba, kebijakan, aturan dan hukum berbasis Hak Asasi Manusia, serta kesempatan untuk berkembang.

Rumah Cemara juga sempat memasukkan kriteria miskin kota, tapi mulai tahun ini dihapus. Itu karena Rumah Cemara memang ingin fokus kepada seluruh kelompok yang menjadi konstituen dari Rumah Cemara.

Perubahan mantan pemain

Moncernya para pemain timnas Indonesia di HWC turut berpengaruh pada perubahan hidup mereka setelahnya. Gina menceritakan, banyak mantan pemain Indonesia di HWC yang berubah menjadi lebih baik ketimbang sebelum bermain di HWC.

Acil contohnya. Dulunya dia anak jalanan yang tidurnya di pasar, tidak mau mandi, dan lebih suka nyeker. Setelah tampil di HWC, perubahan mulai terjadi padanya. Dia sekarang sudah mau mandi, mau tinggal indekos, dan sudah berkeluarga.

"Itu udah perubahan besar buat dia. Hidupnya jadi lebih teratur. Waktu HWC dapat hotel nggak mau tidur di kasur, pilih di bawah, karena dari kecil terbiasa gitu," ungkap Gina menceritakan pengalaman Acil saat berlaga di HWC.

BACA JUGA: Kilas Balik: Di Asian Games, Kita Akhirnya Bergembira Bersama

Contoh lainnya Jaka Arisandy, yang sekarang menjadi staf Sport for Development Rumah Cemara. Mantan pemain HWC 2015 ini dulunya miskin kota dan memiliki konflik keluarga.

Kebetulan di tahun selanjutnya organisasi HWC datang ke Indonesia dan mengadakan pekatihan wasit. Yang disasar pada saat itu adalah mantan pemain HWC, dan Jaka adalah satu-satunya dari Indonesia yang terpilih menjadi wasit untuk HWC.

Tahun 2019 adalah keempat kalinya bagi Jaka untuk terlibat di ajang HWC sebagai wasit. Hingga saat ini, hanya ada tiga wasit dari seluruh negara dengan latar belakang mantan pemain Homeless World Cup.

Jaka Arisandy, wasit HWC dari Indonesia | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

"Awalnya bukan wasit lisensi, tapi sekarang udah ambil lisensi," kata Jaka sambil tersenyum.

Ada lagi contoh lain di mana sepak bola dan Homeless World Cup bisa memberikan dampak positif. Salah satu mantan pemain HWC bernama Bonsu Hasibuan, dulu sering menumpang tidur di salah satu masjid ternama di Bandung.

Ia kemudian diajak bermain sepak bola. Teknik bermain bolanya sangat baik, lalu ikut seleksi HWC dan berhasil lolos sebagai pemain. Kiprahnya tidak berhenti sampai di situ. Dia juga menjadi pelatih dan manager untuk HWC selanjutnya.

Saat ini ia menjadi bagian dari klub futsal ternama, Vamos.

***

Rumah Cemara melalui salah satu media kampanyenya, Homeless World Cup, membuktikan bahwa orang-orang di golongan marginal bukan manusia yang tidak punya masa depan, bukan manusia yang hanya tinggal menunggu ajal akibat penyakitnya.

Mereka juga masih punya harapan, masih punya kesempatan untuk berkarya, asalkan ada lingkungan yang bisa mendukung mereka untuk berubah. Itulah pentingnya mengikis stigma.

Seperti kata Lisa Lieberman-wang, seorang penulis buku ternama: "Tidak perlu sempurna untuk menginspirasi orang lain. Biarkan orang terinspirasi oleh bagaimana kamu mengatasi ketidaksempurnaanmu."***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini