Nuklir dari Universitas Gadjah Mada

Nuklir dari Universitas Gadjah Mada
info gambar utama

Tim peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan prototipe baterai nuklir sebagai sumber energi listrik yang diperkirakan memiliki daya tahan hingga 40 tahun.

Ketua Tim peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Yudi Utomo Imardjoko mengatakan pengembangan prototipe baterai nuklir awalnya dibiayai oleh mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan. “Ini awalnya dulu didanai oleh Dahlan Iskan. Dia ingin agar dari teknologi nuklir Indonesia ada sesuatu yang bisa diciptakan, tidak hanya teoritis. Ini bukti kami sudah melakukan sesuatu yang ada hasilnya. Walaupun masih kecil itu tinggal ditingkatkan saja,” kata Yudi Utomo Imardjoko, ketua tim peneliti, Jumat, 22 November 2019.

Pendanaan pengembangan baterai itu kemudian dilanjutkan oleh Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Setelah dua tahun dikembangkan sejak 2017, proyek penelitian itu telah memunculkan hasil meski belum memuaskan.

"Ini kan masih kecil, efisiensinya masih rendah walaupun cukup tinggi kalau dibandingkan dengan di tempat lain," kata Yudi.

Namun, kata Yudi, penelitian ini terkendala oleh mahalnya komponen, yaitu plutonium 238 yang harus diimpor.

Untuk membuat prototipe tersebut, tim harus mendatangkan plutonium dari Rusia dengan harga 8.600 dolar AS per keping. Padahal harga aslinya di sana murah. “Harga per keping hanya 12 dolar Amerika tapi begitu sampai sini harganya itu 8.600 dolar Amerika per keping,” kata dia.

Dahlan Iskan yang hadir meninjau pengembangan baterai itu mengatakan bahwa kendala untuk mendapatkan plutonium 238 bisa teratasi apabila Indonesia memiliki reaktor torium sendiri sebab plutonium merupakan limbah dari torium.

Asisten peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Elly Ismail mengatakan ide pengembangan baterai nuklir berawal dari upaya mencari sumber tenaga yang kecil namun tahan lama.

Setelah mempelajari berbagai jurnal, nuklir menjadi pilihan karena dengan daya yang dimiliki baterai bisa bertahan hingga 40 tahun.

"Kalau baterai lithium itu setahun dua tahun sudah habis. Sedangkan baterai nuklir bisa sampai 40 tahun," kata dia.

Baterai nuklir itu dikemas dalam bentuk tabung. Daya listrik yang dihasilkan dari baterai itu, jelas dia, berasal dari pancaran radiasi plutonium 238 yang dikonversi menjadi cahaya tampak. Kemudian, cahaya tampak ditangkap dengan foto voltaik atau sel surya menjadi energi listrik.

Menurut Elly, baterai itu memungkinkan digunakan di daerah terpencil sebagai sumber energi alat sensor yang mampu mendeteksi siapa saja yang melalui wilayah perbatasan Indonesia.

Ke depan baterai itu memungkinkan digunakan sebagai sumber energi berbagai peralatan elektronik di Indonesia. "Asalkan teknologi kita sudah ukurannya mikro," demikian Elly.

Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Nizam mengungkapkan bahwa pihak fakultas mendorong para peneliti untuk dapat menghilirkan hasil-hasil riset agar tidak sekadar menjadi makalah. Maka diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah maupun masyarakat, untuk mewujudkan pemanfaatan energi nuklir di Indonesia.

“Menurut teman-teman salah satu yang potensial torium. Dari sisi teknologi kita sudah menguasai, jadi tidak perlu bergantung kepada impor. Teman-teman juga sudah bisa mewujudkan bagaimana limbahnya nanti bisa dimanfaatkan menjadi baterai,” kata Nizam.

Tetapi, menurut Yudi, tim UGM belum terpikirkan untuk mengembangkan baterai ini untuk kebutuhan mobil listrik. Sebab baterai nuklir ini untuk daya rendah arus DC. Namun, yang ingin ditunjukkan oleh peneliti adalah limbah torium bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat, seperti baterai nuklir (Pu-238). “Bisa dipakai untuk sumber daya alat pacu jantung, misalnya,” kata dia. Indonesia memiliki potensi tambang torium sebanyak 130 ribu ton dan uranium 74 ribu ton.

Sumber : CNN Indonesia | Tempo.co

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini