Rinding Gumbeng dan Sepercik Rasa Syukur

Rinding Gumbeng dan Sepercik Rasa Syukur
info gambar utama

Istimewa karena kental dengan budaya, mungkin hal itulah yang menggambarkan keindahan dari Yogyakarta.

Jika kita berkunjung ke sana kita akan disuguhkan dengan wilayah perkotaan yang masih bernuansa kerajaan, karena Yogyakarta dahulunya adalah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang sultan.

Delman, candi, rumah adat, lampu jalan, becak, bahkan hingga beberapa bangunan kerajaan yang masih jelas terlihat menjadi satu daya tarik bagi siapapun ketika berkunjung.

Oh iya! Orang-orang Jogja juga sangat ramah loh, mereka juga sadar dan bergerak sebagai pekerja seni di sebagian wilayahnya. Seperti membuat kampung wisata dan lainnya. Wah, pokoknya berkesan banget kalau jalan-jalan ke Jogja tuh...

Di sana banyak juga lho masyarakat yang masih memakai kebaya untuk pakaian harian, atau seperti para "Abdi Dalem" yang selalu memakai pakaian adat Jawa saat bertugas di Keraton. "Abdi Dalem" adalah sebutan untuk orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Keraton Yogyakarta.

Tak hanya itu, ternyata kehidupan bercocok tanam dan bertani merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jogja itu sendiri. Seperti pada masyarakat Gunung Kidul, panen adalah suatu kegiatan penting dan biasanya dilakukan secara bersama. Setelah panen maka akan dilakukannya ritual dalam rangka perayaan rasa syukur dengan mengalunkan musik dari kesenian Rinding Gumbeng.

Rinding Gumbeng adalah kesenian yang dimaikan setelah kegiatan panen. Masyarakat Jawa kuno percaya, melalui ritual yang dilakukan bersama kesenian itu akan menggambarkan koneksi antara manusia dengan kekuatan yang berkuasa atas pemberian rezeki tersebut.

Patung Dewi Sri | Foto: konten.co.id
info gambar

Dewi Sri adalah sosok yang tergambar sebagai penjaga padi. Melalui Rinding Gumbeng, diyakini bahwa Dewi Sri akan terhibur dan bahagia, sehingga kelak akan memberi mereka hasil panen yang lebih melimpah. Ketika itu, masyarakat membawa hasil panen pilihan untuk dipersembahkan kepadanya.

Alunan melodius nan kebatinan dari alat yang berasal dari bambu tersebut mengiringi hasil panen yang diarak hingga sampai ke lumbung. Kemeriahan suasana penuh khidmat dan gembira atas rezeki panen yang banyak juga menjadi ritual didalamnya.

Para pemain Rinding Gumbeng memakai kostum yang sangat sederhana. Para penabuh Gumbeng dan peniup Rinding biasanya hanya mengenakan baju dan celana warna hitam dengan ikat kepala dari kain batik, dan penyekarnya mengenakan baju kebaya khas petani desa dengan kain luriknya.

Seni musik tradisional inipun oleh warga Gunungkidul dijadikan sebagai tradisi ritual setelah panen.

Kini Rinding Gumbeng tidak hanya menjadi alat pengiring tradisi setelah panen, namun menjadi kolaborasi campursari dan musik-musik tradisional lainnya.


Referensi: id.wikipedia.org

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini