Belajar dari Masa Lalu, Bijak Sebelum Bersikap

Belajar dari Masa Lalu, Bijak Sebelum Bersikap
info gambar utama

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis Senior Good News From Indonesia

Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi global, majalah Inggris the Economist edisi 1-7 Nopember 1997 memuat karikatur yang menggambarkan situasi cepatnya sebuah rumor itu dapat mengakibatkan kebingungan massal di pasar saham dunia. Pada masa itu belum begitu populer kata “Hoax” atau “Fake News”. Karikatur itu meskipun dimuat tahun 1997 namun nampaknya masih relevan untuk masa sekarang yang marak dengan berita palsu beredar di sosmed tentang apapun, dari soal ekonomi, politik sampai soal pribadi. Dalam karikatur itu digambarkan seorang pengusaha atau pialang saham yang sedang menelepon mitra usahanya sambil mengatakan “I’ve a stock here that could really excel” yang terjemahan bebasnya adalah “saya memiliki saham yang bagus disini”. Dalam gambar karikatur itu nampak seseorang yang ikut mendengarkan percakapan itu sambil bertanya “really excel?”; selanjutnya orang lain yang juga ikut mendengarkan pertanyaan ini, dikarenakan – barangkali tidak mendengar dengan jelas, lalu yang terdengar ditelinganya hanya kata “Sell” atau “Jual”.

Dapat diterka, orang-orang lain yang mendengar kata yang salah itu segera menyebarkan ke khalayak ramai agar menjual saham yang dimilikinya. Dilain pihak, setelah menyebarnya isu “Jual” itu merebak luas dan menjadikan situasi pasar saham panik, ditempat lain pengusaha pertama yang ditilpun tadi bicara “This is a madness! I can’t take anymore, good bye!”, atau kira-kira maknanya “ini sudah benar-benar gila situasinya, saya sudah tidak tahan lagi, selamat tinggal”. Salahnya rekannya yang ikut mendengarkan pembicaraan ini hanya menangkap kata “bye” saja yang kedengarannya sama dengan kata buy”atau “beli”. Lalu seperti pada kejadian pertama, rumor lalu menyebar luas kemana-mana yang mengatakan adanya keharusan para pemilik/pemegang saham, atau investor agar melakukan aktivitas beli di lantai bursa.

Sumber : The Economist
info gambar

The Ecoomist itu berusaha menggambarkan bahwa kejadian “Crash” atau keruntuhan pasar bursa dunia (yang dimulai di New York, Amerika) sebenarnya akibat dari rumor atau isu yang tidak berdasar yang mengakibatkan kepanikan yang serius didunia pasar modal dan perbankan yang pada akhirnya meruntuhkan perekonomian suatu negara, karena terjadi “rush” dimana-mana. Kepanikan di pasar saham dan dunia perbankan tersebut menimbulkan efek domino kenegara-negara lainnya didunia ini. Kepanikan semacam itu adalah kepanikan yang bersumber pada berita “imaginary” atau tidak jelas jutrungnya, bisa akibat rekayasa, bisa juga akibat ada pihak yang ingin mengacaukan situasi.

Isu yang tidak berdasar itu tidak hanya pada soal saham atau soal perbankan, namun juga bisa soal sosial politik, misalkan isu wafatnya tokoh negara yang penting dan pengambil kebijakan negara, padahal tokoh yang bersangkutan masih hidup, segar bugar. Kita ingat almarhum bapak teknologi dan mantan Presiden Prof. B.J Habibie semasa hidupnya pernah diisukan meninggal dunia beberapa kali.

Pada jaman Revolusi industri 4.0 atau 5.0 sekarang ini dimana ada kemajuan teknologi IT yang begitu cepat lewat berbagai bentuk sosial media, berita-berita palsu – yang sekarang dikenal dengan “Hoax” dan “Fake News” itu, kecepatan beredarnya rumor yang tidak berdasar itu melebihi kecepatan berita palsu pada saat krisis ekonomi tahun 1997 itu. Pada teknologi jaman sekarang ini mudah bagi orang yang menyebar berita palsu seperti berita asli, karena ada photoshop, ada aplikasi yang mampu membuat video pidato palsu menyesatkan yang menggunakan wajah seorang tokoh penting misalkan presiden, ulama, selebriti dsb.

Sumber : Unsplash.com
info gambar

Didunia pertempuran brutal yang terjadi di Timur Tengah misalkan di Siria, Iraq,Yaman dan Libia, juga kadang muncul berita dan video pembantaian wanita dan anak-anak yang mengerikan, ternyata itu berita palsu yang dibuat pihak-pihak yang bertikai agar mendapatkan simpatasi dunia. Amerika Serikat sebelum melakukan penyerbuan besar-besaran ke Iraq, menyebarkan berita palsu bahwa Iraq layak diserbu karena pemerintahnya yang dipimpin mendian Saddam Husein membuat senjata pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia, dan Menteri Luar Negeri AS sebelumnya meyakinkan para anggota Dewan Keamanan PBB bahwa senjata pemusnah masal itu benar-benar ada. Ternyata setelah jutaan orang meninggal dunia akibat penyerbuan itu, negara Iraq hancur berantakan, senjata pemusnah yang diyakini ada itu – Tidak Ada.

Ada baiknya bangsa ini terutama para generasi muda belajar untuk bijak dalam menerima berita apapun harus ada check - recheck kebenaran suatu informasi, serta tidak boleh hanya mengandalkan satu referensi atau satu sumber saja. Perlu ada second opinion atas suatu berita atau informasi. Berita yang tidak benar perlu di “Test” atau diuji kebenarannya seperti didunia akademik, hipotesa yang ada di skripsi, tesis, disertasi perlu diuji terlebih dahulu betul tidaknya hipotesa yang ditulis, tepat tidaknya asusmsi yang dipakai dsb.

Berita palsu atau Hoax atau Fake News kalau tidak dicek kebenarannya akan beredar dengan kecepatan tinggi. Sayangnya penerima berita semacam ini adalah rakyat kebanyakan yang tidak faham soal rekayasa IT, dan itu jumlahnya banyak. Berita palsu yang menyebar cepat itu pada gilirannya dapat memecah persatuan bangsa, menimbulkan kebencian antar kelompok, antar pemeluk agama, antar suku dan golongan; dan ini sangat bahaya !.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini