Good Talk Jakarta vol. 3: Berkontribusi untuk Turunkan Suhu Bumi

Good Talk Jakarta vol. 3: Berkontribusi untuk Turunkan Suhu Bumi
info gambar utama

Perubahan iklim menjadi topik yang hangat diperbincangkan belakangan ini. Maraknya bencana alam akibat perubahan iklim, mulai dari banjir karena hujan lebat, sampai panas terik matahari yang berkepanjangan, menjadi fenomena alam yang tak bisa dipungkiri, karena ulah manusia sendiri.

Berawal dari isu tersebut, Good News from Indonesia (GNFI) mengadakan Good Talk vol. 3 dengan judul "Perubahan Iklim di Depan Mata, Kita Bisa Apa?"

Bertempat di Kolega x Markplus, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (24/1), acara ini menghadirkan tiga narasumber dengan latar belakang berbeda.

Pertama, ada Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M. Sc. Beliau adalah Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Narasumber kedua adalah Christian Natalie. Ia sekarang mengemban tugas sebagai Program Manager Hutan Itu Indonesia (HII).

Lalu yang ketiga adalah M. Hendro Utomo. Beliau merupakan pendiri Food Bank of Indonesia, yang didirikan tahun 2015.

Perbincangan dimulai dengan pemaparan Ruandha Agung tentang naiknya suhu di bumi. Beliau menyebutkan salah satu faktornya adalah meningkatnya emisi, persis seperti apa yang diungkapkan Greta Thunberg.

Greta, aktivis lingkungan berusia 17 tahun asal Swedia, dengan tegas mengatakan untuk menurunkan suhu bumi tidak bisa hanya dengan menurunkan emisi, tapi harus menghilangkan emisi.

Pak Dirjen kemudian menyambung opini ini dengan mengungkap fakta bahwa industri peternakan adalah salah satu penyumbang emisi terbesar di Indonesia, selain kendaraan bermotor.

Nah padahal, daging sendiri termasuk makanan favorit orang Indonesia. Setiap harinya selalu ada orang yang makan daging ayam, sapi, kambing, atau hewan-hewan lainnya. Bahkan sampai ada tren all you can eat daging sapi yang beredar di kalangan anak muda sekarang.

Lantas, bagaimana menyikapinya?

Hendro Utomo dari Food Bank of Indonesia menyarankan, masyarakat harus lebih memerhatikan dari mana makanan yang dikonsumsi itu berasal. Kalau dari prosesnya banyak menghasilkan karbon, maka sebaiknya dihindari.

Perubahan pola konsumsi ini pastinya akan butuh waktu, tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Industri pun pastinya akan berpikir ulang jika produk mereka tidak digemari lagi di pasar konsumen, dan kalau tidak menemukan opsi lain agar bisnisnya tetap sintas, maka akan mati perlahan.

Selain mengubah pola konsumsi makanan, cara lain yang bisa ditempuh adalah merawat lingkungan. Salah satunya dengan memperbanyak pohon. Christian Natalie dari HII menekankan, jangan hanya menanam saja lalu ditinggal, tapi juga dirawat.

"Sering kita lihat orang selfie sambil menanam pohon, menaruh bibit pohon, tapi kemudian ditinggal. Tidak disiram, (bibitnya) terbawa angin, jadi akan sia-sia," ucap Program Manager HII tersebut.

Bicara tentang pohon sendiri, Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah. Hutan tropis di negara kita adalah yang terbesar ketiga di dunia, dan hutan-hutan Indonesia disebut paru-paru dunia. Tapi sayangnya, dari tahun ke tahun kebakaran hutan terus melanda habitat alami flora fauna ini.

"Kebakaran paling besar terjadi di lahan gambut," terang Ruandha.

"Padahal hutan itu lebih dari sekadar pohon. Di dalamnya banyak manfaat lain yang terkandung," imbuh Christian yang biasa dipanggil Tian.

Berkaca dari situasi ini, langkah konservasi harus dilakukan. Ruandha menyodorkan solusi dengan program tanam 25 pohon secara berjenjang, untuk setiap orang Indonesia.

Caranya begini. Dimulai dari saat masuk SD, tiap satu orang siswa menanam lima pohon. Sewaktu naik ke SMP menanam lima lagi. Lalu ketika duduk di bangku SMA juga menanam lima. Kalau sudah lulus sebagai pelajar dan jadi mahasiswa, juga menanam lima lagi. Terakhir, kalau hendak menikah, sebelum ke KUA harus menanam lima pohon juga.

Dari jenjang-jenjang itu, total ada 25 pohon yang ditanam satu orang. Bayangkan kalau semua orang Indonesia melakukannya, betapa hijaunya negeri ini nantinya.

"Karena hutan juga sebagai identitas Indonesia," pungkas Tian menutup sesi pembicara.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini