Mamasa, Alam di Kota Berpagar Pegunungan

Mamasa, Alam di Kota Berpagar Pegunungan
info gambar utama

Berbagai wilayah di Indonesia memang menyimpan cerita tentang pusat peradaban di lembah pegunungan, yang lebih sedikit ketimbang peradaban pinggiran pantai yang kini berkembang menjadi kota-kota besar.

Tidak banyak lembah pegunungan yang menjadi pusat bermukimnya manusia. Akan tetapi, itu tidak menurunkan daya tarik bagi mereka yang ingin berpetualang.

Ya, kali kita sama-sama menilik suatu kota kecil yang dikelilingi oleh curamnya pegunungan di Sulawesi. Sebuah kabupaten yang belum lama dimekarkan, memerlukan perjalanan darat lebih kurang 8 hingga 10 jam untuk mencapai pusat kotanya. Mamasa, sebuah pusat peradaban kecil tempat harmoni manusia dan alam berada.

Mamasa merupakan sebuah kota yang terletak di sebuah lembah, dikelilingi rangkaian pegunungan yang menawan.

Mamasa dulunya merupakan bagian dari Polmas atau Polewali Mamasa. Namun, sejak 2002, Mamasa berdiri sendiri sebagai kabupaten dengan Mamasa sebagai ibukotanya.

Sebagian besar kawasan adalah pegunungan dan lereng yang mengapit Sungai Mamasa. Pusat Mamasa sendiri juga kebanyakan merupakan perbukitan. Jalanan pun berkelok kesana kemari mengikuti kontur yang rumit.

Sawo: Sawah dan Orchid

Akhir tahun 2019, penulis sempat diikutkan untuk berkunjung ke sebuah desa di dekat pusat Mamasa.

Desa ini bernama Tondok Bakaru, sebuah cikal bakal desa konservasi untuk anggrek di kawasan Mamasa.

Tempat yang dikunjungi bernama Sawo, Sawah dan Orchids, begitulah Pak Andre atau yang bernama asli Andarias Sambokaraeng, sang pemilik menamainya.

Tempat Wisata SAWO - Sawah & Orchid yang dikelola oleh Pak Andre. Di pojok kanan terlihat atap hitam tempat budidaya anggrek. Puncak tertinggi di belakangnya adalah Gunung Mambuliling | Foto: WA Mustaqim

Pemandangan pagi hari dari SAWO | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Memang, indah betul pemandangan di sini. Pematang sawah diselingi beberapa rumah, lalu di kejauhan nampak gagah berdiri puncak Gunung Mambuliling dan rekan-rekannya.

Suasana cerah akan menyibak betapa indahnya tempat ini. Dan, kabut pagi akan menyelimuti pemandangan ketika bangun pagi, langsung bisa di lihat dari Sawo.

Kembali ke anggrek, inilah yang menarik mengenai Sawo. Tempat ini menyimpan koleksi anggrek yang sangat beragam. Konsep yang diajukan dapat dikatakan sebagai suatu yang luar biasa.

Inisiasi untuk mengoleksi anggrek-anggrek untuk dijadikan bahan riset. Tak tanggung-tanggung, ketika penulis ke sana, Pak Andre memberitahukan kalau sebuah rumah kaca untuk kultur jaringan sudah disiapkan. Aih, buat iri saja!

Beberapa contoh koleksi anggrek di Sawo: Vanda, Coelogyne dan Dendrobium | Foto: WA Mustaqim

Tabang dan Talambai

Nah, lepas dari rumah anggrek, selanjutnya adalah kawasan pegunungan di sekitaran kota Mamasa. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota bisa menjadikan sebuah potensi tersendiri.

Puncak-puncak punggung gunungnya dilewati oleh jalur kendaraan roda dua hingga roda empat. Untuk para pelancong khususnya pengagum panorama alam, tempat ini sangat direkomendasikan.

Salah satu tempat yang penulis kunjungi adalah Tabang. Tabang ini sebenarnya - terutama untuk orang Jakarta dan sekitarnya - mirip dengan Puncak Pass. Tabang dilintasi jalur dari Mamasa menuju Toraja, meski jalan di sekitaran masih berupa pengerasan karena memang belum lama dibuat.

Pesona pegunungan di Tabang bisa menjadi alasan untuk mengagumi megahnya pegunungan di barat daya Sulawesi ini. Hutan tropis pegunungan yang masih rimbun menyimpan ribuan jenis tumbuhan yang - khususnya penulis sendiri - cukup terkesima.

Bunga-bunga seperti kelompok Azalea (Rhododendron celebicum) atau kerabat bunga bangkai dengan nama ilmiah Arisaema polyphyllum.

Pesona pegunungan dan hutan hujan tropis di Tabang | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Arisaema polyphyllum, salah satu kerabat bunga bangkai yang ada di Tabang | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Bunga Rhododendron celebicum, salah satu pesona alam di Tabang | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Sebuah tempat yang terkenal dengan sulitnya medan jika ingin mengunjungi bernama Talambai.

Berkesempatan menuju lokasi tersebut, penulis tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan keindahan hutan dan menanamkan rasa pegal ke badan.

Naik ojek melintasi jalur yang kadang setapak dengan guncangan sekian skala richter! Lagi-lagi hutan yang megah adalah sajian yang memenuhi pandangan mata.

Talambai tidak dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4. Kendaraan roda dua atau ojek pun tidak semua orang bisa ke tempat ini. Perlu nyali dan pengalaman untuk menjelajahi jalur yang masih beralas tanah dan penuh parit alam bekas aliran air hujan.

Akan tetapi, melihat indahnya pemandangan di kawasan ini pasti bisa mengobati rasa lelah. Bahkan penulis saja sebenarnya ketagihan, namun apa daya, jauh juga memang.

Pak Julianus, pengendara motor yang memboncengkan saya ketika menuju Talambai. Bagi beliau, jalan begitu katanya 'masih aspal' | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Pemandangan sepanjang jalan menuju Talambai, ujungnya Mamasa | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Sarambu Liawan

Nah, setelah menjelajahi kawasan yang berupa pegunungan. Perlu juga rasanya untuk melihat tempat wisata alam populer.

Salah satu yang penulis kunjungi adalah Air Terjun Sarambu Liawan. Sarambu sendiri artinya adalah air terjun, jadi ya diulang sebenarnya, tapi tidak masalah rasanya. Liawan, lupa artinya apa sebenarnya.

Sarambu Liawan adalah air terjun tingkat tiga. Sedikit masuk dari jalur utama Polewali-Mamasa, tempat ini masih belum begitu terkenal. Salah satu yang unik dari tempat ini adalah jumlah anak tangga dari parkir menuju pintu masuk yang berjumlah 100.

Di tempat wisata ini, sayangnya penulis tidak banyak bertanya mengenai fasilitas atau hal-hal seperti wahana. Bagian yang menantang adalah mendaki tebing pinggir air terjun, mencapai ujung atau tingkat tertinggi air terjun.

Rasa-rasanya air terjun ini cukup indah dan potensial. Lokasi yang berbatasan langsung dengan hutan alam megah - lagi-lagi hutan - menjadikannya tempat yang nyaman dan alami untuk rekreasi keluarga atau pun salam perpisahan setelah berpetualang di Mamasa.

Air Terjun Sarambu Liawan dengan suasana asri yang menenangkan | Foto: WA Mustaqim
info gambar

Begitulah sedikit catatan perjalanan di Mamasa. Sebuah kota kecil yang dihiasi oleh pemandangan pepohonan pinus dan bangunan gereja di banyak tempat.

Banyak yang bilang ini adalah Swiss-nya Indonesia, meski komoditas penting Mamasa bukan coklat tapi kopi.

Biji kopi dari tempat ini konon pilihan, namun sebagai penikmati kopi apa adanya, penulis tidak sempat mencobanya.

Jangan lupa juga berjalan-jalan di pusat kota Mamasa, kota kecil yang indah untuk dikenang.


*Artikel bersumber dari informasi penulis pribadi dan perjalanan ke Mamasa dibiayai oleh Tjiasmanto Conservation Fund dalam rangka ekspedisi penelitian flora yang diketuai oleh Wisnu H. Ardi, Kebun Raya Bogor, LIPI. Terima kasih penulis haturkan kepada Pak Andre, Pak Macarama, Pak Julianus dan segenap yang menyambut kami selama di Mamasa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini