Good Talk Ingatkan Pentingnya Menjaga Bahasa Ibu

Good Talk Ingatkan Pentingnya Menjaga Bahasa Ibu
info gambar utama

Sebagai bangsa dengan banyak suku bangsa, wajar pula jika Indonesia juga memiliki bahasa daerah. Kekayaan bahasa daerah kita merupakan aset budaya yang harus kita jaga dan kembangkan. Ironisnya, pada 21 Februari 2009, Badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) merilis, sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk 100 bahasa daerah di Indonesia, terancam punah.

Kehilangan bahasa daerah merupakan kehilangan aset budaya kita karena punahnya suatu bahasa daerah berarti memusnahkan pula segala kekayaan intelektual yang ada di dalamnya. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh seorang anak dari interaksi langsung dengan ibunya. Karena itu, bahasa ibu berkaitan dengan pembentukan identitas dan sosialisasi nilai-nilai kebajikan lokal.

Untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga bahasa ibu, sekaligus memperingat Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati setiap 25 Februari, GNFI kembali menggelar Good Talk offline Session bertajuk “Bahasa, Kita Jaga atau Hilang” di Uptown Serviced Office, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/2/2020).

Dalam gelar wicara tersebut, GNFI mengundang tiga narasumber, yakni Ganjar Harimansyah, Kepala Bidang Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa; Mira Zakaria, Direktur Eksekutif Komunitas Polyglot Indonesia; dan Ivan Lanin, Wikipediawan pencinta Bahasa Indonesia. Sekitar 70 orang hadir memenuhi ruangan di co-working space di tengah Jakarta itu.

Sesi pertama dibuka oleh Kang Ganjar, sapaan akrabnya. Kang Ganjar memulai pemaparannya dengan sebuah kutipan, “Memahami bahasa adalah merajut hasil komunikasi”.

Dia mengungkapkan bahwa sampai Oktober 2019, ada 718 bahasa daerah dari 2.560 Daerah Pengamatan (DP) yang telah diidentifikasi dan divalidasi. “Itu baru bahasanya, belum dialek dan subdialeknya,” ujarnya. Melihat data tersebut, tambah Ganjar, tidak heran jika UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara superpower dalam bahasa.

Senada dengan itu, Mira Zakaria dari Polyglot Indonesia mengatakan bahwa Indonesia adalah mosaik bahasa—sebuah bangsa yang terdiri dari beragam suku dengan bahasa daerahnya masing-masing. “Setiap daerah mempunyai bahasanya. Bahasa membawa identitas,” imbuhnya.

Namun yang patut disayangkan dari kayanya keberagaman bahasa daerah di Indonesia, sering kali kita tidak bangga menggunakannya. Padahal, menurut Ivan Lanin, meski sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan. Kemampuan berbahasa daerah juga tetap diperlukan demi menjaga dan melestarikannya.

Dia mengisahkan tentang pengalamannya saat berada di luar negeri. “Saya pernah ada di luar negeri, kalau kamu mendengar ada orang yang berbahasa daerah dari Indonesia, itu rasanya beda. Senang sekali,” ungkap ahli IT yang lebih dikenal sebagai pakar bahasa ini.

Gelar Wicara Good Talk Offline Session di Uptown Serviced Office (28/02/2020) | Foto: GNFI
info gambar

Karena itu, sebagai generasi pewaris kekayaan intelektual tersebut, rasanya kita juga perlu menyadari betapa pentingnya untuk turut serta melestarikan keragaman bahasa daerah.

Menjaga dan melestarikan bahasa daerah juga merupakan amanah konstitusi. Sebut saja, UUD 1945 Pasal 32 yang menegaskan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Turunan dari konstitusi tersebut ada di UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, khususnya Pasal 41 & 42 yang berbunyi: pelindungan bahasa (dan sastra) merupakan upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.

Selain dua peraturan tadi, masih ada beberapa peraturan pemerintah dan pemerintah daerah, yang mengamanahkan kita untuk senantiasa menjaga dan melestarikan bahasa daerah.

Memperingati Pertumpahan Darah

Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional dipicu oleh Surat Rafiqul Islam, seorang Bangladesh yang tinggal di Vancouver, Kanada, kepada Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Kofi Annan.

Dalam surat bertanggal 9 Januari 1998 itu, Rafiqul meminta agar PBB mengambil langkah untuk menyelamatkan bahasa-bahasa di dunia dari kepunahan dengan mendeklarasi peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.

Setelah didiskusikan, tanggal 21 Februari dipilih sebagai tanggal peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Tanggal ini menghadirkan kembali peristiwa terbunuhnya empat mahasiswa di Dhaka, ibu kota Bangladesh, karena polemik antara bahasa Bengali dan Urdu.

Pada 1947, ketika Pakistan terpecah menjadi India di sebelah barat dan Bengali Timur yang nantinya menjadi Bangladesh di sebelah timur. Pada 1948, pemerintah Pakistan mengumumkan pengesahan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi Pakistan, yang memicu protes para penutur bahasa Bengali yang merupakan mayoritas di negara itu. Protes itu berkembang tak terkendali hingga empat pemrotes tertembak polisi dalam demonstrasi di Universitas Dhaka. Mereka mati membela bahasa ibunya.

Karena sejarah itulah PBB memilih tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional dengan tujuan utama, mempromosikan kepedulian terhadap keragaman budaya dan bahasa di seluruh dunia.


Catatan kaki: GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini