Bagi Anak Muda Muslim Australia, Sejarah Pelayaran Samudera Para Pelaut Makasar, Memberi 'Sense of Belonging'

Bagi Anak Muda Muslim Australia, Sejarah Pelayaran Samudera Para Pelaut Makasar, Memberi 'Sense of Belonging'
info gambar utama

Berabad-abad sebelum seorang kapten AL Kerajaan Inggris James Cook mengklaim telah 'menemukan' Australia pada 1770, para pelaut Muslim Makassar dari Indonesia telah secara teratur melakukan perjalanan ribuan kilometer melintasi laut lepas untuk berdagang dengan orang-orang Aborigin di ujung utara Australia.

Kini, sebuah pelayaran dengan perahu replika yang dibangun secara khusus telah menghidupkan kembali hubungan antara Makassar dari pulau Sulawesi dan klan Yolngu di timur laut Arnhem Land, memberikan pesan persahabatan yang kuat dan berakar kepada para anak muda Muslim Australia.

Proyek ini merupakan gagasan dari Institut Abu Hanifa, sebuah organisasi yang mempromosikan pendidikan, identitas dan inklusif bagi Muslim di Sydney.

"Kami mengadakan lokakarya untuk anak-anak muda dan kami bertanya kepada mereka apa artinya menjadi orang Australia dan banyak orang benar-benar tidak bisa mengidentifikasi dengan konsep itu," kata Sheikh Wesam Charkawi dari Abu Hanifa seperti dikutip Reuters.

 Sheikh Wesam Charkawi dari Abu Hanifa | Abu Hanifa Institute
info gambar

"Mereka merasa bahwa wacana yang mereka dengar setiap hari - 'Kembalilah ke tempat asalmu', 'Kamu tidak seharusnya di sini', 'Cintai atau tinggalkan' - itu mengasingkan mereka."

Masyarakat Muslim berjumlah kurang dari 3% dari populasi Australia dan banyak yang melaporkan mengalami diskriminasi terkait agama mereka.

Kisah 60.000 tahun lebih sejarah "Bangsa-Bangsa Pertama" Australia di negeri itu dan hubungan mereka yang panjang dan mendalam dengan orang-orang Makasar bergaung dalam hati banyak pemuda Muslim Australia. Dulunya, orang-orang Makassar dan Aborigin saling berdagang teripang, bertukar ide dan bahasa, saling menikah dan hidup satu sama lain sejak tahun 1500-an atau bahkan mungkin sejak sebelumnya, menurut para sejarawan.

Kisah ini membantu kaum muda Muslim Australia "memahami bahwa ribuan tahun lalu, penghuni benua ini sudah berinteraksi secara baik dan saling menguntungkan dengan masyarakat muslim dari negara lain, jauh sebelum tahun 1770," kata Charkawi.

Orang-orang Aborigin, kata Charkawi selalu berbicara tentang Makassar. Hubungan Makassar- Aborigin seperti cahaya yang tak pernah redup. “Kita adalah keluarga. Ketika berbicara tentang Makassar mereka selalu meneteskan air mata,” ungkap Charkawi menggambarkan betapa orang Aborigin sangat menyukai orang Makassar.

Mereka membawa misi besar | Tempo/Ridwan Alimuddin
info gambar

Untuk mengobati kerinduan itulah sehingga pihaknya, lanjut Charkawi memesan perahu Padewakang. Jika perahu tersebut sudah sampai di Australia maka mereka juga akan melakukan perayaan besar-besaran menyambut Padewakang.

Kapal Padekawang ini sepanjang 15 meter ini dibangun oleh pengrajin Makassar di pantai di Sulawesi menggunakan metode tradisional dan kayu lokal. Meluncurkan kapal hanyalah salah satu dari banyak tantangan yang harus diatasi oleh proyek.

"Pada hari itu, kami tidak tahu bagaimana cara kami akan mendorong kapal yang sudah jadi, ke laut. Lalu tiba-tiba, ratusan orang muncul dan mereka mulai mendorong kapal tradisional ini, menggali pasir dengan tangan mereka sendiri - bukan dengan sekop, tetapi tangan mereka sendiri - untuk mencoba dan mendorong kapal ini ke laut, "kata Charkawi. "Akhirnya, mereka mewujudkannya."

“Kapal Padewakang ini adalah salah satu kapal tradisional yang kemudian berkembang sebagai asal muasal kapal pinisi, tidak ada alat modern kecuali handphone atau telepon genggam. Mereka menggunakan listrik dari solar sel khusus untuk mengisi baterai, memakai lampu teplok dan tembikar untuk keperluan sehari-hari,” ujar Plt. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin.

Tanpa Mesin, andalkan alam | terkini.id
info gambar

Pelayaran yang diberi nama 'Ekspedisi Nur Al Marege' dengan 12 awak kapal tanpa menggunakan mesin ini dimulai dari Pantai Losari, Makassar pada 8 Desember 2019 lalu.

Kapal ini bersama 12 awak kapal dari berbagai daerah di Indonesia, berlayar selama 25 hari untuk menempuh perjalanan sejauh 2.000 km menuju Darwin. Kapal ini membawa kembali perlengkapan asli sehari-hari seperti tembikar, garam, parang yang merupakan alat tukar seperti yang biasa dilakukan pada abad ke-16 dan ke-17.

"Ekspedisi ini tanpa menggunakan mesin dan hanya mengandalkan kekuatan layar yang dibuat dari anyaman daun gebang yang didatangkan dari salah Kampung Lanu di Polman, Sulawesi Barat. Kita bawa cadangan layar sintetis untuk mengantisipasi layar dari daun gebang ini rusak sebelum tiba di Australia," ungkap Ridwan Alimuddin, penulis budaya maritim Mandar asal Majene, Sulawesi Barat sesaat sebelum berlayar.

Dari sana, kapal itu berlayar ke Gove Peninsula, di timur laut Arnhem Land, di mana ia bertemu dengan ratusan Yolngu dan orang-orang Pribumi lainnya dari sekitar daerah itu, membawakan lagu dan upacara penyambutan.

Para pemimpin Muslim dan Aborigin ingin berbagi sejarah lebih luas, termasuk memasukkan kemnbali kisah hubungan Yolngu dan Makassar ke dalam kurikulum sekolah.

"Ini adalah hal yang unik dan sangat penting," kata Timmy 'Djawa' Burarrwanga, seorang pemimpin Aborigin yang berbagi kisah Makassar dengan para pemuda Muslim yang berkunjung dan membantu memicu proyek tersebut. "Mereka adalah keluarga, mereka adalah orang-orang yang memberikan sesuatu kepada kita. Hadiah istimewa," katanya pada upacara penyambutan.

Para Penduduk Aborigin menyambut para pelaut dari Makassar di Yirrkala, Northern Territory, Australia 23 Februari 2020. (REUTERS/HO/Abu Hanifa Institute)
info gambar
Tarian sambutan oleh penduduk Aborigin dan tarian respon dari para pelaut Makassar (REUTERS/HO/Abu Hanifa Institute)
info gambar

Charkawi, yang lembaganya memproduksi film dokumenter tentang proyek yang akan ditayangkan akhir tahun ini, mengatakan kedatangan itu adalah pengalaman yang emosional.

"Suasananya luar biasa, menakjubkan," katanya. "Mereka keluar dengan anak-anak mereka, mereka keluar bersama orang tua mereka, dengan orang-orang yang tidak bisa berjalan, yang menggunakan kursi roda, sehingga seluruh komunitas berkumpul di belakang acara ini."

(Sumber : Reuters | Kumparan | Samudranesia.id | Panrita.news)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini