Pentingnya Narasi Bijak Para Pejabat Publik

Pentingnya Narasi Bijak Para Pejabat Publik
info gambar utama

*Penulis senior Good News From Indonesia

Presiden Amerika Serikat didepan para wartawan di Gedung Putih hari minggu tanggal 29 Maret 2020 mengatakan bahwa aturan tentang Social Distancing di Amerika Serikat diperpanjang sampai tanggal 30 April 2020 dalam upaya untuk menekan angka kematian akibat coronavirus. Pernyataan pak Trump ini berbalik dengan ucapannya sendiri sebelumnya bahwa dia ngotot negara dibuka lagi untuk kegiatan bisnis dari aturan jaga jarak sosial itu sampai menjelang hari Paskah tanggal 12 April. Para ahli kesehatan memperingatkan presiden Trump bahwa kebijakan buru-buru membuka negara untuk urusan bisnis akan menimbulkan banyak kematian yang tidak boleh terjadi.

Dalam konferensi pers itu Trump membuat pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa kalau Amerika bisa menekan kematian akibat coronaviarus ini dibawah 100.000 itu merupakan “good job”. Sebelumnya penasihat Gedung Putih dibidang kesehatan Dr. Anthony Fauci mengatakan berdasarkan pada model – hitung-hitungan Amerika Serikat akan ada 200.000 orang yang meninggal dan jutaan orang terinfeksi virus corona. Data ketika artikel ini saya tulis per 31 Maret 2020 ada sekitar 173.741 orang Amerika terkonfirmasi tertular corona dan lebih dari 3.400 orang meninggal dunia. Secara nalar menekan angka kematian dari jutaan menjadi dibawah 100.000 adalah suatu pencapaian yang bagus; tapi perlu diingat ini menyangkut nyawa orang. Jadi dari segi etika publik, pernyataan ini menjadi tidak pas karena meskipun yang mati itu hanya dua, itu merupakan hal yang serius. Bukan dengan pernyataan “kita baik-baik saja, yang mati gak banyak kok”.

Dalam situasi yang genting seperti dewasa ini diseluruh dunia maka komunikasi publik para pejabat negara perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kebingungan publik. Contoh pernyataan pak Trump itu menunjukkan komunikasi yang menimbulkan kebingungan.

Dalam ilmu komunikasi ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah komunikasi itu tidak efektif, antara lain

  • Frame of reference (kerangka berfikir)
  • Selective listening (mendengar secara sepihak)
  • Value judgments (menilai seseorang berdasarkan pada pengalaman sebelumnya dengan pihak komunikator).
  • Source credibility (kredibilitas sumber informasi)
  • Semantic problems (masalah semantik)
  • Status differences (perbedaan status sosial)

Faktor- faktor diatas dapat menyebabkan kebingungan publik akibat komunikasi yang tidak efektif seperti “Source of Credibility” atau sumber informasi yang kredibel. Seringkali masing-masing pejabat negara mengeluarkan pernyataan yang saling bertentangan. Rakyat umum bertanya-tanya pernyataan siapa yang harus “digugu” kalau mendengarkan berbagai versi pernyataan. Belum lagi rakyat juga dihadapkan makin banyak nya para pemuda melenia yang disebut “the Influencer” yang juga meng-upload berbagai pernyataan.

Demikian pula soal “Semantic” atau soal istilah yang dipakai. Di negeri kita ini, publik secara umum (awam) pada bertanya tentang istilah yang berseliweran misalna “Lockdown”, “Karantina Wilayah”,”Karantina Terbatas”, “Status Darurat Sipil”, “Kekarantinaan Kesehatan”. Belum lagi publik dibuat bingung soal aturan hukumnya pada masing-masing istilah tersebut, termasuk “Karantina Wilayah itu Urusan Pemerintah Pusat” atau bukan, sementara ada beberapa daerah yang tidak mengindahkan aturan pusat itu dengan memberlakukan Karantina Wilayah dengan kebijakan lokal demi melindungi warganya dari virus mematikan ini. Ada juga kontroversi pernyataan jurubicara penanganan Corona baru-baru ini yang mengatakan bahwa “orang miskin yang menularkan penyakit kepada orang kaya” menjadi perdebatan luas di publik (meskipun sudah di klarifikasi). Termasuk juga pernyataan-pernyataan sebelumnya yang bernada candaan soal corona ini.

Perlu diingatkan bahwa komunikasi yang tidak efektif para pejabat dalam kaitannya dengan menyebarnya virus mematikan ini tidak hanya menimbulkan kebingungan publik tapi juga menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap pemerintah atau pimpinan publik. Lesson Learned – atau hal yang bisa kita pelajari dari kondisi politik di Amerika Serikat, banyak rakyatnya yang tidak percaya kepada pernyataan pemimpin negara karena dianggap membingungkan dan akhirnya menyimpulkan bahwa para pemimpin negaranya itu “full of lies” atau penuh dengan kebohongan.

Karena itu komunikasi publik para pejabat negara di Indonesia pada situasi genting seperti saat ini perlu “prudence” atau kehati-hatian dan bijak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini