Mantra Perlindungan Diri Karya Kanjeng Sunan Kalijaga

Mantra Perlindungan Diri Karya Kanjeng Sunan Kalijaga
info gambar utama

Selain tembang Ilir-ilir, salah satu karya Kanjeng Sunan Kalijaga yang terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi. Kidung itu berisi tentang permohonan kepada Tuhan agar diselamatkan dari segala macam marabahaya dan wabah penyakit yang berpotensi mengancam nyawa.

“Sunan Kalijaga menyusun beberapa doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa yang disusunnya itu berupa kidung atau mantra. Di antara doa-doa dari Sunan, yang amat terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi [perlindungan pada malam hari],” jelas Achmad Chodjim dalam bukunya yang berjudul Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.

Di masa lalu, dalam kondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti kasus Covid-19 sekarang ini, kidung Rumeksa ing Wengi sering kali dilantunkan masyarakat pada sore atau malam hari, khususnya saat ingin melaksanakan salat malam.

Sambil melantunkannya, biasanya orang Jawa juga mengiringnya dengan harapan baik agar terhindar dari segala macam bahaya yang tampak oleh mata maupun yang tidak.

“Kidung ini juga dimaksudkan untuk membebaskan diri dari serangan berbagai penyakit. Baik yang bersifat fisik maupun kejiwaan. Karena itu, di dalam baitnya dinyatakan dengan tegas bahwa kidung ini menyelamatkan diri dari penyakit, semua petaka, jin dan setan, dan perbuatan orang yang salah,” tulis Chodjim.

Sebagai doa yang dipercaya berkhasiat mengobati, kidung itu juga dikenal dengan sebutan Mantra Wedha atau doa penyembuhan. Masyarakat Jawa percaya jika kidung tersebut dibaca dengan penuh keyakinan, akan ampuh menangkal segala macam bala dan penyakit.

Cara melafalkannya pun tidak sembarangan. Bukan hanya sekedar membaca bait per bait dengan irama yang datar-datar saja. Namun, harus dilafalkan dengan penuh penghayatan dengan irama macapat khas Jawa.

Sebagai masyarakat yang sangat kental dengan tradisi olah rasa, orang Jawa meyakini jika dibaca dengan penghayatan yang tinggi, kidung ini akan memunculkan energi positif yang berguna bagi perlindungan diri orang yang melafalkannya.

“Mantra atau doa hanyalah sarana. Kekuatan kidung, bukan lahir dari olah pikir. Daya dan kekuatan kidung berasal dari olah rasa. Di dalam olah rasa itulah, bagi orang yang membacanya dengan keyakinan, rasanya akan tersambung dengan Allah,” terang Chodjim yang juga menulis buku Syekh Siti Jenar.

Karakter Orang Jawa Menghindari Perselisihan

Dalam salah satu baitnya, berbunyi, “sakehing lara pan samya bali. Sakeh ngama pan sami miruda welas asih pandulune.” Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi: semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih.

Di sini memperlihatkan, bahwa orang Jawa memang cenderung memilih menghindari perselisihan. Kalimat “semua hama menyingkir dengan pandangan kasih”, menurut Chodjim, merupakan simbol dari karakter orang Jawa yang selalu ingin hidup dengan penuh welas asih.

Mereka selalu ingin hidup harmonis antara sesama manusia dan alam sekitarnya. Bahkan terhadap hal-hal yang bisa merugikannya sekalipun, orang Jawa seringkali tetap ingin bersikap welas asih dan tidak mau berselisih. Tetap ingin hidup harmonis dan berdampingan.

Hal itu juga tergambar dalam makna dari kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Menurut Chodjim, kidung ini juga tidak memiliki tujuan untuk melawan bala atau menghancurkan penyakit yang berpotensi membahayakan nyawa. Namun, lebih bertujuan untuk menjadi sarana memohon perlindungan kepada Tuhan. Supaya segala hal yang merugikan itu, menyingkir dengan sendirinya tanpa perlu dilawan atau dihancurkan.

Menghindari pertikaian dan selalu ingin hidup harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya adalah salah satu karakteristik orang Jawa | Google Image/Salamadian.com
info gambar

Latar Belakang Terciptanya

Kondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti pandemi Covid-19 seperti sekarang ini sudah pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1409, ketika Kerajaan Demak berkuasa dan dipimpin oleh Raden Patah.

Saat itu muncul wabah penyakit yang oleh masyarakat disebut Lelepah. Karena wabah itu, banyak orang yang meninggal secara mendadak. Dikutip dari Krjogja.com (6/4/2020), “banyak orang meninggal dengan cepat hitungan jam saja.”

Lelepah sungguh membuat panik masyarakat dan penguasa waktu itu. Raden Patah yang berkuasa waktu itu, memutuskan untuk meminta pertimbangan Wali Sanga--dewan wali yang beranggotakan sembilan ulama penyebar agama Islam--untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dari seluruh anggota dewan Wali Sanga yang hadir saat itu, Kanjeng Sunan Kalijaga membuat syair atau rangkaian doa-doa dalam bahasa Jawa berupa kidung atau mantra. Mantra itu kemudian dikenal dengan nama kidung Rumeksa Ing Wengi.

Ilustrasi anggota Wali Sanga |Google Image/Republikaco.id
info gambar

Sebagai salah satu anggota WaliSanga yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, Sosok Sunan Kalijaga memang dikenal memiliki pandangan yang lebih pragmatis dibanding anggota Wali Sanga lainnya. Pragmatis dalam arti memilih suatu cara yang mudah dipahami dan dimanfaatkan masyarakat.

Ia biasa menyebarkan pahamnya melalui cara-cara yang halus, seperti menggunakan akulturasi budaya. Kidung Rumeksa ing Wengi juga merupakan salah satu caranya untuk mendekati masyarakat yang saat itu sangat menggemari ngidung atau nembang.

Baik ngidung maupun nembang, keduanya merupakan klangenan masyarakat Jawa dalam merefleksikan hidupnya. Kerap kali, kebiasaaan itu diiringi dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, yang biasa disebut klenengan.

Oleh Sunan Kalijaga kegemaran masyarakat itu diakulturasi dengan bebagai hal yang bernilai islami. Seperti kidung Rumeksa ing Wengi ini, bila ditilik lebih jauh makna dalam bait-baitnya. Sebenarnya mengandung doa-doa yang sangat dekat dengan ajaran Islam.

Gamelan Jawa biasa untuk mengiringi karawitan atau macapat | Google Image/Youtube
info gambar

Namun, karena pada waktu itu masyarakat di Jawa lebih terbuka terhadap hal-hal yang berasal dari budayanya sendiri, Sunan Kalijaga berinisitaif mengubah doa-doa itu, ke dalam bahasa yang dipahami masyarakat.

Menurut Dr. Purwadi M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara), kidung Jawa menggambarkan kesadaran batin masyarakat Jawa atas segala sesuatu pasti diciptakan secara seimbang oleh Tuhan Yang Maha Esa.

“Filsafat Cina mengenal ajaran Yin Yang. Pujangga Jawa menyebut gambuhin jagat gumelar dan jagat gumulung. Ekuilibrium antara makrokosmos dan mikrokosmos,” tutur Purwadi, dikutip dari KRjogja.com.

Di zaman modern ini, mungkin tidak banyak orang yang mengenal kidung Rumeksa Ing Wengi karya Sunan Klijaga. Kendati demikian, warisan intelektual Kanjeng Sunan Kalijaga ini patut dilestarikan sebagai simbol kearifan lokal. Selain itu, juga bisa menjadi sarana untuk memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan penyakit seperti pandemi Covid-19 sekarang ini.

Sumber: Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Achmad Chodjim) | Atlas Wali Songo (Agus Sunyoto) | KRJogja.com |Suaramerdeka.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini