Paledang, Lamafa, dan Cerita Perburuan Paus yang Direstui Greenpeace

Paledang, Lamafa, dan Cerita Perburuan Paus yang Direstui Greenpeace
info gambar utama

Kawan GNFI, lagu ‘’nenek moyangku seorang pelaut” tentu masih akrab ditelinga kita hingga kini, meski lagu itu kita dendangkan semasa sekolah dasar.

Lagu tersebut bukan tanpa makna. Karena nyatanya nenek moyang kita memang nelayan yang andal menaklukkan samudera.

Terkait dengan Hari Nelayan Nasional yang jatuh pada tiap 6 April, saya ingin bercerita sedikit kawan, soal perjalanan saya ke Lamalera, kampung nelayan para pemburu paus, mamalia raksasa samudera.

Secara geografis, kampung nelayan ini terletak di Kabupaten Lembata, atau 65 km arah selatan dari Lewoleba, ibu kota Lembata, NTT.

Yang membuat saya tertarik melakukan perjalanan tersebut adalah soal keunikan ritual perburuan paus di kampung nelayan itu. Ritual yang secara turun temurun telah dilakukan selama ratusan tahun.

Saya rela melakukan perjalanan darat dengan motor dari Labuan Bajo menuju Larantuka. Usai menginap semalam di Larantuka, paginya langsung menyeberang ke pulau Adonara, kemudian menyeberang lagi ke pulau Lembata.

Saat tiba di pulau Lembata, jalur terjal dan rimba menjadi cerita yang sulit saya lupakan. Hingga jelang malam, baru saya tiba di kampung tersebut.

Kampung nelayan Lamalera | Shutterstock
info gambar

Artefak dari Tulang Paus

Ketika sampai di mulut kampung, saya disambut gapura yang terbuat dari tulang paus. Karena ukurannya cukup besar, saya menaksir kalau itu tulang iga.

Masuk pintu desa dan melintas di jalan desa, saya melihat ragam artefak di kiri dan kanan jalan. Sebagian di antaranya menghiasi rumah penduduk.

Saya kemudian menginap di rumah sesepuh kampung, Abel Onekala Beding namanya. Ia juga merupakan keturunan terakhir kepala suku Bedonia, suku yang mendiami pulau itu selama ratusan tahun.

Kedatangan saya tentu mengejutkannya, terlebih melihat pelat nomor motor saya dengan aksara B, yang menandakan saya berasal dari Jakarta.

Seusai menyiapkan kamar untuk saya, sejurus kemudian ia menyeduhkan kopi khas Flores, dan menemani saya bercerita semalaman di balkon rumahnya yang menghadap laut Sawu.

Ia bilang, lebih suka dipanggil Obeding, tanpa menjelaskan alasannya. Tapi, okelah, tak ada masalah.Dari ceritanya, ada tiga kata yang sampai ke telinga saya, yakni Paledang, Lamafa, dan Baleo. Tiga kata yang erat kaitannya dengan ritual perburuan paus.

Nah, saya akan jelaskan satu per satu makna dari tiga kata tersebut.

Paledang

Paledang merupakan perahu khusus yang dirancang untuk berburu paus. Perahu sepanjang 15 meter ini tak dilengkapi motor seperti perahu kebanyakan. Karena ditakutkan akan melukai paus saat berburu.

Untuk melaju ke tengah samudera, Paledang mengandalkan layar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Juru mudi harus mahir mengarahkan perahu itu menuju paus sasaran.

Di kiri dan kanan Paledang ada rentangan kayu sebagai penyeimbang, sekaligus sebagai pijakan kaki penumbak saat berburu.

Paledang | Shutterstock
info gambar

Uniknya, sebelum menyentuh laut untuk berburu, ada ritual khusus yang dilakukan warga atas perahu ini. Katanya untuk kekuatan dan keberkahan. Antara lain ritual pembersihan kapal, dan tak boleh dicampur dengan perahu lain sebelum berangkat berburu.

Karenanya ada orang-orang khusus yang membersihkan Paledang sebelum digunakan. Usia pemakaian Paledang pun beragam, ada yang mencapai 25 tahun untuk perburuan paus.

Lamafa

Lamafa merupakan julukan untuk pendekar, atau penombak paus. Lamafa dipilih berdasarkan ketangkasan, kekuatan, dan ketangguhannya saat melawan paus. Sebuah pekerjaan yang pasti berisiko tinggi, sehingga tak sembarang penduduk Lamalera yang bisa menjadi Lamafa.

Lamafa juga ditetapkan berdasarkan hasil upacara adat, yakni lelaki yang santun, taat beribadah, berbudi, serta tak pernah melakukan hal tercela.

Sebelum berburu, Lamafa juga menjalani ritual agar tak mendapatkan petaka, salah satunya menjalani ritual puasa. Satu Lamafa akan mewakili satu Paledang yang bakal dibantu 6-10 orang. Setidaknya ada lima Paledang yang berangkat ke laut dalam sekali perburuan.

Lamafa tengah menombak Baleo | Shutterstock
info gambar

Dalam berburu, Lamafa dibekali Tempuling, tombak khusus untuk menembus kulit tebal paus. Panjang Tempuling sekira empat meter, dilengkapi mata tombak dari besi sepanjang 30 cm. Pada ujung gagang Tempuling, diberi ikatan tali yang cukup kuat yang digunakan untuk menarik badan paus yang berhasil ditombak.

Bagian paus yang paling diincar Lamafa adalah bagian kepala. Mereka loncat dari perahu dengan mata tombak terhunus menuju tempurung kepala paus.

Salah satu tantangan Lamafa adalah ketika harus mengambil patahan Tempuling yang berada di tubuh paus yang menyelam. Adakalanya ketika menombak paus, Tempuling patah akibat kekuatan manuver sang paus.

Dikisahkan, Obeding adalah Lamafa saat usia 20. Ia tak pernah lupa detail cerita ketika menjadi Lamafa, meski telah berlangsung 30 tahun lalu. Salah satu ceritanya saat mengambil patahan Tempuling dan berada dalam desakan gerombolan paus di dalam laut.

Baleo

Sementara Baleo merupakan julukan untuk paus yang akan disasar. Tak sembarang paus yang boleh ditombak. Bukan paus anak dan pula bukan paus yang tengah bunting. Lamafa meyakini, jika salah menombak maka seluruh kampung nantinya akan mendapat petaka.

Lamafa harus tangkas untuk memilih, mana paus yang boleh diburu dan mana yang tidak. Obeling bercerita, dari gestur gerak paus, semua akan terbaca.

"Kami berburu seperlunya, tak semua paus yang melintas kami tombak. Perburuan paus ini sangat berarti bagi warga kami, karena dari sanalah berkah kami," katanya.

Jenis paus Sperma, objek perburuan Lamafa | Shutterstock
info gambar

Paus yang diburu para Lamafa merupakan jenis paus sperma (Physeter macrocephalus). Masyarakat setempat lazim menyebutnya dengan koteklema.

Berburu Baleo, lanjut Obeding, paling ideal berlangsung pada bulan Mei hingga November. Karena pada periode itu paus tengah melintas laut Sawu, bermigrasi dari laut Banda menuju samudera Hindia.

Obeding bercerita, perburuan itu sempat ditentang oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian alam seperti World Wide Fund for Nature (WWF) dan Greenpeace. Greenpeace memang aktif menyuarakan pelarangan perburuan paus untuk kebutuhan komersil sejak 1970.

Namun, setelah ditegaskan bahwa perburuan tersebut merupakan tradisi yang telah turun-temurun dilakukan dan bukan untuk keperluan komersial, kedua LSM itu pun merestui. Lain itu, ritual perburuan paus Lamalera saat ini menjadi salah satu daya tarik pelancong untuk datang ke kampung tersebut.

Dalam setahun, setidaknya kulang lebih 20 ikan paus yang berhasil diburu. Selain berburu Baleo, masyarakat Lamalera juga berburu orca (paus pembunuh), lumba-lumba, hiu, hingga pari.

Paus yang berhasil diburu, akan dibawa ke kampung dan dibagikan kepada seluruh masyarakat. Setiap orang akan mendapat bagian sesuai dengan jasa mereka pada perburuan tersebut.

Cinderamata Khas

Bagi 3.000 jiwa warga Lamalera, paus merupakan berkah yang dikirim untuk menjaga kehidupan dan kelestarian budaya kampung yang secara turun temurun dijaga istiadatnya.

Selain itu, mata pencarian masyarakat adalah sebagai nelayan biasa dan pengrajin tenun ikat Flores.

Masyarakat Lamalera juga memanfaatkan sisa-sisa tulang belulang paus sebagai cinderamata khas. Ada yang dibuat ukiran, patung, gelang, kalung, atau cincin.

Gigi Orca, sebagai salah satu cinderamata | Shutterstock
info gambar

Sebagian tubuh paus lainnya dibakar dan dibuat minyak sebagai alat penerang desa, atau sebagai kenang-kenangan untuk para pelancong.

Sayangnya, saya datang ke Lamalera saat musim penghujan--saat itu bulan Mei 2016, sehingga belum ada lagi ritual tombak paus yang akan dilakukan. Meski begitu, saya akan melengkapi cerita ini lain waktu dengan langsung merasakan perburuan paus para Lamafa.

Akhir kata, selamat Hari Nelayan untuk masyarakat Lamalera, semoga ritual khas perburuan paus itu tetap lestari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini