Sejarah Cireng Bandung dan Nilai Budaya di Belakangnya

Sejarah Cireng Bandung dan Nilai Budaya di Belakangnya
info gambar utama

Gorengan adalah jenis kudapan yang selalu punya ruang khusus di hati masyarakat Indonesia. Bahkan setiap negara punya ciri khas gorengan masing-masing.

Di bulan puasa seperti ini, gorengan kerap dijadikan makanan ringan untuk buka puasa. Terutama buat Kawan GNFI yang terpaksa harus membatalkan puasa di jalan, atau ketika keadaan tidak memungkinkan untuk melaksanakan buka puasa di rumah.

Kandungan terigu pada gorengan dianggap ampuh untuk menahan rasa lapar sementara.

Dari setiap jenis gorengan yang disajikan, yang mana favorit kamu? Siapa disini yang akan memilih cireng jadi favoritnya?

Ya, makanan dari bahan baku tepung kanji atau tepung tapioka atau aci itu selalu ada di setiap penjual gorengan. Sudah beli tahu isi dan bala-bala (sebutan urang Bandung untuk bakwan), rasanya kurang lengkap kalau tidak ada cireng.

Tekstur luarnya sangat renyah, namun saat digigit, tekstur kenyal menjadikan kudapan ini istimewa dan berbeda di antara yang lain.

Makanan ringan ini awalnya berasal dari tanah Sunda. Kalau Kawan GNFI penasaran, banyak yang mengatakan bahwa cireng pertama kali dijual yaitu pada tahun 1980-an. demikian riset yang GNFI temukan.

Untuk itu GNFI berkesempatan berdiskusi dengan Dewi Turgarini, pakar wisata warisan budaya dan gastronomi Indonesia, pada 22 April lalu. Kami membahas mengenai salah satu kudapan sederhana yang terkenal dan berasal di tanah Priangan itu.

Bahkan Dewi juga menceritakan, dari lahirnya sebuah cireng ada filosofi dan cerita budaya yang belum banyak orang tahu.

Termasuk pembahasan, “Kenapa, ya, orang Bandung senang memodifikasi makanan dari bahan baku aci?”

Sejarah Singkong di Indonesia

Sebelum masuk ke pembahasan kapan orang Sunda memulai membuat cireng untuk pertama kali, ada cerita tentang bahan baku dari tepung aci itu. Yaitu singkong.

Singkong yang memiliki nama latin Manihot Utilisima itu kerap disebut juga sebagai ubi kayu atau ketela. Dan ternyata singkong bukan komoditas asli Indonesia, lho.

Tanaman jenis umbi berakar serabut ini sebenarnya berasal dari Amerika Selatan. Dewi menjelaskan, bahan baku singkong pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-16 yang dibawa oleh Portugis ke Maluku.

Butuh waktu 200 tahun kemudian, yaitu abad ke-18, agar singkong sampai ke Pulau Jawa. Kala itu Belanda yang membawa benihnya.

Sejarah Singkong Indonesia
info gambar

Mengutip Historia, diperkirakan singkong pertama kali diperkenalkan pada sebuah kabupaten di Jawa Timur pada 1852. Catatan seorang kontrolir di Trenggalek kala itu yang bernama H.J. van Swieten, dalam De zoete cassava (Jatropha Janipha) yang terbit pada 1875, singkong sebenarnya kurang dikenal.

Bahkan, di beberapa kawasan Pulau Jawa saat itu tidak ditemukan tanaman ini.

Namun Dewi mengatakan, sebenarnya sejak lahirnya Kota Bandung pada 25 September 1810 silam, pasar-pasar tradisional sudah banyak berkembang.

''Pusat wisata kuliner di Jalan Braga tahun 1800-an sudah ada. Tepung terigu itu sudah dijual tahun 1800-an,'' ungkap Dewi kepada GNFI (22/04/2020).

Jalan Braga Bandung Tempo Dulu
info gambar

Sebenarnya, lanjut Dewi, tanaman singkong termasuk yang sangat mudah ditanam. ''Anda coba menanam hanya batangnya saja, itu akan tumbuh,'' katanya.

Faktor kemudahan menanam inilah yang sebenarnya membuat bahan baku singkong lebih mudah dijadikan bahan makanan.

Bahkan kala itu, padi atau beras kalah pamor dengan singkong karena kemudahan budi dayanya. Dewi mengungkap, sebenarnya penanaman singkong sudah sampai ke pelosok Jawa Barat. Dibandingkan untuk menanam padi, masyarakat Sunda kala itu lebih memilih menanam singkong.

''Tidak semua orang makan nasi. Nasi tidak mudah diperoleh pada zaman dulu. Tapi kalau singkong, semua bisa. Paling mudah (ditanam) si singkong ini,'' jelas Dewi.

Mengutip lagi dari Historia, baru pada permulaan abad ke-20 tingkat konsumsi singkong tercatat sudah meningkat pesat. Ini karena budi daya singkong sudah cukup meluas, khususnya di Pulau Jawa. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk Pulau Jawa kala itu.

''Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,'' tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V.

Saking pesatnya pertumbuhan singkong, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi periode pemerintahan 2014-2016, Yuddy Chrisnandi, pernah mengeluarkan Surat Edaran No. 10 Tahun 2014.

Di sana disebutkan agar semua instansi pemerintahan menyediakan makanan lokal seperti singkong dalam acara-acara pemerintahan.

Hal tersebut harus dilakukan untuk menghargai petani dan merangsang orang bercocok-tanam. Toh, makan singkong juga tak berpotensi menimbulkan penyakit. Kebijakan tersebut berlaku terhitung sejak 1 Desember 2014.

Tepung Aci Sudah Ditemukan 200 Tahun Lalu

Pertanyaan selanjutnya, kapan tepung aci ditemukan?

Dewi pernah melakukan penelitian di Desa Cibuluh, Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, untuk mencari tahu jawaban pertanyaan ini.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa sebenarnya tepung aci sudah ada sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Itu artinya sejak singkong pertama kali disebar oleh Belanda pada abad ke-18.

Saat itulah para nenek moyang masyarakat Sunda sudah menciptakan tepung berbahan dasar singkong, yang selanjutnya disebut sebagai aci.

''Jadi mereka sudah mengenal teknik pengeringan singkong. Dari singkong itulah diolah menjadi tepung, kemudian diolah menjadi beragam makanan. Bahkan diolah menjadi nasi singkong. Yang sekarang terkenal sebagai rasi,'' ungkap Dewi.

Fakta itu juga ia temukan di Desa Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Kini, Desa Cireundeu terkenal menjadi Kampung Adat Cireundeu karena salah satu kebiasaan adat dan budaya yang masih dipertahankan adalah dengan mengonsumsi rasi.

Dalam bahasa Sunda, masyarakat Desa Cireunde dan Desa Cibuluh menyebutnya "oyek". Bahkan masyarakatnya cenderung sudah tidak ketergantungan dengan padi atau beras.

“Di sana (rasi) masih eksis. Mereka tidak terpengaruhi dengan krismon (krisis moneter). Karena bahan baku semua ada di lingkungan mereka. Mereka tidak masalah tidak makan nasi karena mereka makannya nasi singkong atau rasi,” lanjut Dewi.

Rasi Singkong atau Oyek
info gambar

Tepung Aci Dibuat dari Pemanfaatan Perasan Parutan Singkong

Seperti yang disebutkan sebelumnya, tepung aci diperkirakan sudah ada sejak 200 tahun yang lalu. Seiring dengan masuknya benih singkong di daerah Jawa Barat yang dibawa oleh Belanda pada abad ke-18.

Oleh karena itu, diyakini bahwa pertama kali tepung aci ada tidak lama setelah benih singkong sampai ke tanah Sunda. Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan para masyarakat Desa Cireundeu dan Desa Cibuluh yang kerap memanfaatkan setiap bagian dari singkong.

Hasil penelitian dan wawancara Dewi kepada masyarakat di sana menyebutkan bahwa resep tepung aci sudah diajarkan turun temurun. Perkiraan Dewi, resep itu sudah dilakukan 4-5 generasi sebelumnya. Hal itu ia validasi sendiri.

''Bisa dipastikan kenapa saya bilang generasi keempat atau kelima, karena saya telusuri, wawancara langsung. Saya tanya ke yang paling tua, (mereka bilang), ‘Ya saya sudah belajar dari nenek saya’. Padahal dia sudah tua banget.''

Dewi harus menghitung hal tersebut dengan cara kasar. Meski sebenarnya ia pun sangat menyayangkan tidak adanya literasi pasti tentang hal ini.

Pengolahan Rasi di Desa Cireundeu
info gambar

Bagi kita yang hidup di zaman sekarang dan sangat menyukai makanan lokal, perlu tahu asal usul terciptanya suatu bahan baku. Terutama penemuan bahan baku tepung aci yang kita bahas kali ini.

''Itu kelemahan dari bangsa kita. Karena bangsa kita tidak punya budaya untuk menulis. Jadi memang sudah cukup bisa dihitung seperti itu. Mau tidak mau dengan cara yang sangat kasar,'' lanjutnya.

Dengan begini, masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda di Jawa Barat tidak lagi dibutakan oleh ketidakjelasan sejarah mengenai makanan lokal mereka. Terbukti dengan penelitian Dewi bahwa masih ada saksi hidup pembuat tepung aci yang dapat kita gali lebih dalam muasalnya.

Proses pembuatan tepung aci yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cireundeu dan Desa Cibuluh dimulai dengan memilah antara singkong yang beracun dan tidak. Ini karena singkong memiliki kandungan sianida di kulitnya.

Kemudian singkong diparut, dicuci, direndam, lalu diperas oleh kain. Parutan singkong yang telah diperas digunakan untuk membuat oyek (rasi).

Sedangkan air bekas perasannya itu diendapkan. Endapan atau residunya dikeringkan 3-4 hari tergantung sinar matahari. Setelah kering, endapan yang dikeringkan itu ditumbuk lagi hingga halus sehingga berbentuk tepung singkong atau tepung aci.

Lalu kapan cireng pertama kali dibuat?

Cireng Pertama Kali Ditemukan pada 1970, Bukan 1980

“Karena saya sulit menemukan literatur, berdasarkan experience, saya memvalidasi (bahwa cireng ditemukan) tahun 1970,” tegas Dewi.

Sebenarnya Dewi tidak memvalidasi itu sendirian. Hal itu disepakati juga oleh founder Asosiasi Kafe dan Restoran Bandung, Chef R. Wawan G. Martasasmita.

Sebelum GNFI menanyakan perihal kapan pertama kali cireng dijual atau ditemukan di Bandung, Dewi mengaku telah berkoordinasi hal ini dengan Wawan.

''Pak Wawan menyepakati hal yang sama tentang eksistensi dari cireng sampai saat ini. Senior saya yang saat ini usianya menginjak 80 tahun juga memvalidasi hal yang sama,'' ungkap Dewi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penemuan atau pertama kalinya cireng dijual di Bandung adalah pada tahun 1970, bukan tahun 1980. Dan pertama kali sejarah cireng diperjualbelikan justru diperuntukan untuk anak-anak sekolah dasar.

''Saya masih inget itu, waktu kecil makan itu (cireng) tahun 1970-an,'' kenang Dewi.

Ilustrasi Pedagang Cireng
info gambar

Lalu kenapa, ya, orang Bandung senang membuat makanan olahan dari aci? Seperti cilok, cimol, ciu, dan yang paling eksis saat ini seblak. Bahan baku seblak adalah kerupuk yang juga dibuat dari tepung aci.

Kenapa juga, ya, orang Bandung sangat senang memberi nama makanan dari singkatan bahan bakunya?

Dewi bilang kalau itu ada filosofinya.

Begini...

Bandung Adalah Kota Melting Pot

''Bandung adalah (kota} melting pot. Jadi istilahnya di sinilah pusat akulturasi budaya digodok sejak berdirinya Kota Bandung. (Mulai dari) budaya China, kemudian kolonial, bahkan Jepang. Ya memang larinya di Bandung,'' ungkapnya.

Hal itulah yang mendasari kreatifitas orang Bandung dalam menciptakan makanan-makanan ringan yang mudah diterima oleh masyarakat. Apalagi kala itu Bandung di bawah penjajahan.

Melihat dari sejarah lahirnya, awal didirikannya Kota Bandung saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bangkrut pada tahun 1799. Saat itu wilayah kekuasaan VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda.

Pada 25 September 1810, Gubernur Jenderal Herman Willem Daen Daendels mengeluarkan surat keputusan tentang pembangunan sarana dan prasarana di Bandung. Isi suratnya adalah pembangunan kawasan pemukiman.

Tanggal surat dikeluarkan perintah itulah pada akhirnya dijadikan Hari Jadi Kota Bandung hingga saat ini.

Pasar Baru Bandung Tempo Dulu
info gambar

Melihat kondisi di mana masyarakat Bandung sulit untuk mendapatkan makanan seperti beras, roti, dan gandum yang dibawa oleh Belanda, pada akhirnya mereka berinisiatif untuk menciptakan makanannya sendiri.

''Mereka terpacu untuk menyiasati, terpacu untuk berinovasi supaya bisa menciptakan jenis-jenis makanan yang bisa dimakan oleh rakyat biasa. Penjual juga mulai berpikir kreatif bagaimana saya bisa membuat variasi makanan yang bisa dimakan oleh masyarakat jelata,'' beber Dewi.

Hingga akhirnya tercipta oyek atau rasi kala itu. Di tengah lebih mudahnya penanaman singkong dibandingkan padi.

Dan seiring berjalannya waktu, kreatifitas orang Bandung terus berkembang sampai sekarang. Sehingga tercipta juga makanan-makanan ringan berbahan baku aci seperti:

  • Cilok – "Aci dicolok" atau aci yang ditusuk. Cilok berbentuk bulat-bulat seperti bakso. Mematangkannya dengan cara dikukus hingga kenyal. Kemudian disajikan dengan bumbu kacang. Cilok juga sudah melewati modifikasi yang signifikan. Yang tadinya dimakan dengan cara ditusuk, kini sudah diberikan kuah, sehingga jadilah Bakso Aci yang kini sedang digandrungi masyarakat.

  • Cimol – "Aci Dicemol". Dicemol adalah istilah orang Sunda untuk membuat bulat-bulat yang ukurannya lebih kecil. Bedanya dengan cilok adalah cara mematangkannya dengan digoreng hingga mengembang. Kemudian disajikan dengan beragam bumbu, seperti; bumbu kacang, saos cabai, atau bubuk perasa lainnya. Ini juga sempat populer di kalangan anak sekolah.

  • Ciu – "Aci jeung Cau" atau aci dan pisang. Berbeda dengan varian aci lainnya, ciu adalah jenis makanan ringan yang manis. Pisang yang digunakan biasanya pisang jenis kepok yang dipadukan dengan adonan yang sudah diberi aroma daun pandan. Kemudian ciu dibalut daun pisang dan dimatangkan dengan cara dikukus. Sekilas, ciu persis dengan nagasari, tetapi komposisi pisang pada ciu lebih banyak dibandingkan nagasari. Hingga saat ini ciu kerap dikonsumsi saat menikmati Bajigur atau Bandrek, minuman tradisional Sunda.

  • Cimin – "Aci Mini". Makanan inovasi aci ini masih dikatakan baru. Sampai sekarang, khususnya di Bandung, kerap ditemukan banyak penjual cimin karena popularitasnya masih tinggi. Seperti namanya, aci dibuat kecil-kecil berbentuk kotak, kemudian direbus. Setelah itu aci dimasak dengan kocokan telur sampai telur matang. Terakhir disajikan dengan menggunakan bumbu-bumbu perasa sesuai selera.

Kawan GNFI sudah pernah coba cimin?

Alasan Orang Bandung Memberi Nama Makanan dengan Singkatan

Nama-nama makanan ringan orang Bandung memang sederhana dan terdengar ikonik. Bukan hanya bahan baku dari aci, tapi ada juga makanan lain yang dinamai dari singkatan atau akronim bahan baku makanannya.

Seperti batagor (baso tahu goreng), colenak (dicocol enak), gehu (toge jeung tahu/toge dan tahu), comro (oncom di jero/oncom di dalam), misro (amis di jero/manis di dalam), dan sebagainya.

Dewi mengungkapkan bahwa pemberian nama makanan yang sederhana itu mencerminkan kultur orang Sunda.

''Orang Sunda itu terkenal karena keramahan dan sifat easy going-nya. Jadi orang Sunda itu nggak suka berpikir ribet. Jadi untuk makanan pun mereka mengambil makanan yang mudah diingat dan mudah disebut,'' katanya.

Selain itu, Dewi juga menyinggung soal letak geografis Bandung. Dengan iklim yang sejuk, membuat sifat dan watak orang Sunda juga dikenal sangat menyenangkan.

''Ada semacam candaan, ‘Punya istri orang Sunda mah ngga repot. Kencarkeun we di kebon, bisa makan’.'' (Punya istri orang Sunda tidak akan repot. Lepaskan saja dia di kebun, pasti bisa makan)

Hal itulah yang membuat cara berpikir orang Sunda lebih sederhana didukung oleh lingkungan yang membuat mereka bisa untuk terus menikmati hidup, dengan terus berpikir kreatif.

Kultur tersebut terjadi sampai sekarang. Dewi mengaku, orang Bandung memang punya karakter untuk terus berinovasi. Tidak aneh kalau Bandung masih dianggap sebagai pusat kuliner di Indonesia.

''Inovasi-inovasi produknya cukup cepat,'' katanya.

Klaim Cireng Sebagai Makanan Tradisional Bandung

Saat berdiskusi dengan GNFI, Dewi mengaku sangat menyayangkan ketika banyak makanan lokal yang masih ada di Nusantara ini, khususnya di Bandung, tidak bisa diketahui oleh masyarakatnya sendiri.

''Jangan terus salahkan tetangga sebelah yang mengklaim budaya kita, karena kita sendiri juga belum mendaftarkan makanan kita untuk mendapatkan Hak Paten dan HKI (Hak Kekayaan Intelektual),'' kata Dewi.

Meski begitu, ada hukum 'alam' yang selama ini selalu dipegang oleh para penggiat warisan budaya gastronomi Indonesia. Yaitu, ''Perlu dipahami bahwa cireng itu kalau dia sudah berusia 40 tahun, maka itu sudah menjadi bagian dari warisan budaya etnik orang Sunda,'' kata Dewi.

Dewi mengaku tidak pernah patah semangat untuk bisa mengakui dan membuat klaim akan makanan lokal Sunda sebagai warisan budaya. Terutama untuk terus mengenalkan budaya makan lokal kepada anak cucunya. Mulai dari diri sendiri dan konsisten.

''Kita harus lebih cerdas dan peduli tentang apa yang ada di dalam lingkungan kita sendiri. Apakah kita sudah mengajarkan anak kita makan makanan tradisional? Itu, kan, cara menguji nasionalisme kita,'' pesan Dewi.

Ternyata dari sebuah makanan kecil sebenarnya memiliki nilai budaya, sejarah, dan filosofis yang akan membuat kita tambah mencintai negeri ini.

Bagaimana dengan di wilayah Kawan GNFI? Adakah makanan lokal yang punya kisah dan sejarah seru dibaliknya? Yuk, kita berbagi cerita!

--

Sumber: Wawancara Eksklusif | Historia | Kabarbandung.id | Fimela

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini