Selawat Badar dan Kisah Menarik di Balik Terciptanya

Selawat Badar dan Kisah Menarik di Balik Terciptanya
info gambar utama

Sholaatullaah salaamullaah
Alaa Thooha rosuulillaah
Sholaatullaah salaamullaah
Alaa Yaasin habiibillaah

_Selawat Badar_ (Ciptaan Kiai Ali Mansur)

Penggalan bait tadi merupakan syair yang mungkin paling sering dikumandangkan di masjid-masjid yang ada di Indonesia. Sementara bagi warga nahdliyin atau jemaah Nahdlatul Ulama, syair tersebut bisa dibilang seperti “lagu wajib” di kalangan mereka.

Bait tersebut adalah penggalan syair selawat Badar yang berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw, dan para sahabatnya yang berjuang dalam Perang Badar. Tapi, tahukah Kawan GNFI siapa orang yang mengarang selawat legendaris tersebut?

Selawat itu merupakan karya dari Kiai Ali Mansur pada tahun 1960. Ketika itu, ia tengah menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, Jawa Timur sekaligus menjadi Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di kota itu.

Latar belakang terciptanya selawat Badar kabarnya karena kegelisahan Kiai Ali Mansur dengan kondisi politik saat itu. Saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang dalam masa jayanya. Pengaruh politiknya meluas hingga ke desa-desa. NU yang merupakan organisasi bagi para kiai dari kota hingga ke pelosok desa adalah saingan utamanya.

Karena kegelisahannya, pada suatu malam Kiai Ali tidak bisa tidur. Ia terus-menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. “Karena memang kiailah pesaing utama PKI di tempat itu,” tulis buku Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah Uswah.

Dalam kegelisahannya, Kiai Ali merenung sambil memain-mainkan penanya. Di atas secarik kertas, kemudian ia menulis syair-syair dalam Bahasa Arab.

Kiai Ali memang dikenal piawai membuat syair-syair sejak ia masih nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

“Kiai Ali suka ilmu Arrudh (ilmu syair), dan belajar ilmu ini di Lirboyo. Ia sering diajak diskusi pengasuh masalah Arrudh. Menurut Gus Dur (red: KH Abdurrahman Wahid), Kiai Ali juga pernah belajar di Tebuireng,” kata Kiai Syakir Ali, putra kedua Kiai Ali Mansur, dikutip dari NU.or.id.

Malam itu, sambil menulis syair-syair dalam dalam Bahasa Arab, ia teringat akan mimpinya di malam sebelumnya. Ia bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau. Ia heran apa maksud dari mimpinya itu.

Tambah mengherankan lagi, karena di malam yang sama, istrinya juga mimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Karena keheranannya, keesokan harinya ia bergegas menanyakan perihal mimpinya kepada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi.

Ia menceritakan semua kegelisahan dan kedua mimpi sarat makna itu--mimpinya dan mimpi istrinya. Mendengar cerita Kiai Ali, Habib Hadi menjawab, “Itu Ahli Badar, ya, Akhi!” seperti dikutip dalam buku Antologi NU.

Konon, dari kedua mimpi sarat makna itulah, Kiai Ali terdorong untuk menulis syair yang hingga kini dikenal dengan Selawat Badar.

Kedatangan Habib Ali Kwitang dan Rombongan Ulama

habib ali kwitang
info gambar

Keheranan Kiai Ali tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, banyak tetangga-tetangga yang datang ke rumahnya. Mereka membawakan beras, daging, dan lain sebagainya. “Layaknya akan mendatangi orang yang punya hajat mantu,” dikutip dari Laduni.id.

Karena keheranannya, lalu ia bertanya kepada tetangga yang mengiriminya bahan makanan tersebut. Mereka bercerita, pada pagi-pagi buta tadi, pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan, bahwa di rumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.

Kiai Ali masih bingung mengenai siapa orang berjubah putih yang menyebarkan informasi tersebut. Tambah mengherankan lagi, “malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana, dan untuk apa,” seperti dikutip dari buku Antologi NU.

Tidak disangka, keesokan paginya, serombongan habib berjubah putih hijau yang dipimpin Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta, datang ke rumah Kiai Ali Mansur.

Dalam buku kecil Kiai Ali Mansur tercatat, kunjungan para habib tersebut terjadi pada, “Hari Rabu pagi tanggal 26 September tahun 1962 jam 8 pagi,” dikutp dari Laduni.id.

Kiai Ali sangat senang mendapat kunjungan dari para ulama besar yang sangat dihormati umat Islam. “Alhamdulillah,” ucapnya.

Selawat Badar untuk Menyaingi Genjer-Genjer

sholawat badar
info gambar

Dalam kunjungan tersebut terjadi perbincangan dan beberapa ceramah agama yang disampaikan oleh Habib Ali Al Habsyi Kwitang, Habib Muhammad bin Ali Al Habsyi, dan Habib Salim bin Jindan.

Usai ceramah dan perbincangan basa-basi sebagai pengantar. Habib Ali Kwitang menanyakan suatu hal yang tidak diduga. Ia bertanya soal syair yang baru saja ditulis oleh Kiai Ali.

“Ya Akhi! Mana syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!” pinta Habib Ali.

Sontak Kiai Ali bingung, sebab belum ada satu orang pun selain dirinya yang tahu perihal syair tersebut. Namun seketika itu juga ia memaklumi, mungkin itulah karamah yang diberikan Allah Swt., kepada Habib Ali.

Sebagai ulama besar yang dihormati, Habib Ali memang dikenal luas sebagai waliyullah atau wali Allah Swt. “Dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah hal aneh dan perlu dicurigai,” dikutip dari buku Antologi NU.

Segera Kiai Ali mengambil kertas yang berisi selawat Badar hasil perenungannya. Kebetulan Kiai Ali dianugerahi suara yang merdu. Di hadapan para habib itu, lantunan selawat Badar Kiai Ali membuat mereka meneteskan air mata haru.

Usai mendengar lantunan selawat Badar dari Kiai Ali, Habib Ali Kwitang bangkit. “Ya Akhi! Mari kita perangi Genjer-Genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” serunya bersemangat.

Sejak saat itu, selawat Badar terkenal di kalangan warga Nahdliyin yang seakan-akan menjadi “lagu wajib” hingga kini.

Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang Kiai Ali Mansur serta ulama-ulama lainnya datang ke kediamannya di Jalan Kwitang, Jakarta. Di sana, selawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur.

Sempat Terlupakan

Shalawat badar
info gambar

Jasanya sebagai penulis selawat Badar hampir dilupakan. Namun, pada Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, selawat Badar dikukuhkan sebagai mars Nahdlatul Ulama.

Kemudian oleh KH. Abdurahman Wahid, kembali ditegaskan siapa penulis syair tersebut saat ia menjabat sebagai Ketua PBNU pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri. Pada Harlah ke-91 NU, Kiai Ali Mansur dianugerahi tanda jasa Bintang Kebudayaan atas karyanya.

“Awalnya banyak yang tidak tahu siapa penulis shalawat Badar sebelum Gus Dur menyebutkan Kiai Ali sebagai pengarangnya. Saat itu Gus Dur takut shalawat Badar diakui orang luar. Gus Dur minta saya bawakan data penguat bila Kiai Ali memang penulis shalawat Badar ke Jakarta,” tutur Kiai Syakir, dikutip dari Tebuireng.online.

Usai dibahas Gus Dur, nama Kiai Ali Mansur lalu dikenal dan menjadi bahan pembicaraan ahli sejarah dan budayawan, khususnya yang berasal dari kalangan nahdliyin. Sejalan dengan itu, akhirnya banyak peziarah dari jauh yang datang ke makam Kiai Ali Mansur di Desa Mabit, Rengel, Tuban.

Kiai Syakir bersyukur ayahnya suka menulis dan mempunyai catatan pribadi setiap melakukan sesuatu. “Abah itu punya buku harian dan suka menulis kegiatannya di buku harian, kertas kosong dan pinggir kitab. Sampai sekarang saya masih punya catatan pribadi Kiai Ali dalam tulisan pego dan latin,” ungkap Kiai Syakir.

Hal itu memudahkannya menjelaskan kepada orang-orang yang bertanya soal Kiai Ali Mansur dan karya fenomenalnya, selawat Badar.

Dikutip dari Tebuireng.online di antara catatan Kiai Ali Mansur dalam tulisan pego yang ditemukan oleh Kiai Syakir, berbunyi:

Naliko kulo gawe lagune shalawat Badar, yoiku sak ba’dane teko songko Makkah al-Mukarramah, kang tak anyari waktu lailatul qiro’ah kelawan ngundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi sak muride. Yoiku ono malem jum’at tahun 1960, tonggoku podo ngimpi weruh ono bongso sayyid utowo habib podho melebu ono omahku. Wa karimati, Khotimah, ugo ngimpi ketho’ kanjeng Nabi Muhammad iku rangkul-rangkulan karo al-faqir. Kiro-kiro dino jum’at ba’da shubuh, tonggo-tonggo podho ndodok lawang pawon, podho takon: ‘Wonten tamu sinten mawon kolo ndalu?’. Lajeng kulo tanglet Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: ‘Haa ulaai arwaahu ahlil badri rodhi-yalloohu ‘anhum’. Alhamdulillahi Robbil ‘aalamiin”.

Sosok Kiai Ali Mansur memang tidak sepopuler karyanya. Namun sebagai generasi yang mewarisi karyanya, kita wajib mengetahui siapa orang yang telah berjasa mengarangnya. Saat ini, karyanya bukan hanya dilantunkan oleh warga nahdliyin saja. Akan tetapi, oleh hampir semua umat Muslim di Indonesia, bahkan di dunia.

Apalagi di tengah bulan suci Ramadan seperti sekarang ini. Saat menjelang berbuka puasa, di masjid-masjid kerap dilantunkan selawat Badar dengan penuh khidmat: Sholaatullaah salaamullaah/ Alaa Thooha rosuulillaah/ Sholaatullaah salaamullaah/ Alaa Yaasin habiibillaah

Sumber: Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah Uswah | Tebuireng.online | NU.or.id | Santri.net | Laduni.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini