Tari Caci, Seni Mencambuk Kejantanan Pemuda Flores

Tari Caci, Seni Mencambuk Kejantanan Pemuda Flores
info gambar utama

Kawan GNFI ada yang suka dicambuk? Jawabnya tentu tidak ada, begitupun penulis.

Lain cerita bagi masyarakat khususnya para pemuda dari Suku Manggarai, Flores, Nusa tenggara Timur (NTT). Dicambuk adalah sebuah kebanggaan, kesenangan, dan sukacita. Begitu kira-kira saat mereka melakoni Tari Caci, tarian adat khas Tanipa--sebutan untuk tanah Flores.

Mengapa begitu? Karena Tari Caci merupakan bagian dari proses kedewasaan para pemuda Flores hingga mereka beranjak dewasa.

Dari kulturnya, Tari Caci adalah salah satu kesenian tradisional yang sakral dengan konsep tarian perang. Menukil sejarahnya, tarian ini terinspirasi dari adu kekuatan para pemuda antar-wilayah yang turun temurun dilakukan, hingga kemudian menjadi salah satu bagian kultur dan seni budaya sakral di pulau Flores.

Pelakon tarian ini terdiri atas dua orang laki-laki yang bertarung menggunakan cambuk berbahan kulit, dan perisai yang terbuat dari kulit kerbau.

Saat keduanya berlaga, musik tak henti bertabuh diiringi sorakan penonton.

Sebagai salah satu budaya khas Flores, tarian ini dilakukan hanya pada acara-acara khusus. Semisal, saat Hang Woja (musim panen), Penti (ritual tahun baru), upacara pernikahan adat, serta upacara adat lainnya.

Kemudian saat ini, Tari Caci berkembang menjadi suguhan spesial bagi para tamu undangan pemerintahan, maupun kunjungan para turis ke desa-desa adat Flores.

Saat penulis berkunjung ke Manggarai Barat beberapa waktu lalu, satu desa yang masih kental menyajikan budaya ini adalah Kampung Cecer, Desa Liang Ndara.

Secara geografis, desa ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Labuan Bajo, dan masuk dalam kawasan wisata budaya Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat.

Ada banyak sekali padepokan Tari Caci yang berada di kawasan Manggarai. Namun khusus untuk Kabupaten Manggarai Barat, padepokan Riangtana Tiwa, di Desa Liang Ndara, adalah perkumpulan yang cukup dikenal dan menjadi rujukan para wisatawan yang ingin melihat pergelaran Tari Caci secara langsung.

Di Padepokan ini, sekira ada 30 anggota tetap penari Caci serta 70 anggota tak tetap. Para anggota tak tetap akan menggantikan para pemain utama jika berhalangan. Selain itu mereka juga akan menjadi pengiring melalui musik dan lagu-lagu saat tarian tersebut dipertontonkan.

Baca juga:

Muasal Nama Tari Caci

Nama Caci merupakan ringkasan dari kata "Ca" yang bermakna satu, dan "Ci" yang berarti uji.

Artinya, untuk menentukan tingkat kematangan seorang laki-laki di Flores, mereka harus melalui uji ketangkasan dalam sebuah pertarungan satu lawan satu.

Di mata masyarakat Manggarai, laki-laki yang sudah pernah melakukan tarian ini konon akan berlabel sebagai laki-laki dewasa. Ia pun akan mendapatkan penghormatan, baik dari tetua adat maupun kaum perempuan Flores.

Uniknya, kebanggaan mereka justru terletak pada banyaknya luka bekas cambuk pada kulit. Semakin banyak bekas cambuk, maka derajat lelaki tersebut semakin diperhitungkan.

Menilik fungsinya, Tari Caci merupakan media atau cara bagi para laki-laki Manggarai untuk membuktikan kejantanan mereka.

Meski tersaji dengan unsur kekerasan di dalamnya, kesenian ini memiliki pesan yang damai. Seperti semangat sportivitas, saling menghormati, dan yang paling penting, tak meninggalkan rasa dendam di antara para petarung.

tari caci
info gambar

''Sebenarnya tarian Caci ini mengajarkan kepada manusia semua tentang hidup dan kebaikan, peningkatan kedewasaan dan kematangan seorang laki-laki, serta mengajarkan bagaimana strategi ketika menerima tekanan,'' terang Kristoforus Nison, pendiri sanggar padepokan Riangtana Tiwa, pada penulis beberapa waktu lalu.

Tari Caci, sambung Kris--sapaan akrabnya, merupakan gambaran kehidupan yang bersinergi antara alam dan manusia. Tarian ini juga merupakan gambaran proses kedewasaan kaum lelaki Manggarai.

Kedewasaan yang dimaksud adalah, para laki-laki kelak akan menjadi pemimpin sehingga harus bisa membedakan hal baik dan buruk. Lain itu, harus cermat menyusun strategi dan meredam emosi, serta tak menyimpan dendam.

Bagi para laki-laki Flores, saat usia Sekolah Dasar mereka sudah mulai belajar dengan menonton Tarian Caci, kemudian mendapat penjelasan teorinya.

Kemudian saat beranjak ke bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), mereka diperkenalkan pada alat-alat yang digunakan, seperti tudung, kerincing, sarung, tameng, dan pecut.

Kemudian pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA), mulailah mereka diajarkan cara bertarung Caci, serta strategi memecut lawan.

Ragam Istilah dalam Tari Caci

Tarian ini juga memiliki tiga makna, yakni Naring, Hiang, dan Mengkes. Naring artinya memuji, Hiang artinya menghormati, dan Mengkes artinya bergembira.

Jadi, tarian ini adalah sebuah tarian yang dilakukan dengan perasaan gembira untuk menghormati lawan sekaligus menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan.

Tarian ini juga mengombinasikan antara Lomes, Bokak, dan Lime. Lomes merupakan perpaduan keindahan gerak tubuh dan busana yang dipakai para petarung.

Sementara Bokak adalah keindahan seni vokal yang dilakukan petarung dan pengiring sekitarnya. Kemudian Lime bermakna ketangkasan dalam mencambuk atau menangkis cambukan serangan lawan.

Selain harus piawai dalam bertarung, para pelakon juga dibekali kemampuan olah vokal untuk bernyanyi. Mereka akan spontan bernyanyi ketika menangkis cambukan untuk menyampaikan Paci.

Paci merupakan tantangan untuk memengaruhi lawan, serta sebagai media untuk memotivasi atau menggelorakan semangat bertarung.

tari caci
info gambar

Kelengkapan Para Petarung

Para petarung akan dibekali kostum atau pakaian dengan ornamen khusus layaknya pendekar yang akan maju ke medan perang.

Secara fisik, mereka akan bertelanjang dada, hanya menggunakan penutup kepala dan topeng yang terbuat dari kulit kerbau untuk melindungi bagian vital pada muka.

Sementara pakaian bawah yang dikenakan, hanya berupa celana panjang sebetis yang dililit kain sarung khas Manggarai berwarna hitam.

Lain itu, aksesori tambahan para petarung adalahi gelang giring-giring yang disematkan pada kaki. Gelang itu akan berbunyi mengikuti gerakan tarian dalam pertarungan.

Baca juga:

Proses Pertarungan

Sebelum para petarung bertanding dalam arena pertunjukan, acara terlebih dahulu akan diawali dengan Tari Tandak atau Tari Danding khas Manggarai. Tarian ini lazim dilakukan para lelaki dan wanita sebagai pembuka dalam sebuah acara adat.

Kemudian saat kedua petarung memasuki arena, mereka terlebih dulu melakukan pemanasan dengan menari keliling arena sambil menyuarakan tantangan yang diringi lagu-lagu adat.

Saat bertarung, bagi yang melakukan serangan dengan lecutan cambuk disebut Paki, sementara bagi petarung yang menangkis dengan perisai dijuluki Pa'ang.

Pertarungan ini tentunya berpotensi mencederai fisik. Karenanya, atraksi para petarung pun dibentengi dengan beragam aturan. Mereka hanya boleh melecutkan cambukan pada bagian tubuh atas lawannya, seperti lengan, punggung, atau dada.

Aturan lainnya adalah soal respek, atau menghormati lawan. Seperti ketika perisai lawan terlepas dari genggaman, petarung satunya harus memberikan kesempatan kepada lawan itu untuk mendapatkan kembali perisai tersebut.

Artinya, petarung tak boleh menyerang ketika kawan lemah, atau tak memiliki perlengkapan tarung yang memadai.

Satu pemain akan dinyatakan kalah jika terkena cambuk pada bagian wajah atau kepala, meski pada bagian kepala terdapat aksesori tambahan berupa kanopi untuk melindungi mata dan dahi dari ujung cambuk.

Usai bertarung, keduanya dan kelompok pendukungnya dikumpulkan untuk berjabat tangan, sebagai simbol tak ada dendam di antara mereka. Mereka pun lazim menutup tarian dengan menenggak Sopi, tuak khas Flores.

Bagi para petarung Caci, selamat Hari Tari Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 29 April. Lestarikan terus Tari Caci sebagai budaya lokal khas Flores, serta pemikat bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara.

Salam Lestari!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini