Ajang Pencarian Bakat di Indonesia dari Masa ke Masa

Ajang Pencarian Bakat di Indonesia dari Masa ke Masa
info gambar utama

Jika Kawan GNFI sekarang merasa akrab dengan ajang pencarian bakat seperti Indonesian Idol, Liga Dangdut Indonesia, atau program mancanegara macam American Idol, Britain's Got Talents, dan yang lainnya, sebenarnya Indonesia punya sejarah panjang soal ajang ini.

Ajang pencarian bakat atau yang dulu lebih akrab dengan istilah lomba, kontes, atau festival, kerap menjadi pintu masuk menjadi bintang di dunia hiburan. Sebut saja legenda Indonesia, Titiek Puspa. Sebenarnya ia telah tersingkir pada babak awal lomba Bintang Radio tahun 1954. Namun, ia bangkit menjadi bintang setelah menjadi juara Bintang Radio dan Televisi 1974. Konon, karena sehari sebelumnya ia mendapat tanda tangan penyanyi Bing Slamet (ayah Adi Bing Slamet) pada secarik kertas yang terus digenggamnya sampai tidur.

Cerita-cerita ini menghiasi industri hiburan dan menjadi inspirasi bagi mereka yang mengadu nasib di dunia ini. Sekarang, yuk kita bahas beberapa ajang pencarian bakat di Indonesia dan masa ke masa.

Titiek Puspa dan Bing Slamet 1965
info gambar

Ajang Pencarian Bakat di Radio

Yang tercatat sebagai pelopor adalah Bintang Radio yang diselenggarakan Radio Republik Indonesia (RRI). Ya, saat itu media yang tersedia memang terbatas pada radio milik pemerintah. Peluncuran ajang ini bersamaan dengan Hari Radio 11 Desember 1951.

Ajang itu melombakan tiga kategori, yakni keroncong, seriosa, dan hiburan. Jadi, musik pop waktu itu disebut musik hiburan. Penilaian utamanya adalah teknik vokal atau sering disebut golden voice.

Dari ajang ini lahir bintang-bintang seperti Sam Saimun, Bing Slamet, Norma Sanger (yang populer dengan lagu “Si Gembala Sapi”), dan Waldjinah.

Bintang Radio ini digulirkan lagi oleh RRI sejak 2018 dengan format baru.

Fast forward ke 1977, radio swasta yang digandrungi anak muda Prambors mengadakan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang pertama pada tahun itu. Menurut almarhum Denny Syakrie dalam artikel di blognya, festival ini menjadi titik balik musik Indonesia setelah sebelumnya didominasi musik-musik sederhana gaya Koes Plus, Panbers, atau The Mercy’s. Lagu-lagu yang beredar saat itu terasa seragam dan monoton dari sisi tema dan musikalitas. Menurut Denny, seniman Remy Sylado sampai berseloroh bahwa sebagian besar tema lagu pada saat itu adalah “mengapa”.

LCLR menjadi titik balik karena menampung corak musikalitas yang lebih beragam. Pada ajang pencarian bakat perdana itu, ada lagu yang ditulis sekelompok anak SMA Negeri 3 Jakarta masuk dalam 10 besar. Siapa anak-anak SMA itu? Fariz RM, Adjie Soetama, Raidy Noor, dan Iman RN—nama-nama yang kelak menjulang di belantika musik Indonesia.

Pada ajang ini pula lagu “Lilin-Lilin Kecil” dari James F. Sundah membahana hingga sekarang dengan suara khas Chrisye.

Pada setiap tahun, lagu-lagu yang masuk 10 besar dari pemusik baru atau “orang biasa” diaransemen oleh musisi yang terbilang sudah mapan dan di sinilah persilangan musikalitas terjadi. Ada Yockie Suryoprayogo yang membawa pengaruh rock progresif dengan bunyi-bunyi elektronik, ada Addie MS dengan sentuhan musik klasik, dan Abadi Soesman dan Benny Likumahuwa yang meniupkan nuansa jazz.

Ajang ini sempat mandeg pada beberapa tahun. Namun, sampai gelarannya yang terakhir pada 1996 LCLR Prambors telah memberi kita sejumlah hits abadi seperti “Kidung” karya Chris Manusama—yang walau awalnya dinyanyikan Bram “Pahama” (1978) namun sekarang malah identik dengan Chrisye, “Keraguan” yang dibawakan oleh Trie Utami (1987), atau “Salahkah Aku” oleh Titi DJ (1991/1992).

Sampul kaset album kompilasi Lomba Cita Lagu Remaja Prambors 1979 | Sumber: Wikipedia
info gambar

Ajang Pencarian Bakat di TV

Ajang pencarian bakat di TV pertama kali adalah transformasi dari Bintang Radio yang berkembang menjadi Bintang Radio dan Televisi setelah RRI bekerja sama dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada 1974. Ajang ini bertahan cukup lama, tentu karena media milik pemerintah memang lagi jaya-jayanya waktu itu.

Ajang ini berjalan cukup lama dan melahirkan bintang-bintang pada zamannya, seperti Eddy Silitonga, Andi Meriem Mattalatta, Hetty Koes Endang, dan masih banyak lagi.

Selain ajang di atas, sebenarnya sejak 1973 Indonesia memiliki Festival Lagu Populer Indonesia (yang kadang disebut juga Festival Lagu Populer Nasional) yang terhubung dengan World Popular Song Festival di Jepang yang diselenggarakan oleh Yamaha Music Foundation.

Walau telah melahirkan beberapa hits dalam album-album kompilasi, seperti “Pergi untuk Kembali” ciptaan Minggus Tahitoe (1975) atau “Simfoni yang Indah” yang dilantunkan Bob Tutupoly (1980), ajang ini baru bangkit dan menarik perhatian pada pertengahan 1980-an setelah didukung oleh siaran di TVRI.

Pada guliran festival inilah Harvey Malaiholo dikukuhkan “buaya festival”—istilah yang dipelesetkan dari julukan “buaya keroncong” kepada kakeknya, Bram Titaley. Pada 1985 festival juga menjadi tempat lahirnya lagu abadi “Burung Camar” yang menjadi kini melekat pada si cantik Vina Panduwinata. Pada era ini pula, lagu-lagu karya Yovie Widianto mulai terdengar karena masuk 10 besar dalam beberapa kali pelaksanaannya.

Pada era 1990-an layar TV diwarnai oleh ajang pencarian bakat lintas negara Asia Bagus yang tayang sejak 1991 hingga 2000. Bintang Indonesia yang lahir dari ajang ini adalah Krisdayanti, Dewi Gita dan Rio Febrian. Program ini juga menjadi awal televisi Indonesia menyiarkan program yang diproduksi oleh stasiun TV di luar negeri. Asia Bagus dikreasi oleh Fuji Television, Jepang, dan disiarkan serta diikuti oleh peserta dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Thailand.

Ajang pencarian bakat di TV memasuki babak baru dengan bermunculan program-program waralaba internasional di stasiun-stasiun TV swasta. Diawali oleh Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang tayang perdana Desember 2003. Program ini merupakan adaptasi dari program La Academica dari stasiun Azteca TV, Mexico. Program serupa juga tayang di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina.

AFI ini juga merupakan program pertama yang memadukan penilaian juri dan jajak pendapat penonton lewat voting SMS.

Tahun 2004 acara Indonesia Idol mengentak layar kaca. Acara ini merupakan kreasi produser musik Simon Cowell yang terkenal dengan komentar tajamnya di acara American Idol dan belakangan America's Got Talent. Di Indonesia, acara ini ditayangkan oleh RCTI dan bertahan hingga sekarang.

Selain dua program tersebut, sejumlah program pernah berseliweran di TV kita. Sebut saja X-Factor Indonesia, masih kreasi Simon Cowell dan waralaba dari rumah produksi Fremantle. Walau hanya bertahan tiga musim dan absen sekitar empat tahun dari musim kedua ke musim terakhirnya pada 2019, ajang ini sempat melahirkan Fatin Sidqia yang masih eksis sampai sekarang.

Di genre musik dangdut kita mengenal D’Academy di Indosiar sebagai ajang pencarian bakat yang dari 2014 hingga 2017. Pada 2018 Indosiar mengubah nama dan formatnya menjadi Liga Dangdut Indonesia yang bertahan sampai sekarang.

Bintang-bintang yang lahir dari ajang pencarian bakat

  • Titiek Puspa – Bintang Radio dan Televisi 1974
  • Andi Meriem Matalatta – Bintang Radio dan Televisi 1975
  • Yuni Shara – Bintang Radio dan Televisi 1987
  • Krisdayanti – Asia Bagus 1992
  • Rio Febrian – Asia Bagus 1997
  • Judika – Indonesian Idol 2005
  • Bastian Steel – Idola Cilik 2008/2009
  • Fatin Shidqia – X Factor Indonesia 2013

Krisdayanti dalam program Asia Bagus
info gambar

Ajang Pencarian Bakat di Era Digital

Semakin kuat pengaruh internet dan komunikasi digital membuat para kreator ajang pencarian bakat harus memutar otak. Indonesian Idol termasuk yang berani dan berhasil mentransformasi program TV dengan program digital melalui kanal YouTube. Transformasi di sini maksudnya tidak hanya mengunggah rekaman program TV ke YouTube, melainkan menjadikan YouTube bagian dari program tersebut.

Eventori - #DiRumahAjaChallenge2 beraam Denny Chasmala
info gambar

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) turut ambil bagian dalam mempercepat proses digitalisasi, termasuk dunia hiburan. Diinspirasi semangat ikut meringankan beban masyarakat yang terdampak COVID-19, sejulah konser amal berkonsep #DiRumahAja pun digelar, seperti yang dilakukan Najwa Shihab, Erwin Gutawa bersama Tulus, atau Didi Kempot.

BACA JUGA: 3 Jam, Konser Ambyar Tembus Donasi Rp 5 Miliar

Merespons perkembangan situasi, platform kolaborasi dunia hiburan Eventori menggelar #DiRumahAjaChallenge yang kini telah memasuki season kedua. Tujuannya, agar para seniman dan insan kreatif tetap dapat berkreasi melahirkan karya walau harus tetap tinggal di rumah untuk menekan penyebaran virus korona.

Dalam season kedua yang bertagar #DiRumahAjaChallenge2 ini peserta diajak berkolaborasi secara digital bersama komposer bertangan dingin Denny Chasmala. Denny adalah komposer di balik lagu "Pilihlah Aku" yang mengantarkan Krisdayanti menjadi diva, serta lagu "Berharap Tak Berpisah", lagu lama Reza Artamevia yang kini menjadi "lagu wajib" di Senoparty.

BACA JUGA: Supaya Tetap Produktif dan Kreatif, Eventori Luncurkan #DiRumahAjaChallenge2

Yang istimewa dari ajang pencarian bakat ini adalah para juara tidak hanya menerima hadiah uang total Rp 30 juta, tapi juga akan dampingi oleh tim talent management Eventori untuk masuk ke industri musik secara profesional.

Seru, kan? Program ini masih berlangsung hingga 15 Mei 2020. Cek syarat dan ketentuannya di IG @eventori.id atau Facebook Eventori.

SUMBER: www.dennysyakrie63.wordpress.com | Wikipedia | www.rri.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini