Sumpah Bung Hatta yang Tak Pernah ke Singapura Hingga Akhir Hayatnya

Sumpah Bung Hatta yang Tak Pernah ke Singapura Hingga Akhir Hayatnya
info gambar utama

Sang Proklamator ini memang tidak main-main kala bersumpah. Sebelumnya, ia bahkan mengenyampingkan kebutuhan pribadinya, yaitu dengan bersumpah untuk tidak menikah sebelum negeri ini merdeka.

Baru pada 18 November 1945 ia meminang gadis bernama Rahmi Rachin. Tepat tiga bulan setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Sumpah Bung Hatta selanjutnya yang ia tepati sampai akhir hayatnya adalah tidak akan menginjakkan kaki ke Singapura. Apapun alasannya! Mau itu seminar, rapat petinggi negara, hingga hanya sekedar transit pesawat.

Sumpah itu ia katakan langsung di depan istrinya, Rahmi. Sumpah itu merupakan bentuk kekecewaan Hatta terhadap pemerintah Singapura saat dua orang marinir yang dihormati Indonesia, yaitu Serda Usman dan Kopral Harun, dihukum mati pada 17 Oktober 1968.

Keputusan itu diturunkan setelah kasus pengeboman di Hotel MacDonald, Orchard Road, Singapura.

12 tahun Hatta tepati janjinya itu dengan tegas dan konsisten, tanpa ada dalih dan alasan. Hatta seolah melawan Singapura dengan tidak pergi ke sana. Hatta melawan dengan cara damai.

Mengapa Bung Hatta begitu anti menginjakkan kaki di Singapura? Ada masalah apa antara Indonesia dan Singapura?

Berawal dari Konfrontasi Federasi Malaya dan Hubungannya dengan Singapura

Pada tahun 1962, Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu – sebutan untuk Malaysia kala itu.

Presiden Soekarno tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam yang terletak di Pulau Kalimantan bagian Utara, yang berdampingan langsung dengan NKRI.

Menurut Soekarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Hingga pada 1963, Soekarno membuat seruan “Ganyang Malaysia” yang disebutnya atas nama martabat bangsa.

Presiden Soekarno Saat Berpidato
info gambar

Kala itu Soekarno memerintahkan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani untuk menjalankan misi penting, yaitu melakukan aksi sabotase di Singapura. Omar akhirnya membutuhkan tiga sukarelawan untuk menyelesaikan misi itu.

Dua diantaranya yaitu Usman dan Harun, lalu Gani yang diberitakan selamat dalam misinya itu. Tugas mereka bertiga adalah memantik ricuh di Singapura dengan alasan membela negeri atas tindakan imperialisme Malaysia.

Mengapa Singapura Dipilih Untuk Misi Penting “Ganyang Malaysia”?

Mantan Kepala Sub Dinas Sejarah TNI AL, Kolonel Laut Rony E. Trungan menjelaskan bahwa ini semua diawali oleh proposal pembentukan Federasi 3S (Singapura, Sarawak, dan Sabah). Itu terjadi tahun 1961 dan memantik konfrontasi Indonesia dan Malaysia untuk pertama kali.

Federasi itu hendak membuat negara federasi yang menggabungkan kawasan Malaya, Sabah, dan Singapura. Rony mengatakan, tindakan itu disebut juga berpotensi menimbulkan neokolonialisme. Apalagi pergerakan federasi itu masih berada di bawah tangan Inggris. Dan Soekarno sangat anti-neokolonialisme.

Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) kala itu juga pernah melakukan pemberontakan di Brunei pada 8 Desember 1962. Mereka ingin segera memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunei, Serawak, dan Sabah. Upaya menangkap Sultan Brunei juga gagal pada pemberontakan itu.

Pencetus Federasi 3S diketahui bernama Malcolm MacDonald. Dia adalah British High Commisioner untuk jajahan Inggris di Asia Tenggara. Nama MacDonald juga disematkan pada salah satu hotel di Singapura.

Inilah alasan Usman, Harun, dan Gani memilih Hotel MacDonald sebagai tempat eksekusi pengeboman di Singapura. Gedung berlantai 10 di Orchard Road itu merupakan kantor Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC).

Setelah melakukan penyamaran menjadi pedagang, ketiganya akan melakukan eksekusi pada 10 Maret 1965 tepat tujuh menit setelah bank tutup, yaitu sekitar 15.07 waktu setempat bom meledak.

Bom seberat 12,5 kilogram itu disimpan di dalam lift. Reruntuhan salah satu dinding MacDonald diketahui menimpa setidaknya 150 karyawan bank yang sedang merapikan pekerjaan mereka. Puluhan mobil rusak berat. Kaca-kaca jendela gedung sepanjang Orchard Road hancur dalam radius 100 meter.

Diketahui tiga orang tewas dan 33 orang lainnya luka-luka. Dan kala itu Singapura gempar seketika. Pasukan khusus Singapura yang dibantu oleh Australia disebar untuk mencari pelaku.

Hotel MacDonald, Singapura Setelah di Bom
info gambar

Dianggap Teroris Karena Tak Gunakan Seragam Militer

Kala itu ketiganya sepakat untuk berpisah dalam misi melarikan diri dan kembali ke Pulau Sambu, tempat asal mereka mengendap-endap menerobos batas wilayah Singapura. Gani diketahui selamat – dan belum diketahui bagaimana dia selamat.

Sedangkan Usman dan Harun tercegat patrol Singapura. Motorboat yang mereka tumpangi macet, bahkan sebelum mereka melewati perbatasan laut Singapura.

Hingga akhirnya, pada 20 Oktober 1965, Pengadilan Tinggi Singapura telah mengetuk palu untuk vonis mati Usman dan Harun. Mereka didakwa dan terbukti melanggar wilayah Singapura, membunuh tiga orang, dan melakukan pengeboman.

Sebenarnya Usman dan Harun membela diri. Keputusan itu berada di bawah Pengadilan Pidana, sedangkan mereka minta diperlakukan sebagai tawanan perang seperti yang diatur Konvensi Jenewa 1949. Itu dilakukan karena mereka membela bahwa pengeboman itu atas perintah negara yang sedang berkonfrontasi atau dapat disebut dalam kondisi perang.

Pengadilan Tinggi Singapura menolak permintaan Usman dan Harun dengan dalih bahwa keduanya ditangkap tidak sedang mengenakan baju seragam militer Indonesia. Ini mereka dapat dari keterangan nelayan yang menolong Usman dan Harun saat berusaha melarikan diri.

Namun Harun bersumpah bahwa dirinya dan Usman sebenarnya mengenakan seragam militer. Harun juga mengaku segala identitas yang ditempatkan di plastik hilang saat motorboat yang mereka gunakan tenggelam.

Namun hingga akhirnya segala banding, upaya pembelaan, dan diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk Usman dan Harun tidak menghasilkan apapun. Keduanya tetap dinyatakan bersalah melakukan pengeboman di tempat warga sipil dengan berpakaian sipil.

Bahkan Singapura seakan menambah hukuman kepada keduanya dengan tidak mengizinkan mereka untuk bertemu keluarganya sebelum eksekusi mati dilakukan.

Apa daya, hanya sepucuk surat ini yang dapat mereka berikan kepada keluarga. Sebagai pesan terakhir.

Usman dan Harun, Pahlawan Indonesia yang Diekskusi Mati di Singapura
info gambar

“Ibundaku tersayang, Ananda bukan perompak, bukan penjahat, bukan penyamun. Ananda melakukan ini demi tugas bangsa untuk membela negara Republik Indonesia, jiwa dan raga,” tulis Harun kepada ibunya.

“Hukuman yang akan diterima adalah hukuman digantung sampai mati. Di sini Ananda harap kepada ibunda supaya bersabar,” lanjut Harun.

“Perlu Ananda menghaturkan berita duka kepangkuan bunda keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas Ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968, Hari Kamis, Radjab 1388,” tulis Usman kepada ibunya.

“Ananda di sana tetap memohonkan keampunan dosa, kesalahan bunda dan saudara semua di sana, dan mengikhtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” lanjut Usman.

Surat keduanya tertulis dalam buku berjudul Usman dan Harun Prajurit Setia yang diterbitkan Direktorat Perawatan Personel TNI AL Sub-Direktorat Sejarah pada 1989.

Atas perlakuan Singapura itulah pada akhirnya Bung Hatta mengucap sumpah semati untuk tak pernah melangkahkan kakinya ke sana. Walau hanya sejengkal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini