Merindukan Dawam Rahardjo, Sudah Sampai Mana Implementasi Ekonomi Kerakyatan?

Merindukan Dawam Rahardjo, Sudah Sampai Mana Implementasi Ekonomi Kerakyatan?
info gambar utama

Sosok ini pernah membuat masyarakat mengernyit dahi.

Dipandang nyeleneh.

Padahal, dia adalah seorang ekonom dan cendekiawan muslim. Itu karena dia membela kelompok-kelompok yang dianggap aneh bahkan sesat oleh masyarakat, yakni jemaah Ahmadiyah dan kelompok Lia Eden.

Alasan dia, itu adalah hak kebebasan setiap individu dalam menganut kepercayaan dan agama.

“Kebebasan beragama berarti juga, bahkan mengandung arti yang lebih konkret, (yaitu) kebebasan untuk tidak beragama,” tulisnya jurnal pemikiran Islam yang tekemuka pada masanya, Ulumul Qur'an, edisi 4, volume 5, tahun 1994.

Pantas saja masyarakat Islam yang menghormati cendekiawan muslim ini terguncang pikirannya.

Dia adalah Dawam Rahardjo. Selain sebagai ekonom dan cendekiawan muslim, ia juga aktivis sosial, budayawan, pemikir Islam, cerpenis, bahkan sebagai penafsir Al-Qur'an.

Peristiwa yang cukup besar menimpa Dawam adalah saat Muhammadiyah memecatnya dari kepengurusan salah satu ormas Islam terbesar itu, pada 2006 silam.

“Orang-orang Muhammadiyah sudah menyadari dan tahu bagaimana sepak terjang Pak Dawam akhir-akhir ini,” kata Dien Syamsuddin saat masih menjadi Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dikutip BBC Indonesia.

Dien Syamsuddin memberikan pernyataan itu seraya menyinggung sikap Dawam yang menanggapi bahkan membela Ahmadiyah.

Setelah dipecat, Dawam malah mengeluarkan pernyataan agar Menteri Agama kala itu, Maftuh Basyuni, diganti. “Soalnya menteri agama justru membiarkan kekerasan pada kehidupan beragama, seperti kasus Lia Eden,” katanya saat wawancara dengan Detikcom.

Dawam Rahardjo, Voltaire van Solo
info gambar

Dawam tidak pernah menjadi menteri, tidak pernah menjadi pemegang kebijakan, tapi selalu melakoni perannya sebagai “gerilyawan” yang membumi. Melalui lembaga-lembaga masyarakat ia sebarkan pemikiran dan idealismenya tentang hak-hak kaum minoritas dan kaum marjinal.

Meski begitu, sepertinya tak perlu melulu mengingat, mengenang, dan menghubungkan Dawam dengan sikapnya membela kelompok Lia Eden dan jamaah Ahmadiyah. Jangan lupa! Dia adalah sosok yang sangat visioner.

“Dan beliau tokoh yang selalu identik memperjuangkan ekonomi kerakyatan,” kenang ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Indonesia, Enny Sri Hartati kepada GNFI (30/04/).

Dawan yang Multidimensi

Memiliki nama lengkap Muhammad Dawam Rahardjo, ia dilahirkan pada 20 April 1942 di Kampung Baluwati, Solo. Sejak kecil, ia memang tumbuh di tengah-tengah keluarga santri dan akrab dengan pendidikan agama.

Ayahnya, Zudhi Rahardjo, memegang peran penting dalam memupuk pemikiran-pemikiran Islam kepada Dawam. Zudhi juga yang membuat Dawam mencintai Al-Qur'an. Dalam perjalanan hidup Dawam, ia mencontoh ayahnya sebagai seorang tafsir Al-Qur'an.

Di masa remajanya, Dawam sempat sekolah di luar negeri melalui program American Field Service (AFS). Ia mengenyam pengalaman di Bora High School, Idaho, AS pada 1960-1961 setelah lulus tingkat SMA. Sepulang dari Amerika ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ia mengikuti program pertukaran pelajaran itu bermodal nilai pelajaran bahasa Inggris yang baik dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

Di sanalah Dawam mulai menyukai puisi. Ia sering membaca sastra Amerika, puisi bahasa Inggrisnya kerap mendapat nilai A.

Pulang dari AS, Dawam memilih masuk ke Fakultas Ekonomi, Jurusan Moneter, Universitas Gadjah Mada. Selama di kampus, kemampuan menulisnya terus berkembang. Tidak hanya soal puisi, namun artikel-artikel terkait masalah sosial-politik dan ekonomi, ia tulis juga. Bahkan ia juga kerap berdakwah lewat cerpen yang ditulisnya.

Cerpen Karya Dawam Rahardjo
info gambar

Karir Dawam diawali bekerja di Bank of America, namun hanya bertahan selama dua tahun. Perjalanan karirnya menjadi ekonom justru berkembang pesat saat ia bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Dimulai dengan menjadi asisten konsultan Jerman di Kalimantan Timur, kemudian beranjak menjadi kepala bagian pada berbagai departemen, lalu menjadi wakil direktur selama dua periode. Sampai pada tahun 1980, saat usianya 38 tahun, Dawam menjadi direktur LP3ES.

Karirnya menjadi direktur LP3ES juga sempat membawa namanya go international. Beberapa gerakan internasional banyak diinisiasi olehnya, seperti gerakan advokasi internasional di Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Timur guna melawan rezim otoriter yang kala itu menguasai Asia Tenggara.

Lalu ia juga menginisiasi berdirinya South East Asia Forum for Development Alternative (SEAFDA) dan Intern Non Governmental Oorganization Conference on-IGGI Matters (INGI) yang kemudian berubah menjadi International NGO Forum on Indonesia Development (INFID).

Dawam juga sempat menjadi pemimpin jurnal Prisma pada 1980-1987. Kala itu Prisma adalah media dan ikon pengembangan ilmu sosial dan humaniora untuk kaum intelektual yang dikeluarkan oleh LP3ES di era Orde Baru.

Dawam juga mengasuh jurnal dan menjadi ketua redaksi jurnal ilmu dan kebudayaan Ulummul Quran pada 1989-1998. Di sana Dawam banyak menerbitkan tulisan terkait dengan kajian Al-Quran dan kritik sosial.

“Waktu saya masih mahasiswa, saya suka mencari jurnalnya,” ungkap Enny, ekonom INDEF dan pengagum sosok Dawam.

Bisa dibilang Dawam adalah sosok multidimensi, dengan rekam jejak di dunia akademis, pemikiran keagamaan, dan pemberdayaan masyarakat. Menulis dan berpikir bersama kolega akademisi di kampus, namun ia juga tak enggan bergelut dengan masalah-masalah masyarakat akar rumput.

Di bidang akademis ia pernah menjadi Rektor Universitas Islam 45, Bekasi; Direktur Program Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang; dan Dekan Fakultas Ekonomi Unversitas Asyafi’iyah Jakarta.

Dalam dunia pemikiran keagamaan, Dawam menjadi slah satu sosok di dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat. Ia juga menggulirkan pembaruan pemikiran Islam melalui Yayasan Wakaf Paramdina. Dawam juga pernah menduduki jajaran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005. Sebelum akhirnya dipecat karena pembelaannya terhadap Ahmadiyah.

Melanjutkan perjalannya di dunia pemberdayaan masyarakat, ia pernah menjadi Ketua Umum Presidium Pusat Peran Serta Masyarakat (PPM) pada 1997 dan Presiden Direktur CIDES Persada Consultant di bidang konsultan pembangunan.

DI bidang ini pula ia dikenal ikut menggagas berbagai gerakan atau organisasi masyarakat sipil dengan fokus yang beragam.

Riset GNFI menemukan perjalanan karier politik Dawam tidak terlalu panjang. Pada 1998 dia memutuskan untuk bergabung sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN). Ia memilih PAN PAN dianggap memiliki haluan politik yang sesuai dengan cita-cita reformasi.

Dawam Rahardjo
info gambar

“Waktu saya jadi mahasiswa sering mengejar beliau untuk wawancara karena dulu saya aktif di majalah mahasiswa. Dulu saya sering wawancara mengenai kasus lahan, tentang ekonomi kerakyatan, tentang kasus sawit, tentang segala macam. Termasuk tentang Ulummul Quran itu sendiri,” kenang Enny.

Karib dekat Dawam, Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2003-2008 menilai bahwa latar belakang Dawam yang sangat beragam itu tak lepas dari perhatian Dawam terhadap realitas sosial masyarakat di sekitarnya.

Dawam, menurut Jimly, bukan hanya sekadar berpangku pada teks dan teori-teori. Hal itulah yang pada akhirnya mengembangkan pikirannya secara kontekstual dengan zamannya, baik di bidang agama maupun ekonomi.

“Ekonomi Islam adalah Ekonomi Kerakyatan”

Enny mengagumi sosok Dawam yang sangat memegang teguh paham ekonomi kerakyatan. Juga bagaimana Dawam memandang bahwa agama harus memiliki peran sosial ketika salah satu persoalan rakyat yang terjadi adalah kemiskinan dan kesenjangan.

“Kalau dibandingkan dengan ekonom-ekonom lainnya yang terkenal, mereka sangat market (minded). Nah, Pak Dawan berbeda, (beliau) sangat concern pada ekonomi kerakyatan,” kata Enny lagi.

Enny memandang, konsep ekonomi rakyat yang selama ini digaungkan oleh Dawam sebenarnya konsep ekonomi Indonesia sejak dulu. Terutama perihal gagasan Mohammad Hatta yang kala itu disebut sebagai ekonomi Islam.

“Cuma, dulu waktu deklarasi kemerdekaan dan penyusunan Pancasila, kata-kata Islam dikhawatirkan. Nah, akhirnya karena wisdom Bung Hatta, akhirnya menjadi ekonomi kerakyatan seperti yang tercantum dalam Pasal 33. Itu 'kan intisari dari ekonomi syariah sebenarnya.”

Ruh dalam Pasal 33 dianggap sebagai penjabaran filosofi ekonomi Islam di Indonesia. Ekonomi Islam memang merepresentasikan kepentingan masyarakat banyak, berkeadilan, dan proporsional. Setiap kegiatan ekonomi harus ada proporsionalitas.

Enny memberi contoh—seperti yang pernah Dawam contohkan juga—tentang kondisi korporasi di sektor pertanian.

Jika peran korporasi menciptakan nilai tambah, maka wajar porsi keuntungannya lebih besar. Ini karena korporasi memang didukung oleh teknologi yang mumpuni dan jaringan pasar yang luas. Hanya saja yang kerap terjadi adalah perampasan hak-hak para petani yang tidak mampu lagi memiliki sumber daya produktif karena hak milik mereka menjadi milik korporasi sepenuhnya.

“Masing-masing pihak yang ikut serta dalam proses kegiatan ekonomi harus mendapatkan balas jasa sesuai proporsinya. Sesuai kontribusinya. Jangan hilangkan hak-hak dasar mereka karena mereka punya bargaining position. Yang secara esensi dalam teori ekonomi, itu yang menjamin terjadinya keadilan,” jelas Enny.

Ilustrasi tersebut yang dirasakan oleh Enny ketika Dawam pernah mengatakan harapannya terkait perekonomian Indonesia yang harus dijadikan sebuah ekonomi kesejahteraan berkeadilan sosial, bukan sekadar pemenuhan teori welfare state atau negara kesejahteraan.

Meski dalam praktiknya setiap negara memaknai teori ini secara berbeda, namun teori ini tidak bisa lepas dari empat pilar yaitu kondisi rakyat yang sejahtera (terpenuhinya kebutuhan material dan non-material), pelayanan sosial, tunjangan sosial, dan dukungan sebuah proses atau usaha terencana.

Implementasinya di Indonesia sendiri untuk mewujudkan negara kesejahteraan yang berdasar UUD 1945 adalah melalui sistem jaminan sosial, pemenuhan hak dasar warga negara, pemerataan ekonomi yang berkeadilan, dan reformasi birokrasi.

Tantangan Gagasan Ekonomi Islam Dawam

Dalam buku yang Arsitektur Ekonomi Islam (2015), Dawam berpendapat ekonomi Islam saat ini masih dianggap terlalu berfokus pada wacana mengenai keuangan dan perbankan dengan merek dagang syariah.

Belum lagi bank syariah malah cenderung mengadopsi teknik perbankan konvensional dan kerap kali melonggarkan prinsip dasar hukum syariah. Dalam sisi kebutuhan modal saja, terjadi dilema dalam perkembangan industri ini, karena masih mengandalkan permodalan yang kebanyakan berasal dari modal asing atau non-muslim.

Dawam juga pernah menyinggung soal zakat dan wakaf yang termasuk dalam instrumen yang memiliki peran penting dalam memecahkan masalah kemiskinan.

Hingga sekarang pemerintah memang sudah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). “Tapi selama ini peran kelembagaanya masih minor. Tidak banyak umat yang mempercayakan pengelolaan seluruh zakat ada di sana,” ungkap Enny.

Meski begitu, Enny mengakui, justru lembaga pengumpul dan pengelola independen yang dilakukan secara profesional (bukan pemerintah), seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan sebagainya, ternyata memberikan dampak positif dan cenderung lebih masif.

“Mereka jelas sekali (transparan) dari laporannya. Berapa yang menyumbang, berapa yang menerima, dan bagaimana skema pembagiannya. Nah, itu kan luar biasa. Dana yang bergulir mampu menjadi solusi dari persoalan-persoalan sosial keumatan,” jelasnya.

“Saya sering berseloroh dengan Kementerian Sosial. Jangan-jangan berkurangnya kemiskinan di Indonesia itu gara-gara lembaga-lembaga filantropi seperti itu. Bukan dari Kementerian Sosial yang anggarannya lebih dari 100 triliun itu, kan? Bisa jadi. Hahaha,” gelak Enny.

Di sisi lain, terkait fenomena bank-bank syariah di Indonesia, Enny mengaku sepakat dengan apa yang dikatakan Dawam. Bahwa idealnya konsep ekonomi Islam harus dikembangkan dengan epistemologi ekonomi kelembagaan.

“Bank-bank syariah kan operasionalnya, skemanya, kan follower dari bank konvensional. Bukan menjadi sistem alternatif. Hanya sekedar nempel label ‘ekonomi syariah’ saja. Jadi kalau mau benar-benar istiqamah (konsisten). pasti akan beda,” jelas Enny.

Enny yakin bahwa jika sistem tersebut dijalankan sesuai dengan hakikatnya, maka peningkatan dan persentasi pertumbuhannya akan melampui keuangan konvensional.

Dawam Selalu Berusaha Memberikan Alternatif

Dawam Raharjo Dikenal Sosok Multidimensi
info gambar

Indonesia memang bukan negara Islam, namun Enny mengakui bahwa apa yang dilakukan oleh Dawam selama ini adalah untuk memberikan alternatif pemikiran. Sangat disayangkan ketika ekonomi syariah hanya dijadikan “tempelan” dan pengikut dari bank-bank konvensional.

“Kalau benar-benar istiqamah, ya dia (ekonomi syariah) harus menjadi alternatif. Sistem ekonomi syariah dan ekonomi konvensional pasti benar-benar akan menjadi beda,” kata Enny.

Apalagi kalau ini menyangkut hajat banyak orang. Dawam selalu skeptis pada korporasi yang pada praktiknya lebih mementingkan profit, dibandingkan kesejahteraan bersama.

Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pernah mengatakan bahwa Indonesia telah kehilangan sosok ekonom yang berani mengerem arus globalisasi. Dalam pandangan Enny, jangankan globalisasi, jika masih ada perampasan hak-hak rakyat kecil, Dawam masih akan setiap menyelesaikan masyarakat kecil terlebih dahulu.

“Globalisasi itu kan ‘buyutnya’. Lebih dari korporasi besar. Apalagi kayak multi national corporation, Pak Dawam sudah nggak melirik. Semakin tidak percaya,” ungkapnya.

Akhirnya, intelektual dan cendekiawan muslim itu harus berpulang pada Rabu, 31 Mei 2018. Tepat pada malam 15 Ramadan 1439 Hijriah, cendekiawan muslim itu harus kembali kepada Sang Pencipta.

“Terlepas dari beberapa kontroversinya terkait pluralisme dalam agama, kebebasan dalam beragama, tetapi ide-idenya, visi-visinya tentang kesejahteraan sosial, tentang ekonomi kerakyatan, itu sekarang sangat kontekstual,” pesan Enny.

Tak mampu berdiri sebagai pemangku kebijakan, tidak berarti membuat Dawam Rahardjo berhenti bergerilya untuk menegakkan idealismenya dan perhatiannya akan ekonomi rakyat.

--

Sumber: Wawancara Eksklusif | Tirto | BBC Indonesia | Repository Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini