Kawan GNFI mungkin sempat khawatir ketika ketika Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I (Q1) 2020 hanya mencapai 2,97 persen.
Nilai itu ternyata jauh dari target Bank Indonesia (BI) yang diharapkan mencapai 4,4 persen. Angka tersebut juga diketahui merupakan yang terendah selama hampir dua dekade, atau terendah sejak tahun 2001.
Salah satu yang paling disoroti penyebab perlambatan ekonomi ini adalah tren penurunan konsumsi atau yang biasa disebut Produk Domestik Bruto (PDB).
Pasalnya, di tengah pandemi seperti ini wilayah yang berkontribusi paling besar terhadap PDB memang dilanda perlambatan konsumsi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bilang Jakarta dan Pulau Jawa sendiri berkontribusi 55 persen dari PDB Indonesia. Dampaknya langsung terasa setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang banyak dilakukan di Pulau Jawa, yang otomatis membuat kegiatan ekonomi melambat.
Meski begitu, Menkeu Sri Mulyani sendiri belum mau mengubah target pertumbuhan ekonomi 2,3 persen sampai akhir tahun. Mengingat ini masih di Q1 dan masih banyak upaya yang bisa dilakukan. Terutama setelah musim PSBB berakhir.
Perekonomian Indonesia Patut Disyukuri
Di satu sisi, Gubernur BI Perry Warjiyo bilang kalau sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti ini harus patut diapresiasi. Mengingat bahwa pandemi Covid-19 sebenarnya menghantam hampir seluruh negara di seluruh dunia.
“Angka 2,97 persen ini menurut saya patut disyukuri,” kata Perry, mengutip Warta Ekonomi, Rabu (6/5/2020).
Tidak mudah memang mempertahankan dan menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi yang sebenarnya memang sedang melanda perekonomian global. Namun Indonesia rupanya bisa mempertahankan di angka positif.
Tidak seperti negara-negara maju lainnya. Kita bandingkan saja negara terbesar dunia, yaitu AS dan Tiongkok.

AS mencatat kontraksi perekonomian sampai ke titik minus 4,8 persen di kuartal pertama 2020. Dan ini merupakan angka terendah sejak krisis 2008.
Meski sudah mulai kembali membuka kegiatan ekonomi, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin terlihat masih pesimis akan perekonomian AS. Dia juga mempertimbangkan bahwa di kuartal kedua potensi memburuknya ekonomi masih bisa terjadi.
Sedangkan Tiongkok mengalami perekonomian yang negatif juga di angka minus 6,8 persen selama triwulan pertama. Ini merupakan yang pertama kali sejak tahun 1992.
Kedua negara terbesar di dunia tersebut pada dasarnya mengalami hal yang sama dengan Indonesia dimana buruknya performa makro ekonomi dan tingkat pengangguran yang meningkat. Bahkan kedua negara mengaku bahwa perlambatan ekonomi kali ini jauh dari prediksi, yang artinya lebih buruk.
Apalagi mereka pernah memberlakukan lockdown. Tidak seperti di Indonesia yang mengambil langkah selain lockdown agar angka ekonomi tidak menyentuh angka nol.
Stimulus Fiskal Pemerintah Indonesia
Beberapa upaya memang sedang dilakukan oleh pemerintah untuk menggenjot atau setidaknya menahan perlambatan ekonomi yang lebih jauh. Salah satunya stimulus fiskal dalam bentuk penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani salah satu yang menyebabkan lemahnya perekonomian di Indonesia karena penurunan yang drastis di sektor konsumsi masyarakat. Apalagi masyarakat Indonsia banyak sekali pekerja yang mencari nafkah pada sektor informal.
Sedangkan pandemi ini menyebabkan aktivitas ekonomi di sektor tersebut terhambat bahkan berhenti total sehingga mereka tidak memiliki penghasilan.
Selain upaya pemberian dana bantuan sosial, upaya lain yaitu pemerintah telah merilis kebijakan relaksasi dan stimulus bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Terutama soal pajak.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu pernah mengatakan, dana yang akan dikeluarkan mencapai Rp150 triliun.
Memang pada praktiknya, tidak langsung berjalan mulus. Mengingat pandemi ini merupakan kondisi yang darurat. Kondisi yang tidak bisa dihindari pasti membuat panik seluruh lini masyarakat bahkan pemerintah.
Jadi, tetap optimis saja bahwa pemerintah bersama masyarakat bisa mengatasi ini bersama-sama.
Optimistis Perekonomian Indonesia di Tahun 2021
Menkeu Sri Mulyani pernah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2021 dalam siding paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa (12/5).
Hal tersebut dibuat mengantisipasi cerminan berbagai ketidakpastian tinggi akibat pandemi Covid-19 yang tidak hanya dirasakan dalam negeri, melainkan secara global. Tidak bisa dipungkiri memang apapun yang terjadi pada dua negara besar—AS dan Tiongkok—pasti akan terasa juga dampaknya di Indonesia.
Dalam KEM-PPKF Sri Mulyani memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia masih punya potensi untuk mencapai angka 4,5-5,5 persen pada 2021. Inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 2,0-4,0 persen. Adapun nilai tukar rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.900-Rp15.300 per dolar AS.
Gubernur Perry bahkan memperkirakan perekonomian Indonesia punya potensi di angka 6 persen. Terutama jika pola ekonomi sudah pulih dan reformasi struktural pandemi bisa berjalan dengan baik. Angka prediksi ini bahkan lebih tinggi dari sebelumnya di angka 5,2 persen.
Dunia internasional juga optimis dengan perekonomian Indonesia. Semisal International Monetary Fund (IMF) yang mengatakan perekonomian Indonesia mampu di angka 8,2 persen.
--
Sumber: Reuters | Media Indonesia | Detik.com | Bisnis Indonesia | Tirto | Warta Ekonomi
Baca Juga:
- Nilai Investasi Jawa Timur Tertinggi Nasional, Kabar Baik di Tengah Corona
- Pemerintah Hapus Pajak UMKM Selama 6 Bulan
- Neraca Dagang Indonesia Masih Surplus 740 Juta Dolar AS di Tengah Pandemi
- Hebat! Ekonomi Digital Indonesia Terbesar di Asia Tenggara dan Tercepat di Dunia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News