Lebih Akurat, Rapid Test 2.0 Karya Warga Bandung Siap Produksi Massal

Lebih Akurat, Rapid Test 2.0 Karya Warga Bandung Siap Produksi Massal
info gambar utama

“Berita baik: Rapid test antigen Covid akurasi 80 persen kini bisa diproduksi oleh Industri Bioteknologi Jawa Barat. Bisa tidak impor lagi.”

Kabar bahagia itu disampaikan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada Kamis (14/05/2020).

Akhirnya para peneliti Universitas Padjadjaran (Unpad) dan industri bioteknologi Jawa Barat berhasil menciptakan alat tes uji cepat atau rapid test 2.0 kit berbasis antigen. Alat ini diklaim dapat melacak virus Covid-19 dengan akurasi sampai 80 persen.

Keunggulan dari alat ini, ungkap Emil--sapaan Ridwan Kamil, akan mengecek hadirnya antibodi yang sedang melawan benda asing di tubuh. Alat ini juga nantinya tidak akan menggunakan tes darah melainkan sejenis swab tes.

Kenyataannya selama ini alat tes impor belum tentu menyebutkan bahwa benda asing yang terdeteksi itu adalah virus Covid-19.

Rapid Test Antigen atau Rapid Test 2.0
info gambar

Rencananya, selama bulan Mei ini Unpad dengan mitranya PT. Tekad Mandiri Citra serta PT. Pakar Biomedika akan melengkapi fasilitas perakitan alat tes uji cepat ini. Dan mulai Juni mendatang sudah mulai produksi gelombang pertama sebanyak 5.000 kit.

Pada bulan Juli, produksi gelombang selanjutnya akan diperbanyak menjadi 10.000 kit. Lalu setiap bulan selanjutnya akan dibuat sampai 50.000 kit.

Klaim lain, biaya untuk satu buah kit alat tes uji cepat Made in Bandung ini cenderung lebih murah dibandingkan alat yang selama ini diimpor.

“Maksimal Rp120.000an, yang dulu Rp300.000,” kata Emil dikutip Republika (14/05/2020).

Jabar Juga Punya Alat PCR Baru Buatan Sendiri

Alat SPR Sejenis PCR Made in Bandung
info gambar

Selain berhasil membuat alat tes uji cepat, ternyata penelitian Unpad dan ITB juga telah menghasilkan alat sejenis Polymerase Chain Reaction (PCR) baru. Yang dinamai Suspected Plasmonic Resonance (SPR) Keunggulannya, SPR ini tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan di laboratorium.

Melainkan cukup menggunakan laptop dan power suplai seperti aki motor. Hasilnya nanti akan mengeluarkan delapan sampel tes.

“Bisa dibawa mobil. Bisa mengetes di pasar, tempat pariwisata, dimanapun. Akurasinya sama seperti PCR. Harganya Rp200 juta,” ungkap Emil dalam Republika.

Nantinya, alat-alat bioteknologi lokal ini akan mengejar target 300 ribu alat SPR sendiri Bio Farma, ditambah SPR buatan Unpad. Lalu ITB dengan ventilatornya yang bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia dan Pindad, serta pembuatan massal rapid test antigen atau rapid test 2.0.

Hadirnya dua alat pendeteksi tersebut menambah daftar panjang karya bioteknologi dalam negeri untuk melawan pandemi Covid-19. Sebelumnya, Jawa Barat juga sudah membuat masker bedah, ventilator, dan reagen PCR. Semuanya diproduksi di Jawa Barat.

Kelemahan Rapid Test Impor

“Papaku sudah seminggu panas (suhunya) 38 derajat. Di minggu kedua ikut rapid tes bahkan sampai dua kali tapi tetap dibilang negatif. Imunnya tidak sedang menghadapi sesuatu. Baru akhirnya swab tes, (rontgen) thorax, baru (dinyatakan) positif,”

Itulah salah satu pengakuan kawan saya di Surabaya tentang ayahnya yang terpaksa diisolasi di rumah sakit. Meski sebenarnya diakui bahwa ayahnya dalam keadaan sehat, tidak sesak napas, indra penciuman dan indra pengecapan berfungsi dengan baik.

Hanya saja memang suhu tubuhnya tidak turun atau tidak dalam suhu normal dalam waktu yang lama.

Harus membutuhkan dua pekan untuk dia mengetahui kondisi bahwa ayahnya terjangkit Covid-19. Bahkan di tengah ketidaktahuan selama dua pekan itu membuat kawan saya dan seluruh anggota keluarganya ternyata ikut terpapar virus.

Hingga kini, mereka masih tetap mengisolasi diri di rumah.

“Aku merasa sehat, kok. Tidak terasa apa-apa. Panas atau bagaimana. Tapi karena tahu papa terjangkit, aku inisiatif untuk swab test. Ternyata positif,” ungkapnya.

Alat Rapid Test dari China
info gambar

Emil dalam unggahan terkait kabar baik di akun Instagram-nya itu memang mengakui bahwa alat tes yang selama ini diimpor memiliki keakuratan di bawah 50 persen. Sehingga ada beberapa kekurangan yang selama ini dirasakan kurang maksimal dalam mendeteksi siapa saja yang terpapar virus.

Jurnal berjudul Antibody Responses to SARS-CoV-2 in Patients of Novel Coronavirus Disease 2019, yang dilansir CNN Indonesia juga membuktikan bahwa sensitivitas uji cepat alat tersebut hanya sekitar 36 persen dari 100 kasus Covid-19.

Semenjak Presiden Jokowi menerbitkan instruksi untuk melakukan uji cepat (rapid tes) secara massal di Indonesia, pemerintah sudah memesan sedikitnya 500 ribu alat yang diimpor dari China. Jumlah ini belum termasuk distribusi di DKI Jakarta yang sudah berkisar puluhan ribu.

Alat ini sebenarnya baru bisa mendeteksi virus dengan memeriksa immunoglobulin dalam tubuh setidaknya setelah sepekan pasien tersebut terjangkit. Jika belum sampai sepekan, deteksi immunoglobulin-nya cenderung akan menampilkan gambaran negatif.

Tidak jarang seseorang yang melalui tes uji cepat dikatakan negatif yang artinya imun yang ada di dalam tubuhnya tidak sedang bereaksi. Baru pada swab tes atau melalui pengambilan sampel lendir hidung atau tenggorokan PCR, akhirnya diketahui positif terpapar virus.

Bahkan ada pula kasus saat tes uji cepat terindikasi positif, namun saat dilakukan tes kedua lewat PCR, hasilnya justru negatif.

Dinilai kurang efektif, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen Doni Monardo akhirnya mengambil langkah dengan pengambilan sampel lendir hidung atau tenggorokan sejak awal April lalu.

Mudah-mudahan alat rapid test antigen dari Bandung ini juga sudah bisa didistribusikan ke seluruh negeri, ya.

--

Sumber: Sosial Media Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil | CNN Indonesia | Suara.com | Republika

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini