Mi Lethek, Kuliner Legendaris Yogyakarta

Mi Lethek, Kuliner Legendaris Yogyakarta
info gambar utama

Pada tahun 1920, seorang Arab dari Negeri Yaman yang bernama Umar Yassir datang ke Nusantara dengan misi dakwah, menyebarkan agama Islam. Suatu hari, ia salat di Masjid Gede Kauman Yogyakarta dan ditegur oleh seorang warga asli Kauman karena penasaran ada orang asing yang tidak lancar dengan bahasa setempat.

Umar Yassir ditanya oleh pribumi tersebut, tapi karena keterbatasan bahasa, yang satu menggunakan bahasa Jawa dan satu lagi menggunakan bahasa Arab. Keduanya tidak saling memahami satu sama lain.

Si warga setempat itu kemudian berinisiatif memanggil Kiai Bakir, salah seorang ulama dari Kampung Kauman yang fasih berbahasa Arab. Mereka berbincang hingga menjadi akrab layaknya teman yang sudah mengenal lama.

Umar Yassir kemudian mengutarakan maksud dan tujuannya merantau hingga ke Yogyakarta. Ia ingin berdakwah di daerah yang masih belum mengenal agama Islam. Setelah bertukar pikiran dengan Kiai Bakir, akhirnya ia diantarkan ke daerah Srandakan, Bantul, Yogyakarta.

Di sana Umar membangun tempat tinggal dan berinteraksi dengan warga sekitar. Selain berdakwah, Umar Yassir juga mengamati bagaimana kehidupan masyarakat di sana. Hingga pada suatu hari ia menyimpulkan bahwa warga di sana tidak hanya membutuhkan uang. Namun lebih memerlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Melihat kondisi itu, Umar berpikir bahwa ia harus membuat sesuatu yang bisa menghasilkan makanan untuk masyarakat. Makanan itu juga harus berasal dari bahan yang mudah didapat dari lingkungan sekitar.

Berdasarkan tujuan sosialnya itu, pada tahun 1940 ia mendirikan sebuah bangunan yang dijadikan tempat tinggal sekaligus pabrik pembuatan mi yang terkenal hingga sekarang. Mi itu adalah mi lethek. Sebuah kuliner khas Yogyakarta yang diberi nama sesuai dengan warnanya.

mi lethek
info gambar

Warna mi lethek memang tidak seperti mi pada umumnya yang berwarna putih bersih atau kekuningan. Mi yang terbuat dari olahan singkong dan tepung tapioka itu, memiliki warna yang kusam, agak keruh kecoklatan. Karena itu, orang-orang menyebutnya mi ‘lethek’ yang berarti kusam atau kotor.

Proses Produksi Tradisional

Sampai sekarang mi lethek masih populer dan menjadi salah satu kuliner legendaris khas Kota Yogya. Seiring dengan menjamurnya warung makan bakmi Jawa yang ada di sana. Mi lethek juga terus diproduksi untuk memenuhi permintaan konsumen.

Keistimewaan dari mie ini adalah bahan dan cara pembuatannya yang masih tradisional, tidak menggunakan pemutih apalagi bahan pengawet.

Alat-alat yang digunakannya juga masih seperti dulu pada saat Umar Yassir membuatnya. Alat penggiling masih berupa batu silinder dengan berat kurang lebih satu ton. Untuk menggerakannya ditarik dengan memanfaatkan tenaga sapi.

Cara kerja mesin penggiling tradisional ciptaan Umar Yassir itu sederhana. Sapi yang dikaitkan dengan penggiling berjalan mengitari alat itu selama satu hingga tiga jam.

Batu silinder seberat satu ton yang ada di tengahnya, berperan sebagai ulekan raksasa yang mencampur adonan gaplek (singkong yang telah dikeringkan) dan tepung tapioka hingga merata.

mi lethek
info gambar

Setelah merata, lalu dimasak atau dikukus dalam periuk raksasa berbentuk silinder. Kemudian dipres menjadi helai-helai mi lethek yang legendaris itu.

Proses terakhir adalah pencetakan dan penjemuran di bawah sinar matahari hingga kering. Setelah pengeringan selama kurang lebih delapan jam, mie lethek siap dikemas.

Pabrik yang terkenal sebagai sentra pembuatan mie lethek adalah pabrik mi cap Garuda yang berlokasi di Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta. Pabrik tersebut adalah milik Yasir Feri Ismatrada, keturunan ketiga Umar Yassir.

Pabrik mi yang didirikan Umar Yassir tersebut sudah ada sejak tahun 1940. Seperti yang telah dijelaskan sebelumya, tujuan awal pendirian pabrik itu bukan untuk mencari keuntungan semata. Namun lebih bersifat sosial, yaitu demi membantu warga sekitar yang membutuhkan makanan.

Kini, keterampilan membuat mie lethek sudah menjadi bagian dari identitas orang Dusun Bendo. ‘’Orang Bendo disebut orang Bendo jika memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membuat mie lethek,’’ seperti dikutip dari kebudayaan.kemendikbud.go.id.

Hal itu kemudian memotivasi masyarakat Dusun Bendo untuk belajar cara membuat mi lethek. Dari sinilah regenerasi pembuat mie lethek terus berlanjut hingga sekarang.

Mungkin karena diawal pendiriannya tidak hanya untuk tujuan bisnis semata, tapi lebih kepada kepentingan sosial. Sehingga nilai-nilai kebersamaan juga jadi turut melingkupi masyarakat Bendo dengan adanya transfer pengetahuan pembuatan mi lethek ini.

mi lethek
info gambar

Pada tahun 2019 lalu, mie lethek khas Yogyakarta sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI). Mi lethek terdaftar dengan nomor registrasi 201900951.

Mi lethek merupakan simbol dedikasi, loyalitas, dan semangat melestarikan warisan leluhur yang tak lekang oleh waktu. Sebagai warisan budaya asli Indonesia, kita wajib terus melestarikannya agar tidak punah, apalagi sampai diakui oleh negara lain.

Jika Kawan GNFI sedang berkunjung ke Yogyakarta, tidak akan rugi bila mencicipi bakmi Jawa yang berbahan dasar dari mi legendaris asal Kota Pelajar itu.

Akan tetapi, bila tidak sempat ke Yogyakarta, Kawan GNFI bisa membeli mi lethek secara daring melalui online shop atau market place yang menjual mi tradisional ini. Apalagi saat sedang dalam bulan Ramadan seperti sekarang, mi lethek yang diolah menjadi bakmi jawa goreng ataupun rebus. Sepertinya cocok menjadi menu untuk berbuka puasa.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini