Sulitnya mendapatkan konsumen di tengah mewabahnya virus corona, membuat para pelaku usaha mencoba berbagai cara kreatif agar tetap bisa bertahan. Hal itu juga dilakukan oleh para pengusaha batik di kota kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Para pengusaha batik di sana, mencoba berbagai cara agar tetap bisa bertahan dan menghidupi usahanya. Dibantu oleh komunitas dan yayasan setempat, mereka bahu membahu membuat pasar daring yang diberi nama ''Pasar Rakyat Lasem''.
Pasar Rakyat Lasem merupakan inisiatif dari komunitas yang sangat mencintai berbagai hal tentang Lasem. Komunitas tersebut menamakan dirinya Kesengsem Lasem.
Kesengsem Lasem adalah sebuah gerakan terbuka yang bertujuan untuk menjaga kelestarian warisan benda dan nonbenda di Lasem yang telah dimulai sejak 2015 lalu.
Komunitas ini berawal dari kunjungan Agni Malagina (Program Studi Cina FIB UI) bersama Feri Latief (Fotografer Profesional), Astri Apriyani (Travel Blogger), dan Ellen (Editor Teks dan Travel Blogger).
Mereka ke Lasem dengan tujuan masing-masing. Namun saat itu, tiba-tiba Ellen mengatakan, ‘’Aku kesengsem Lasem’’. Kesengsem (Jw.) dalam bahasa Indonesia artinya sangat tertarik hati (tergila-gila) sehingga lupa diri; terpesona.
Sejak saat itu, mereka menyebarkan virus #kesengsemlasem di media sosial. Tak disangka, apa yang mereka mulai ternyata mendapatkan respon positif dari warga Lasem hingga pada 9 Februari 2016 lahirlah komunitas ini di Lasem.
Selain komunitas Kesengsem Lasem, ada Yayasan Lasem Heritage yang juga turut andil dalam menginisiasi Pasar Rakyat Lasem. Yayasan itu bergerak di bidang pelestarian budaya dan pemanfaatan warisan budaya Lasem.
Kini, ketika pandemi Covid-19 tengah mengancam kelangsungan industri batik dan pariwisata di Lasem. Mereka bersama para pelaku industri di sana saling bahu-membahu mengatasi persoalan tersebut.
Sajadah Covid
Tidak hanya mengandalkan pasar daring, salah satu pengusaha batik di Lasem juga membuat inovasi dengan produknya. Ekawatiningsih (50), pengusaha yang menjalankan Rumah Batik Lumintu, Lasem, itu mencoba menghasilkan inovasi produk berbahan batik tulis.
Eka mencoba membuat inovasi berupa sajadah yang ia sebut dengan sajadah Covid. Sajadah itu berwarna merah biru dengan motif batik gunung ringgit.

Inovasi sajadah batik tersebut ia lakukan demi mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh para pembatiknya. Ia mencari cara supaya para pembatiknya bisa tetap membatik dan mendapatkan penghasilan setiap hari.
Ia mengatakan hampir saja meliburkan para pembatik yang bekerja padanya. ''Mungkin hanya bisa masuk seminggu sekali,'' ujar Eka mengenang awal mula memutuskan memutuskan membuat sajadah berbahan dasar kain batik tulis, seperti dikutip dari Nationalgeographic.grid.id
Eka mengaku bahwa dirinya bukan yang pertama membuat inovasi sajadah dari kain batik. Namun ia tetap gembira karena peluncuran sajadah bermotif batik yang diberi nama Blue Series itu mendapat sambutan positif dari para penggemar batik. Ia mengatakan sudah ada sejumlah pesanan untuk sajadahnya itu.
Eka menuturkan bahwa Blue Series terinspirasi dari warna biru yang dibuat dengan teknik kuno pembuatan batik yang disebut wedelan. Sekarang, tambahnya, pembatiknya semangat masuk kerja setiap hari.
''Ini juga kolaborasi dengan Kesengsem Lasem dan Didiet Maulana (IKAT Indonesia) untuk membuat mukenanya,'' ujar wanita yang meneruskan tradisi membatik di keluarganya di rumah kuno berusia 200 tahun di Jalan Sumbergirang II, No. 2, Lasem itu. Selain Blue Series, Eka juga memproduksi sajadah serial lainnya dengan nama Red Series.

Didiet Maulana merupakan desainer nasional yang sudah cukup lama berkecimpung dan tertarik dengan kain batik Lasem. Sebagai penasihat Yayasan Lasem Heritage, ia selalu aktif memberikan bantuan berupa pendampingan dan saran-saran bagi beberapa rumah batik Lasem serta pelaku dunia kreatif di sana.
Didiet mengungkapkan, ketika batik Lasem bertransformasi ke produk turunan seperti sajadah dan mukena. Maka ini adalah saat yang tepat untuk meluncurkan produk karena menyesuaikan dengan waktu bulan Ramadan. ''[Ini] Saatnya orang untuk mengirimkan bingkisan untuk orang lain atau mereka ingin pakai,'' ucap Didiet.
Ini juga merupakan hal yang bagus karena bisa melihat peluang di era pandemi seperti sekarang. ''Karena untuk survive kita harus selaras dengan apa yang dibutuhkan orang-orang,'' imbuh desainer yang berperan aktif membantu kolaborasi antara Rumah Batik Lumintu dengan para penjahit muda di Lasem.

Kini, Eka membuat sajadah dan mukena serial untuk Pasar Rakyat Lasem di https://kesengsemlasem.com/pasar-rakyat-lasem. Ia memproduksinya bersama sembilan pembatiknya di Rumah Lumintu.
Menurut Didiet, ke depannya prospek perkembangan produk kain batik Lasem akan dibuat menjadi produk turunan yang lebih mudah dipakai, seperti kemeja, atasan, dan busana untuk wanita. ‘’Ini memberikan inspirasi dan ide tidak hanya mengaktifkan para pembatik tetapi juga para penjahit rumahan di Lasem,’’ ucap Didiet.
Dengan begitu, harapannya para pemuda dan pengusaha batik di Lasem dapat melihat kesempatan pasar yang lebih luas, sehingga potensi batik Lasem dan generasi mudanya dapat terserap secara maksimal.
Baca juga:
- Pasar Rakyat Lasem dan Geliat Batik di Tengah Pandemi
- Kisah Romantis hingga Nilai Filosofis di Balik Batik Truntum
- Dibalik Nama 'Mega Mendung' Batik Kebanggaan Kota Cirebon
- Sebagai Bukti Sejarah, Disabilitas Ciptakan Batik Motif Covid-19
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News