Makna Setiap Atribut Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo

Makna Setiap Atribut Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo
info gambar utama

Langit Gorontalo sejak 10 hari terakhir Ramadan sampai malam Idulftiri seolah menjadi daratan paling bercahaya di Nusantara. Setiap tahun masyarakat yang didukung penuh oleh pemerintah provinsi akan melakukan tradisi tumbilotohe. Yaitu, memasang banyak lampu pijar yang menggunakan minyak tanah.

Sedikitnya ada satu juta lampu pijar yang akan menerangi seluruh wilayah Gorontalo. Ini menandakan sukacita masyarakat Gorontalo akan keberkahan sepertiga bulan Ramadan yang didalamnya terdapat berkah malam Lailatul Qadar dan malam Idulfitri sebagai Hari Kemenangan umat muslim.

Baca: Kemeriahan Tumbilotohe Jelang Idulfitri, Seribu Lampu Hiasi Langit Gorontalo

Tidak hanya asal memasang lampu pijar, biasanya masyarakat Gorontalo akan memasang suatu rangkaian atau kerangka untuk memperindah susunan lampu pijar. Beberapa atribut sengaja dipasang dengan memaknai arti dari setiap atribut yang sarat akan nilai keislaman.

Melansir Kronologi.id, berikut arti secara simbolik dan filosofis dari masing-masing atribut dalam tradisi tumbilotohe di Gorontalo.

Alikusu

Atribut Tradisi Tumbilotohe
info gambar

Masyarakat Gorontalo biasanya membuat semacam gapura yang dipasang di depan rumah sebagai gerbang pintu masuk. Selain itu, jika ada Festival Tumbilotohe, maka Kawan GNFI akan menemukan beberapa rangkaian lampu pijar yang dibentuk dalam sebuah gapura.

Gapura itulah yang disebut alikusu yang memiliki makna simbolik dari sebuah pintu gerbang. Alikusu diartikan sebagai tempat hidup atau tempat tinggal karena lampu-lampu yang diletakkan dalam keadaan menyala itu bermanfaat memberi penerangan agar tidak tersesat.

Secara filosofis, alikusu juga diartikan sebagai tempat berkumpulnya roh dan jasad para nenek moyang. Lampu diartikan sebagai jasad, sedangnya cahaya lampu diartikan sebagai rohnya.

Bagi masyarakat Gorontalo, jumlah lampu yang harus dirangkai total ada 27 buah lampu dan disusun secara bertingkat. Setiap tingkatannya dirangkai oleh jumlah tertentu.

Alasannya karena masing-masing tingkatan memiliki arti khusus dan sarat akan nuansa Islami karena masing-masing lampu memiliki peran dan makna tersendiri, yakni:

  1. 1 lampu di letakkan paling atas disimbolkan sebagai keesaan Allah swt sebagai Dzat Mahatinggi dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
  2. 4 buah lampu diletakkan di tingkat kedua. Ini melambangkan pendekatan diri kepada Allah swt dengan melakukan Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat.
  3. 9 buah lampu di tingkat ketiga mewakili Rasulullah saw, empat sahabatnya (Abubakar, Umar, Usman, dan Ali), dan empat lainnya menggambarkan malaikat Jibril, Mikai, Izrail, dan Isrofil.
  4. 13 buah lampu sebagai bagian dasar yang melambangkan 13 rukun shalat.

Lale

Atribut Tradisi Tumbilotohe
info gambar

Lale merupakan sebutan masyarakat Gorontalo untuk janur kuning. Secara filosofis, lale yang kalau tertiup angin dan membuat lale menari-nari dimaknai sebagai tanda kehadiran malam seribu bulan atau malam Lailatul Qadar.

Lale menari-nari ini juga sebagai cerminan ideal masyarakat Gorontalo dengan selalu tetap riang gembira dalam menyambut tamu agung sebagai berkah keutamaan Lailatul Qadar. Dalam keadaan apapun masyarakat Gorontalo percaya bahwa manusia secara naluri berhak bergembira.

Untuk itu untuk menyambut kebahagiaan tersebut ada pula tradisi Tuwango Lipu yang artinya masyarakat dianjurkan untuk berhias diri dalam menyambut malam Lailatul Qadar.

Butulu

Makna Atribut Tumbilotohe
info gambar

Butulu adalah botol kaca yang menjadi tempat lampu pijar yang diisi oleh sumbu dan minyak tanah. Butulu merupakan simbol kekuatan hidup kala manusia harus tetap teguh dan sabar. Layaknya butulu yang melindungi lampu pijar agar tidak padam saat tertiup angin.

Secara filosofis, butulu juga diartikan layaknya Alquran yang merupakan tempat dimana manusia akan mendapatkan kekuatan rohani dan kekuatan iman. Itu karena Alquran merupakan pemberi cahaya jalan kehidupan.

Tubu

Tubu yaitu sumbu lampu yang dimaknai sebagai jalan kehidupan yang berakar dan mengacu pada Alquran. Tubu yang digambarkan dengan untaian benang merupakan cerminan umat muslim Gorontalo yang kehidupannya untuk tetap lurus sesuai dengan ajaran dan larangan Allah swt seperti yang tercantum dalam Alquran.

Jika benang itu kusut, maka hati manusia tersebut seolah sedang rusak tidak sesuai dengan ajaran dan larangan Allah swt. Oleh karena itu, dengan menyalakan lampu pijar menggunakan nyala api, maka itu dimaknai sebagai pembakaran (menghilangkan) perilaku yang kusut.

Polohungo

Makna Atribut Tumbilotohe
info gambar

Polohungo adalah sejenis tanaman bunga yang dirangkai dan memiliki ragam warna yang diikat menjadi satu dan digantung pada alikusu. Polohungo dimaknai sebagai warna-warni proses kehidupan yang sudah terlewati dan terangkai dari perjalanan hidup manusia.

Ada suka, duka, tawa, sedih, bangga, kecewa, dan sebagainya. Setiap orang pasti memiliki rangkaian warnanya masing-masing yang istimewa dan spesial, serta tidak bisa disamakan oleh kehidupan orang lain.

Secara filosofis, polohungo juga dimaknai sebagai simbol keindahan. Ini ada sangkut pautnya dengan kesukaan masyarakat Gorontalo yang sangat menyukai tanaman jenis ini. Seperti yang telah diajarkan bahwa Allah swt juga sangat menyukai keindahan sehingga masyarakat percaya bahwa bunga polohungo juga disukai oleh Allah swt dan para malaikatNya.

Patodu

Makna Atribut Tumbilotohe
info gambar

Patodu adalah tebu dalam bahasa Gorontalo yang dimaknai sebagai pemanis. Mengambil nilai dari sifat patodu yang semakin tua rasanya akan semakin manis, maka hendaklah manusia juga mengikuti sifatnya tersebut.

Patodu mengisyarakatkan kepada umat muslim untuk selalu memperbaiki perilaku dan berhati-hati dalam bertutur kata. Biasanya masyarakat Gorontalo juga akan teringat dengan salah satu puisi lokal yang banyak dikenal masyarakat Gorontalo.

Lo’iya Donggo to Delomiyo

(Ketika kata masih di dalam akal dan hati)

Dutuwipo Buto’iyo

(Tandai dulu dengan cara memilah dan memilih apakah sudah baik)

Demamopiyohu Tingohiyo

(Nanti sudah dianggap baik dan benar)

Luwala Ode Bulemengiyo

(Ungkapkan kepada lawan bicara)

Lambi

Lambi adalah pisang. Secara filosofis pisang adalah tumbuhan yang tidak mau mati sebelum dia berbuah. Meski betapa ringkih dan lemah batang tubuhnya. Setelah ia subur dan berbuah, maka itulah tanda akhir hayatnya.

Dalam kehidupan manusia, lambi dimaknai sebagai seorang manusia yang bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya kepada Allah swt. Dan hanya Allah swt yang berhak memetik “buah” dari kesungguhan manusia dan memanggilnya untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Begitulah masyarakat Gorontalo memaknai tradisi tumbilotohe setiap Ramadan. Ternyata banyak pelajaran yang bisa petik dari sebuah budaya dan tradisi tersebut ya, Kawan GNFI.

Kamu sudah pernah lihat tradisi tumbolotohe sebelumnya?

--

Sumber: Kronologi.id | Gorontalo Antara News

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini