Alasan Mengapa Orang Sunda Suka Makan Lalapan

Alasan Mengapa Orang Sunda Suka Makan Lalapan
info gambar utama

Suatu kali, saya bersama dua orang teman, pernah berwisata ke Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Di sana, saya menemukan banyak tempat makan yang menyajikan menu makanan khas Sunda. Pepes, ikan bakar, sambal beserta lalapan yang terdiri dari berbagai sayuran segar.

Di lain kesempatan, ketika saya berada di Bandung, Jawa Barat, hampir di setiap rumah makan Sunda yang saya singgahi. Selalu disediakan lalapan yang terdiri dari berbagai jenis sayur, seperti daun singkong, selada, kemangi, timun, dan sayuran mentah lainnya.

Bisa dibilang lalapan merupakan salah satu identitas dari kuliner Sunda. Menu makanan khas Sunda seperti nasi liwet, pepes, ikan bakar dan lainnya, tak lengkap rasanya bila tidak disantap dengan lalapan.

Bagi sebagian orang Sunda, kebiasaan makan lalapan ini sudah dibiasakan sejak kecil. “Seingatku, aku makan lalapan sejak TK. Mungkin sebelum sekolah, Ngeliat ortu (Red: orang tua), kepengen, suka,” kata Resti Octaviani (24), mojang asli Sukabumi, Jawa Barat, yang berprofesi sebagai pegiat lingkungan di World Wildlife Fund (WWF).

Karena kebiasaannya sejak kecil itu, kata Resti, sampai sekarang rasanya tidak afdol jika makan tanpa ada lalapan.

Senada dengan Resti, Dini Nurhadi Yasyi (26), penulis GNFI asal Bandung, Jawa Barat, juga mengatakan sangat menyukai lalapan. Hal itu sudah dibiasakan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil. “Kalau aku sih diceritainnya biar kita suka makan sayur. Dan sayur kan ngenyangin, jadi alibi orang tua biar anaknya ga minta jajan lagi,” ujarnya sambil berkelakar.

Ia mengatakan, karena kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tuanya sejak masih kecil itu. Membuatnya sangat menggemari makan lalapan. “Aku sih suka banget. Apalagi daun kemangi, bonteng (red: timun), kol, kadang buncis mentah aku makan,” tuturnya.

Berdasarkan beberapa kisah tadi, lalu muncul pertanyaan, apa sebenarnya alasan orang Sunda gemar menyantap lalapan? Dan, sejak kapan kegemaran tersebut ada?

Sudut Pandang Sejarah

lalapan
info gambar

Kegemaran orang Sunda menyantap sayuran segar atau lalapan ini ternyata sudah ada sejak lama. Menurut pengamat sejarah kuliner, Fadly Rahman, lalap Sunda sudah disajikan sejak abad ke-10 Masehi. Sajian makanan berupa sayur-sayuran segar ini, disebut dalam Prasasti Taji, bertanda tahun 901 Masehi, yang ditemukan di daerah Ponorogo, Jawa Timur.

“Dalam Prasasti Taji tahun 901 Masehi, disebut sebuah nama sajian atau makanan bernama ‘Kuluban Sunda’ yang artinya lalap,” terang Fadli seperti dikutip dari laman Unpad.ac.id.

Pada masa penjajahan, dua orang Belanda, Dr. JJ. Ochse dan Dr. RC. Backhiuzen van den Brink, mendokumentasikan jenis lalap. Dokumentasi itu berjudul Indische Groenten (Sayur-sayuran Hindia). Buku tersebut diterbitkan oleh Archipel Drukkerij di Bogor (1931).

Kelak, buku itu diterjemahkan dalam Bahasa Sunda berjudul Lalab-lalaban oleh Isis Prawiranagara (1944). Di halaman pengantar, disebutkan bahwa lalap tak hanya berwujud daun seperti daun singkong, pepaya, selada, dan puluhan jenis daun lainnya.

“Lalap juga bisa berupa umbi-umbian (kunyit, kencur), bunga (kenikir, honje/combrang), bahkan biji-bijian seperti biji nangka dan petai,” dikutip dari Wjtoday.com.

Cara mengkonsumsi berbagai lalapan itu ada yang dimakan mentah, direbus, atau dikukus. Sebagian ada pula yang diolah dengan bumbu. Misalnya, rebusan kangkung, kol, labu, pare, nangka sayur bila dicampur dengan bumbu kacang akan menjadi lotek.

Ada pula karedok yang berbahan utama leunca dan kacang panjang. Penyajiannya dicampur dengan bumbu kacang yang merupakan hasil perpaduan dari garam, terasi, kencur, bawang putih ditambah daun kemangi.

“Kalau lagi males masak, biasanya buat karedok leunca. Ntar daun kemangi sama leunca digeprek di sambel terasi. Goreng tahu. beres,” kata Dini, menggambarkan betapa sederhananya membuat Karedok.

Dari contoh kuliner khas Sunda yang berbumbu kacang tadi, mungkin sambal merupakan pasangan yang paling umum dijumpai untuk lalapan. Meski terkadang beda lalap, berbeda pula jenis sambalnya.

Harmoni Manusia dengan Alam

karedok
info gambar

Dikutip dari Tirto.id, Unus Suriawiria, pakar mikrobiologi Institut Teknologi Bandung, dalam makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001 silam, menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya adalah tumbuh-tumbuhan.

Unus menjelaskan dalam bukunya yang berjudul, Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda, bahwa kegemaran masyarakat Sunda makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan alam.

Kehidupan masyarakat Sunda yang pola hidupnya berusaha menyatu dengan alam itu. Membuat mereka akhirnya memiliki pengetahuan tentang tumbuhan mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak.

Pendapat itu senada dengan apa yang dijelaskan oleh Samson, pengamat budaya Sunda yang bekerja sebagai dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran. Ia mengatakan, bahwa budaya Sunda tak sekedar mendefinisikan suku atau etnis tertentu. Menurutnya, lebih dalam dari itu, kebudayaan Sunda juga mengajarkan tentang kebaikan dan keburukan

Ada penanda dari kebudayaan Sunda yang berjaya selama 900 tahun, yaitu Sad Rasa Kemanusiaan atau enam aspek nilai kemanusiaan Sunda.

Pertama adalah moral manusia terhadap Tuhan. Kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya. Ketiga, moral manusia dengan manusia lain. Keempat, moral manusia terhadap waktu. Kelima, moral manusia terhadap alam. Terakhir moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin.

Berdasarkan enam aspek nilai kemanusiaan Sunda tadi, maka kebudayaan Sunda menuntut manusia agar senantiasa berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Hal tersebut semakin menjelaskan bahwa manusia Sunda memang mengenal dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengkonsumsi berbagai tumbuhan hasil alam hanya satu representasi dari nilai-nilai hidup tersebut.

Bila ditilik lebih dalam, kebiasaan mengkonsumsi lalapan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda, menggambarkan betapa orang Sunda bisa hidup dengan cara yang sederhana.

Orang Sunda tidak perlu membuat makanan yang rumit atau menggunakan banyak bahan-bahan tambahan. Cukup ada sayuran segar--mungkin dengan sambal-- sudah bisa makan dengan sangat nikmat.

Seperti kata Dini ketika saya tanya apa pendapatnya tentang makanan Sunda. Sebagai orang Sunda yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Sunda juga, ia menjawab ”Makanan Sunda tuh sebenernya ga neko-neko. Make (bahan) yang ada aja.”

Saya rasa apa yang disampaikan Dini ada benarnya juga. Lalu, bagaimana menurut Kawan GNFI?


Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini