Hampir 1,5 Abad Menghilang, Kadal Aneh Ini Muncul Lagi di Danau Toba

Hampir 1,5 Abad Menghilang, Kadal Aneh Ini Muncul Lagi di Danau Toba
info gambar utama

Setelah hampir 130 tahun tak terdengar keberadaannya di alam, kadal ini kembali muncul dan terlihat di kaldera Danau Toba, Sumatera Utara. Penemunya, Chairunnas Adha Putra, seorang conservation biologist. Ncay, begitu biasa dia disapa, melakukan serangkaian pengamatan sejak lama. Pada 2018, menemukan kadal langka ini baik hidup maupun mati.

Bersama sejumlah peneliti dari Indonesia dan internasional, dia mengidentifikasi satwa ini. Para peneliti yang terlibat seperti, A.A Thasun Amarashinghe, Research Scientist (Herpetology), Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Desi hikmatullah, Stefano Scali, JanJaap Brinkman, Ulrich Manthey dan Ivan Ineich.

A.A Thasun Amarashinghe, ketika Jumat (29/5/20) mengatakan, kadal ini ditemukan Chairunnas Adha Putra, ketika survei burung di Sumut, terutama di kawasan Danau Toba. Ia merupakan proyek pribadi Ncay.

Ncay berhasil mendokumentasi bukti kadal langka ini dan menyerahkan sejumlah foto serta specimen kepadanya untuk identifikasi.

Satwa ini pertama kali ditemukan dalam kondisi mati, kemudian diidentifikasi bersama tim. Hasilnya, kadal temuan Ncay dideskripsikan dengan nama kadal berhidung tanduk atau nose horned lizard (Harpesaurus modiglianii Vinciguerra). Spesies Ini sudah hampir 130 tahun tidak ditemukan, persisnya pada 1891.

Spesies temuan Ncay ini berwarna hijau tetapi duri di punggung berwarna kekuningan.

“Setelah didapat identifikasi jenis kadal ini, kemudian Chairunnas survei lagi, dan berhasil menemukan spesimen lain dalam kondisi hidup. Harpesaurus merupakan kelompok kadal pohon, ” katanya.

Setelah melihat spesimen dari Ncay, langkah pertama mereka dengan mengidentifikasi agar mengetahui kadal ini genus apa. Kalau dari ciri-ciri melalui sisik, morfologi dan jumlah sisik, kesimpulan kadal ini jenis Harpesaurus modigliani.

Untuk memperkuat hasil identifikasi, mereka membandingkan spesimen temuan ini dengan spesimen lain dari spesies lain dalam genus Harpesaurus.

Chairunnas Adha Putra (berbaju kotak). Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Pembanding dari spesimen ini adalah spesimen asli yang ada di museum luar negeri, antara lain, Muséum National D’histoire Naturelle (reptil & amfibi) di Paris, Prancis (MNHN-RA). Museo Civico di Storia Naturale di Genova, Italia (MSNG). Lalu, Zoologisches Forschungsmuseum Alexander Koenig di Bonn, Jerman (ZFMK) Museum Zoologi, Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim, Universitas Indonesia (UIMZ).

Dari identifikasi dan perbandingan sejumlah spesimen, diambil kesimpulan, ini benar-benar genus Harpesaurus modiglianii, class reptilia, order sauria, famili agamidae, species mudiglianii. Kadal ini bukan spesies baru atau spesies lain.

Harpesaurus terdiri dari enam spesies. Selain Harpesaurus modiglianii Vinciguerra., dari Sumatera, ada Herpesaurus beccarii Doria, Herpesaurus brooksi, Herpesaurus ensicauda Werner dari Pulau Nias. Kemudian, Herpesaurus tricinstus dari Pulau Jawa, dan Herpesaurus borneensis dari Kalimantan.

Foto: Herpitolog Chairunas A. Putra
info gambar

Berbeda dari kelima kerabatnya, Herpesaurus modiglianii memiliki ciri khas menonjol, yakni hidung runcing dan tipis menyerupai tanduk. Herpesaurus modiglianii, katanya, memiliki ciri berbeda dari Herpesaurus yang ada.

Untuk Herpesaurus modiglianii, kalau diamati bagian pangkal ekor tampak gembung, sisik dorsal pada ekor sedikit lunak, tumpang tindih, mengarah lurus ke belakang dan lekukan membentuk punggung paralel. Kemudian, bentuk sisik pada area post cloacal terlihat kecil, runcing, dan halus. Begitu juga sisik ventral pada bagian ekor memiliki bentuk yang membesar dan warna sangat pudar.

“Selanjutnya kita buat deskripsi, ini karena temuan pertama 130 tahun lalu dari satu spesimen saja. Ini yang kedua setelah ratusan tahun tak terlihat,” kata Thasun.

Untuk populasi, dia dan tim belum mengetahui karena temuan kali ini hanya ada tiga spesimen, dua mati dan satu Hidup. Spesies ini, ditemukan di luar hutan konservasi, hingga mengetahui populasi harus survei lebih lanjut. Termasuk, mencari tahu apakah spesies ini bisa berkembang hingga ke generasi selanjutnya atau tidak.

Dia bilang, ini satwa langka hingga pemerintah harus segera terbitkan aturan perlindungan. Kalau melihat di lapangan, berada di luar hutan konservasi, sangat terancam karena ada pembukaan kawasan untuk pembangunan berbagai proyek di Danau Toba.

“Pemerintah harus segera terbitkan aturan untuk melindungi kadal langka ini dari kepunahan.”

Amir Hamidy, peneliti amfibi reptil Indonesia, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sabtu (30/5/20) menjelaskan, dlihat dari sisi keilmuan, temuan ini dianggap penting, setelah original deskripsi dan ditemukan kembali baru-baru ini oleh Ncay.

Dalam konteks ilmu taksonomi, katanya, hal itu biasa. Yang terjadi, bukan jenis itu punah, tetapi survei intensif belum intens menemukan jenis itu.

Dalam ilmu taksonomi, misal, satu jenis ditemukan pada tahun saat dideskripsi. Setelah itu, tak ada yang mempelajari dan survei sporadis. Dengan begitu, katanya, catatan spesimen tak terdata. Setelah ratusan tahun kemudian ditemukan hidup, sebenarnya bukan jenis hilang atau punah.

Kawasan Danau Toba | Wikimedia
info gambar

Dia bilang, kalau degradasi habitat mungkin terjadi pengurangan atau populasi sedikit. Mengingat populasi belum diketahui, perlu ada survei lebih lanjut.

Amir khawatir, kalau populasi sedikit atau terbatas atau hanya menghuni habitat tertentu kalau eksploitasi berlebihan, akan habis, apalagi ini endemik Sumatera.

Untuk itu, katanya, harus penelitian lanjutan dan paling penting mengetahui ekologi dari spesies ini, misal, berapa telur, berapa umur, berapa lama hidup dan di mana. Kalau sudah ada informasi ekologi tentang itu, bisa penelitian lebih lanjut, untuk mengetahui berapa banyak sebaran dan populasi.

Dari situ, katanya, bisa ditentukan status keterancaman, baik dalam level pemerintah maupun dalam legislasi nasional. Langkah-langkah itu, katanya, harus dijalankan guna menentukan status keterancaman secara obyektif.

Studi penting, katanya, dengan melibatkan berbagai pihak, guna mengetahui endemik Sumatera Utara atau endemik Sumatera atau ada tempat lain.

Secara saintifik kalau spesimen disimpan di Universitas Indonesia, bukan Museum Zoologi di Bogor, khawatir spesimen rusak karena tak terpelihara dengan baik. Membiayai museum, katanya, bukan hal murah. Jadi, katanya, sebaiknya simpan di museum di Bogor.

==

Artikel ini direpublish dari Mongabay.co.id atas MOU GNFI dengan Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini