Nusantara melalui Kesultanan Aceh Darussalam yang berdaulat pada abad ke 16 pernah melangsungkan misi diplomatik penting atas undangan langsung dari Pangeran Maurits, pendiri dinasti Orange. Misi ini juga terkait dengan pengakuan kedaulatan negeri Belanda yang saat itu baru saja memerdekan diri dari Spanyol.
Delegasi tersebut terdiri dari ketua Tengku Abdul Hamid disertai masing-masing deputi dan anggota yaitu Mir Hasan dan Laksamana Sri Muhammad. Rombongan tiba pada Agustus 1602, selama berada di negeri Belanda mereka ditemani oleh Leonard Werner sebagai penerjemah.

Delegasi ini diutus langsung oleh Sultan Aceh kala itu yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah dan diterima langsung oleh Raja Belanda Pangeran Maurits disertai upacara sambutan yang meriah dan saling bertukar hadiah.
Setelah hanya hitungan minggu di negeri Belanda, Abdul Hamid yang saat itu sudah berusia 71 tahun meninggal dunia karena sakit. Jenazah beliau dimakamkan melalui prosesi pemakaman kebesaran sebagai penghormatan kerajaan Belanda terhadap delegasi Kesultanan Aceh di pekarangan gereja tua St. Pieters di Middelburg ibukota Provinsi Zeeland negeri Belanda.

Karena tidak memahami prosesi pemakaman secara Islam, pihak Belanda memakamkan almarhum ketua delegasi Abdul Hamid di pekarangan gereja sebagai bentuk penghormatan. Monumen dan prasasti yang berada di area pemakaman diplomat Abdul Hamid selanjutnya dibangun pihak kerajaan Belanda untuk mengenang sekaligus menghormati kunjungan diplomatik penting ini.
Setelah beberapa kali pemugaran, bentuk terbaru dari prasasti pualam berwarna hitam dengan tulisan emas tersebut diresmikan secara langsung oleh Pangeran Bernhard pada 24 Oktober 1978 disaksikan langsung oleh Drs. Garnawan Dharmaputera, duta besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda.
Prasasti tersebut dapat ditemukan di salah satu ruang di gereja tersebut, yang menariknya ruang tersebut adalah ruang penting untuk acara penting di gereja tersebut. Kehadiran prasasti di ruang penting tersebut secara langsung juga menandakan bahwa pentingnya kunjungan diplomatik Sultan Aceh terhadap Kerajaan Belanda pada saat itu, sehingga semua orang yang hadir dapat melihat prasasti tersebut yang tertulis dalam Bahasa Belanda sebagai berikut.
"Ter Nagedachtenis aan Abdoel Hamid. Hoofd van Het Atjehse Gezantschap door Sultan Ala Oeddin Riajat Sjah Lillahi Fil Alam Afgevaardigd naar Prins Maurits met de Zeeuwse Schepen de "Zeelandia" en de "Langhe Barcke". Hij was Oud Een-En-Zeventig Jaar. Overleed in 1602 en Werd Bugezet in de Oude Kerk te Middelburg".
Dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan sebagai berikut.
"Dalam memori Abdul Hamid. Ketua Delegasi Aceh oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Lillahi Fil Alam diberikan kepada Pangeran Maurits dengan Kapal Laut "Zeelandia" dan "Langhe Barcke". Beliau berusia tujuh puluh satu tahun. Meninggal pada 1602 dan dimakamkan dalam gereja tua di Middelburg".

Kuburan duta besar Abdul Hamid di Middelburg negeri Belanda menjadi bukti otentik terkait penyebaran peradaban Nusantara melalui pelayaran pada masa silam, bukti tersebut menjadi sahih dengan tercatatnya nama kapal "Zeelandia" dan "Langhe Barcke" di prasasti tersebut.
Kapal-kapal Belanda sebagai wahana yang membawa delegasi Kesultanan Aceh mewakili Nusantara mengarungi samudera menuju pemberian pengakuan untuk negeri Belanda yang berdaulat, sebuah negara berbentuk kerajaan yang masih bayi pada masa itu.
Sejarah mencatat bahwa delegasi Sultan Aceh sepeninggal duta besar Abdul Hamid yang selanjutnya diwakili oleh Mir Hasan dan Laksamana Sri Muhammad berada di negeri Belanda selama 16 bulan diisi berbagai kegiatan pengenalan dan pertukaran budaya antara Nusantara dan Eropa. Kunjungan delegasi Aceh dibiayai oleh persekutuan dagang Hindia Timur atau dikenal dengan VOC yang juga berdiri pada 1602.*
Referensi: tengkuputeh.com | historia.id | Republika | javapost.nl
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News