Mengungkap Asal-Usul Sagu Porno dari Kepulauan Sangihe

Mengungkap Asal-Usul Sagu Porno dari Kepulauan Sangihe
info gambar utama

Pada 2017 lalu, kontributor Kompas.com, Ronny Adolof Buol, menceritakan pengalamannya mengunjungi Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang letaknya berbatasan langsung dengan Pulau Mindanao, Filipina. Letaknya pun berada di bibir Samudera Pasifik.

Tadinya kabupaten ini terkenal dengan Kepulauan Sangihe Talaud. Namun sejak tahun 2000 silam terjadi pemekaran antara Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Kabupaten yang hanya memiliki 131.136 jiwa ini ternyata memiliki panganan favorit, yaitu Sagu Porno.

‘’Dari dulu kami menyebutnya demikian,’’ kata seorang mantan Kepala Kampung Karatung Satu, Kecamatan Manganitu, Cut Nyak Din Kendaunusa, seperti yang dikisahkan Ronny.

Sagu porno yang dimaksud adalah olahan sagu yang dibakar menggunakan cetakan khusus yang terbuat dari tanah liat.

Nah, cetakan itulah yang disebut ''Porno''. Sedangkan olahan sagunya, dalam bahasa lokal sebenarnya disebut humbia pineda.

Meski begitu, sampai sekarang masyarakat lebih popular menyebutnya dengan sagu porno.

Cetakan porno bentuknya terdiri dari beberapa kotak kecil persegi panjang. Sekilas mirip pembakar kue balok, panganan manis khas Bandung. Hanya saja lebih panjang.

Cara Membuat Sagu Porno Ala Sangihe

Pembuatan Sagu Porno
info gambar

Sagu memang menjadi salah satu komoditas unggulan masyarakat Sulawesi Utara. Meski begitu masyarakat Sangihe sebenarnya memiliki cara pengolahan sagu yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain, seperti Maluku.

Untuk membuat Sagu Porno, pertama-tama cara membuatnya adalah dengan membakar porno di atas bara api. Setelah cukup panas, tepung sagu kasar dituangkan di dalam cetakan, lalu cetakan ditutup dengan seng yang di atasnya diletakkan bara lagi.

Tinggal tunggu sagu masak dari hasil panas cetakan tanah liat tersebut.

Kala Ronny mencoba panganan ini, rasanya ternyata memang gurih dan sangat cocok dimakan bersama menu kuah ikan segar atau ikan bakar.

Warga Kepulauan Sangihe memang menjadikan sagu porno ini menjadi pangan alternatif utama pengganti nasi. Ini karena tumbuhan sagu di Sangihe sangat berlimpah dan mereka tumbuh secara alami sejak dahulu kala.

Saking melimpah, beberapa kelompok tani di Kepulauan Sangihe akhirnya berinisiatif untuk mengolah sagu mereka dengan lebih modern.

Ini dilakukan agar hasil panen bisa digunakan secara utuh tidak hanya menjadi panganan sederhana favorit seperti sagu porno.

Ronny berkisah bahwa ternyata tepung sagu di Kampung Karatung Satu ini sudah bisa dijadikan mi, makaroni, bahkan beras analog. Untuk mi sagu sendiri sudah banyak peminatnya dari warga lokal. Meski begitu, kelompok tani di sana merasa ingin melakukan perluasan penjualan olahan sagu ini.

Jadi, masyarakat tidak lagi melulu bergantung pada nasi. ‘’Beras’’ sagu juga tidak kalah menyehatkan.

Diperkirakan Kata ‘’Porno’’ Akibat Pengaruh Portugis

Portugis di Sulawesi Utara
info gambar

Dalam dokumentasinya, Ronny tidak mengungkapkan bagaimana cetakan porno itu berasal. Terutama penamaan yang dipakai oleh warga Kepulauan Sangihe.

Nama ini menjadi sangat ikonik dan pasti menjadi perhatian karena menggunakan kata yang tidak biasa.

Meski begitu, GNFI mencoba menggali tentang cetakan porno khas Sangihe ini. Sampai akhirnya GNFI menemukan informasi menarik.

Dalam kapsi unggahan foto Natgeo Indonesia di akun Instagram miliknya, tampaknya kata ‘’Porno’’ yang biasa dikenal oleh masyarakat Sangihe kemungkinan besar berasal dari kata ‘’Forno’’ dalam bahasa Portugis.

Sedangkan arti ‘’Forno’’ dalam bahasa Indonesia adalah oven.

Kalau kita melihat bagaimana cara kerja cetakan porno terhadap olahan sagu ternyata fungsinya memang mirip dengan oven, ya. Hanya saja ini dilakukan lebih tradisional dan semuanya dilakukan dengan tangan manusia. Sumber panasnya juga hanya mengandalkan dari bara api saja.

Mengingat dari sejarahnya, Kerajaan Portugis memang pernah meninggalkan jejak di Sulawesi Utara pada awal abad ke-16 atau sekitar tahun 1500-an. Namun karena kalah dari bangsa Belanda, mereka harus hengkang dari Sulawesi Utara pada pertengahan abad ke-17.

Mengutip Manado Tribunnews, salah satu kedatangan Portugis ke Sulawesi Utara adalah ingin menguasai berbagai rempah-rempah yang ada di sana dan melakukan pembaptisan kepada masyarakat lokal.

Pembaptisan pertama dilakukan di Pantai Sulawesi Utara pada tahun 1538. Dan dari tahun 1563-1667, Portugis memiliki misi untuk menetap dan berkeliling Sulawesi Utara mulai dari Minahasa, Siau, dan Sangihe Talaud untuk melakukan pembaptisan.

Saksi Sejarah Kedatangan Portugis di Sulawesi Utara

Benteng Amurang Milik Portugis
info gambar

Salah satu saksi bisu sejarah kedatangan Portugis di Sulawesi Utara adalah Benteng Amurang milik Portugis yang masih tersisa dan berdiri di Amurang, ibukota Kapubaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Awalnya nama banteng ini diambil dari kata Amoer.

Amoer merupakan nama sebuah sungai di daerah Manchuria, sebelah timur China. Sungai itu dulunya ramai dilalui bangsa Portugis dan Spanyol saat berdagang ke Tiongkok.

Sejak kedatangannya ke Sulawesi Utara, sungai Amoer menjadi jalur penting bagi perdagangan yang dilakukan Portugis.

Setelah kedatangan Belanda, kata Amoer melebur dengan dialek mereka menjadi Amoerlang. Hingga sekarang, masyarakat Minahasa lebih mengenalnya dengan sebutan Amurang.

Benteng Amurang yang ada di Minahasa, yang memiliki luas 25x50 meter itu hanyalah sisa banteng yang masih dipertahankan hingga sekarang. Pada tahun 1943 saat Perang Dunia II, diketahui bahwa benteng ini diserang habis-habisan oleh tentara sekutu sehingga hanya menyisakan apa yang masih bisa dilihat sekarang.

Jadi, masih penasaran nggak mencicipi sagu porno khas Sangihe?

--

Sumber: Kompas.com | Manado Tribunnews | Wikipedia

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

DY
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini