Kisah Sang Maestro Gudeg yang Patut Masuk Guinness World Records

Kisah Sang Maestro Gudeg yang Patut Masuk Guinness World Records
info gambar utama

‘’Jatuh bangun, merangkak, kadang harus berpegangan tiang. Bahkan menarik satu kayu dari ikatannya pun dia terlihat kepayahan.’’

‘’Tapi ketika melihat prosesi dia memasak, mencampur, kita bisa lihat dia seperti punya energi yang luar biasa. Bisa berdiri tegak tanpa memegang apapun.’’

Itulah ungkapan Fachruddin, jurnalis asal Yogyakarta yang berkesempatan mewawancarai langsung Setyo Utomo atau banyak orang mengenalnya dengan sebutan Mbah Lindu.

Sosoknya hanya bisa Kawan GNFI temukan di salah satu sudut jalan Sosrowijayan, Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Tidak jauh dari Jalan Malioboro.

Jika tidak cepat, Kawan GNFI mungkin akan kehilangan kesempatan melihat sosoknya pada hari itu dan harus datang lagi keesokannya.

Kalau tidak digantikan oleh anaknya, Ratiyah, Mbah Lindu yang akan melayani sendiri para pelanggan setianya yang berebut berkumpul di kedainya. Mereka sudah menunggu sejak pukul setengah lima pagi dan dengan sabar mereka mengantre sampai gilirannya tiba untuk bilang, ‘’Gudeg telornya satu ya, Mbah.’’

Dengan harga Rp20.000, Kawan GNFI akan mencicipi sensasi gudeg legendaris Mbah Lindu yang sudah ada sejak zaman Belanda itu. Gudeg yang pernah membuat Mbah Lindu harus dikejar-kejar para londo karena dirinya enggan memberikan gudeg kepada mereka yang dianggap penjajah.

Patut Masuk Guinness World Record

William Wongso
info gambar

Dalam sebuah film pendek karya Riz Creative Visual, sang pakar dan pegiat kuliner Indonesia, William Wongso, menyampaikan bahwa Mbah Lindu patut masuk dalam buku kumpulan rekor dunia itu.

‘’Saya kaget. Kok masih ada satu orang ibu yang melakukan jualan satu jenis makanan selama 80 tahun lebih di tempat yang sama. Saya langsung bilang ini harus masuk Guinness karena nggak ada di dunia setahu saya (orang) yang masih hidup, yang setiap hari jualan makanan dan masak seperti Mbah Lindu. Nggak ada,’’ katanya.

Sepengetahuan William, tidak ada orang yang konsisten, persisten seperti apa yang dilakukan Mbah Lindu.

‘’Mbah Lindu itu hidup sepanjang jaman dan dia sebagai contoh untuk generasi muda. Bagaimana seseorang yang mempunyai profesi dan menekuninya selama dia bisa hidup,’’ ujarnya dalam wawancara dengan Maestro Indonesia RTV.

Ketika GNFI melihat film pendek yang dibuat 2017 silam, Mbah Lindu sudah berusia 97 tahun. Artinya, tahun 2020 genap usianya satu abad atau bahkan mungkin sudah masuk ke usia 101 tahun. Oleh karena itu, banyak pihak yang mengatakan bahwa Mbah Lindu adalah penjual gudeg tertua di Yogyakarta.

Bahkan, kalau mengacu pada pernyataan William, Mbah Lindu adalah penjual gudeg tertua di dunia.

Resep yang Tidak Berubah

Seporsi Gudeg Mbah Lindu
info gambar

Sekilas, mungkin tidak terlihat ada yang istimewa dari Gudeg Mbah Lindu. Baskom-baskom yang mengelilingi penyajinya—baik itu Mbah Lindu atau Ratiyah—masing-masing berisikan gudeg, ayam, sambel goreng, krecek, tahu, tempe, nasi, dan bubur. Semua baskom itu terlihat biasa.

Jangan menilai buku dari sampulnya!

Itulah yang patut disampaikan karena Kawan GNFI harus mencobanya terlebih dahulu sebelum menilai gudeg khas Mbah Lindu ini.

‘’Banyak yang nggak suka gudeg, (tapi kalau sudah) makan di Mbah Lindu dia akan bilang dia suka. Bahkan orang Jerman yang pertama ngeliat cara sajikennya itu dianggap kurang higienis, semua pakai tangan begitu, akhirnya bisa nambah,’’ ungkap William.

Gudeg buatannya merupakan jenis gudeg basah dengan cita rasa yang tidak terlalu manis seperti kebanyakan gudeg. Hal itulah yang membuat banyak orang yang awalnya tidak suka karena merasa gudeg adalah makanan manis, setelah mencoba Gudeg Lindu akan menjadi suka.

Mbah Lindu mengaku sudah mulai berjualan sejak usia 13 tahun. Itu artinya kurang lebih gudegnya sudah bertahan 87 tahun sampai sekarang.

Meski dari mulai memasak sampai menjaga kedai sudah dibantu Ratiyah, Mbah Lindu mengaku bahwa resep yang dibuat masih seperti dulu. Ratiyah bahkan mengungkapkan kalau Mbah Lindu tidak bisa dilarang kala dirinya ingin turun langsung dalam proses memasak untuk menjaga cita rasanya.

‘’Resep masih seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Jenisnya juga masih sama, krecek, gudeg, tahu, tempe, dan telur ayam,’’ kata Mbah Lindu dikutip Kompas.com.

Atas tekad mempertahankan cita rasanya inilah, tidak heran kalau Mbah Lindu sampai dilirik para pegiat kuliner internasional. Netflix dalam program Street Food pernah meliput secara khusus gudeg legendaris itu.

Pelajaran Hidup dari Sang Maestro

Pelajaran Hidup dari Sang Maestro, Mbah Lindu
info gambar

Apa sih Mbah rahasianya?

Pertanyaan itulah yang kerap ditanyakan. Namun jawabannya jangan harap Mbah Lindu akan mengatakan racikan rahasia, bukanjuga bumbu rempah rahasia, bukan pula takaran garam dan gula aren secara khusus. Melainkan…

‘’Nerimo. Hidup seadanya tidak usah macam-macam. Jangan iri sama kepunyaan orang lain. Walau tidak punya apa-apa, terima apa yang kita miliki. Yang penting anak diberi kesehatan,’’ kata Mbah Lindu dalam bahasa Jawa.

Menurut Fachruddin, ketika banyak orang berpikir mereka sudah tua dan saatnya untuk istirahat, mereka justru menilai itu hanya membuat mereka tidak sehat.

‘’Jadi buat mereka bekerja itu wujud syukur. Wujud syukur mereka masih punya umur. Wujud syukur bahwa masakan mereka masih bisa dinikmati banyak orang,’’ katanya.

Melihat usianya yang sudah sangat tua, William juga tidak ragu menyebut Mbah Lindu bukan hanya sebagai ikon Yogyakarta, melainkan legenda. Meski begitu ada kekhawatiran yang dirasakan William.

‘’Saya khawatir itu tidak ada penerusnya. Banyak makanan itu habis (punah, terlupakan) karena tidak ada penerusnya,’’ ungkap William.

Jadi, Sudah pernah coba gudeg racikan Sang Mestro Mbah Lindu?

Buat Kawan GNFI yang di Yogyakarta, kasih info, dong. Apakah Mbah Lindu masih sehat di sana?

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini