Meluruskan Istilah "Belanda Depok"

Meluruskan Istilah "Belanda Depok"
info gambar utama

Kota Depok, Jawa Barat, memiliki luas 220,29 km2 atau kurang lebih sama luasnya dengan kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dari takaran luas wilayahnya itu, mungkin bisa dibilang kota Depok tergolong bukanlah kota besar tetapi tidak juga kecil. Meskipun tidak mencolok dalam segi luas wilayah, Depok menyimpan kisah-kisah sejarah besar bahkan sedari zaman kolonialisme Belanda sampai pascakemerdekaan Indonesia.

Jika membicarakan kota Depok kini, apa sih yang terlintas dalam pikiran Kawan GNFI? Mungkin ada banyak jawabannya, bisa kota penghasil buah belimbing, lokasi salah satu perguruan tinggi terkemuka nasional, Universitas Indonesia (UI) dan masjid ikonis, Masjid Kubah Emas, atau mungkin tempat bermukimnya pekerja urban kota Jakarta berhubung wilayahnya tak jauh dari ibu kota Indonesia itu.

Namun, Kawan GNFI juga jangan lupa dengan istilah "Belanda Depok" yang menjadi salah satu keidentikkan kota satelit Jakarta ini. Ya, Belanda Depok merupakan istilah lama yang sering didengungkan dan sudah dikenal kebanyakan orang dari dulu bahkan mungkin hingga kini sampai-sampai seringkali muncul di beberapa literatur sejarah. Lalu siapakah sebenarnya Belanda Depok ini? Apa secara harfiah orang Belanda yang tinggal di Depokkah atau ada jawaban lainnya?

Sepintas Riwayat Depok, Relasi Chastelein dan Budaknya

Dalam beberapa versi, disebutkan nama Depok diambil dari akronim De Eerste Protestants Onderdaan Kerk yang berarti Gereja Kristen Rakyat Pertama berhubung ada komunitas Kristen di sana sejak era kolonialisme Belanda. Di versi lainnya, nama Depok berasal dari kata "pertapaan", "padepokan", atau "tempat untuk bertapa". Nama ini disematkan karena dulunya tempat ini menjadi tempat persemedian (pengasingan diri) raja-raja di Jawa.

Begitu juga dalam Baoesastra Djawa, istilah depok punya dua arti, yaitu "padoenoenganing adjar (pendita)" atau "tempat tinggal para pandita", dan arti lainnya adalah "omah" yang dalam hal ini diartikan sebagai "perkampungan". Menurut sejarawan UI, Tri Wahyuning M. Irsyam, nama Depok dan Pondok Cina sudah tercantum pada peta abad ke-18 lalu.

Perkembangan sejarah kota Depok tidak bisa lepas dari sosok Cornelis Chastelein, seorang saudagar senior Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pria kelahiran Rokin, Amsterdam, Belanda pada 10 Agustus 1657 itu nyaris 18 tahun lebih mengabdi sebagai pemegang tata buku VOC sehingga membuat kariernya naik dengan cepat. Lain daripada kebanyakan orang VOC, Chastelein ingin memberdayakan orang-orang pribumi.

Chastelein memiliki minat yang besar di bidang pertanian, budaya penduduk asli dan alam yang murni dari sebagian besar kepulauan Hindia-Belanda. Pada 1691, Chastelein mengundurkan diri dari VOC dan membeli lahan partikelir—lahan yang tidak dikuasai Belanda—di selatan Batavia, yakni Srengseng, Lenteng Agung dan Depok.

Demi mendapatkan tenaga untuk mengolah tanah partikelir menjadi lahan pertanian dan perkebunan, budak-budak kemudian dibeli Chastelein dari pasar budak di Batavia. Pada masa itu Batavia terutama bagian utara memang menjadi pasar budak yang dibawa dari Nusantara) bagian timur mulai dari daerah Bali sampai Bugis. Hal itu bisa dilihat kini di mana ada daerah yang bernama Kampung Bandan yang dulunya merupakan perkampungan budak asal Banda, Maluku.

Cornelis Chastelein sedang meninjau lahannya di Depok.
info gambar

"Dia (Chastelein) membeli budak-budak itu dari pasar budak di Batavia. Awalnya para budak itu dipekerjakan di Weltevreden (kawasan elite orang Eropa di Batavia), di tanah milik Cornelis Chastelein," terang Tri Wahyuning saat dikontak oleh GNFI pada Kamis (18/6/2020) lalu.

Budak Chastelein kemudian ditugaskan mengolah tanah di Depok yang diawasi langsung oleh Jarong van Bali. Tanah yang diolah para budak Chastelein inilah yang menjadi titik awal pembangunan kota Depok. "Di Kecamatan Pancoran Mas, Jl. Pemuda, awalnya dibangun tujuh pemukiman oleh para budak, yang diawasi pembangunannya oleh Jarong van Bali. Ia dipercaya oleh Cornelis Chastelein sebagai mandor," kata Tri Wahyuning.

Karena kekristenan merupakan agama yang berkuasa pada saat itu, sebagian besar budak Chastelein memilih menjadi orang Kristen demi mencari perlindungan dan supaya mendapatkan banyak perhatian dari tuannya. Tidak semua menjadi Kristen, karena salah satunya Jarong van Bali alias Batoepahan, yang merupakan asisten mandor kesayangan Chastelein, memilih memeluk agama Islam.

Tugu penghormatan untuk Cornelis Chastelein di Depok sekitar 1930.
info gambar

Chastelein wafat pada 28 Juni 1714 pada pukul 4 sore dan dimakamkan di Rijswijk, dekat kediamannya di Weltevreden, Batavia. Seusai Chastelein wafat, di dalam wasiatnya ia memerdekakan 150 budaknya dan mewariskan tanah Depok dalam kepemilikan bersama.

Setelah kematian Chastelein, budak-budak Kristen membangun komunitas pertanian terisolasi di Depok. Mereka memiliki lahan yang baik dan kawasan ternak yang besar yang mencukupi kehidupan mereka. Semenjak itu para budak yang lalu disebut sebagai penduduk Depok asli itu membangun daerah tersebut, mulai dari membangun rumah untuk sendiri sampai gereja.

Gereja tertua di kota Depok yang kini dikenal dengan nama GPIB Immanuel.
info gambar

Belanda Depok yang Bukan Orang Belanda

Saya menemukan hal menarik terkait istilah Belanda Depok—atau sebutan lainnya Bule Depok—dalam beberapa buku bahasa gaul. Dalam Kamus Istilah Gaul – SMS karya Livia Natalia B misalnya, kata Bule Depok diartikan sebagai "pribumi tampang bule".

Pribumi tampang bule? Lalu apa kaitannya dengan kata "Depok" yang diselipkan setelah kata "Bule"? Ya, mungkin bahasa gaul tersebut sekadar untuk lucu-lucuan saja (atau mungkin malahan serius?), tetapi lain daripada itu, hal tersebut memang masih ada kaitannya dengan sejarah panjang kota Depok dan penduduk Depok asli yang merupakan keturunan budak dari Chastelein.

Istilah Belanda Depok disematkan untuk kaum mardijkers atau budak yang dimerdekakan oleh Chastelein. Stereotip ini muncul karena mereka memiliki hidup yang lebih sejahtera ketimbang orang pribumi umumnya pada saat itu.

"Istilah ini muncul pada abad ke-20, di awal revolusi, mereka menjadi salah satu sasaran penyerangan dalam masa BERSIAP (atau sebutan lainnya peristiwa Gedoran Depok). Sebutan Belanda Depok, berasal dari orang-orang di sekitar Pancoran Mas (di luar tanah partikelir Depok)," jelas Tri Wahyuning.

"Sebutan itu muncul antara lain karena gaya hidup mereka yang ke-belanda-belanda-an, seperti berbahasa Belanda untuk berkomunikasi, gaya hidup mengikuti orang Eropa, dan mendapatkan persamaan dengan orang Eropa, mereka mendapat kesempatan bersekolah di sekolah yang diperuntukkan bagi orang Eropa, dan kemungkinan untuk bekerja di instansi pendidikan sebagai guru agama," papar Tri Wahyuning.

Belanda Depok tugu Chastelein.
info gambar

Menurut sejarawan Betawi, J.J. Rizal, ada peran orang Betawi dalam memunculkan istilah tersebut. "Istilah Belanda Depok ini harus dilihat dalam konteks kultur orang Betawi yang punya kebudayaan namanya poyokan. Poyokan itu panggilan kesayangan," terang J.J. Rizal dikutip GNFI dalam video Pamflet Generasi. "Misalnya ada si Mamat kepalanya panjul, dipanggil Mat Panjul, si Dul kepalanya pitak dipanggil Dul Pitak. Jadi bukan hendak mengejek apalagi menghina, tapi itu panggilan keakraban," ucapnya lagi.

Orang keturunan budak Chastelein yang memiliki marga berjumlah 12 itu memang sebagian bisa berbahasa Belanda, tetapi bukan berarti mereka senang dengan sebutan Belanda Depok. Ketimbang Belanda Depok, mereka lebih suka dipanggil Kaum Depok.

Ferdy Jonathans dan Jozua Dolf Jonathans.
info gambar

"Sebenarnya buat orang Kaum Depok mereka tidak suka dibilang Belanda Depok, karena kami bukan orang Belanda, kami tidak ada darah biru, kami adalah budak-budak yang dikirim oleh Cornelis Chastelein," terang Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Ferdy Jonathans pada 2017 lalu.

Sejalan dengan Ferdy, Jozue Dolf Jonathans yang merupakan saksi hidup peristiwa Gedoran Depok, menegaskan sebutan Belanda Depok tidak tepat diberikan untuk mereka. ''Kita orang Indonesia, jadi saya harap itu juga jangan sampai disebut lagi,'' kata Dolf.

Belanda Depok di Negeri Belanda

Mungkin istilah Belanda Depok akan lebih tepat diberikan bagi orang Depok yang sudah menjadi warga negara Belanda. Sepertinya bakalan sulit mengetahui orang Depok asli yang sudah menjadi WN Belanda, tetapi menurut buku Depok Tempo Doeloe karya Yano Jonathans, sudah ada terdapat komunitas Depok di Negeri Kincir Angin tersebut pascakemerdekaan Indonesia.

Diawali dengan pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia pada 1949, sejumlah orang Depok mengambil keputusan menjadi warga negara Belanda. Sekalipun demikian, ikatan batin terhadap tanah kelahirannya begitu kuat sehingga terdapat paguyuban-paguyuban untuk menggelar acara untuk bernostalgia.

Contoh dari bentuk nostalgia dari mereka ialah membentuk Depok Dag atau Hari Depok di mana acara itu dimeriahkan dengan lagu, dansa, dan kuliner khas Indonesia. Selain itu juga ada lagu kenangan mengenai Depok berbahasa Belanda berjudul Depok Ik Hou Van Jou (Depok, Aku Cinta Padamu). Lagu tersebut merupakan rikues seorang Depok di negeri Belanda, Raldy Laurens, pada temannya, Ridwan Hayat, untuk membuatkan lagu bertemakan Depok.

Lagu itu kemudian dinyanyikan penyanyi asal Ambon, Joice Pupella, yang tidak lain dan tidak bukan adalah istri Ridwan Hayat. Ada pun kandungan liriknya turut menyebut nama marga Belanda Depok, berikut liriknya:

Ada kisah sinyo dan noni Depok, yang terbuang jauh di negeri orang
Kami anak Indonesia, jangan kira kami siapa,
biar Hollands spreken, maar ik M'layu tulen
Bacas, Laurens, Jonathans, Samuel, Soedira,
Leander, Tholense, Loen, Ishak, Jakob, Joseph
nama-nama moyang kami di sana

Reff:

Depok yang indah yang ikke cinta
Biar kau jauh di mata tapi dekat di hati
Depok yang indah kota kenangan
Ik hou van jou ik hou van jou sampai mati

Sampai kini ku selalu terbayang
Kenangan yang manis di kota itu
Bersama mami, papi, sudara
Menikmati lekker dodolmu
Oh Depok, selalu kurindu

Referensi: Detik.com | Alwi Shahab, "Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe" | Yano Jonathans, "Depok TempoDoeloe" | Lilie Suratminto, "Cornelis Chastelein Tokoh Ethis Masa Kompeni dan Komunitas Kristiani Depok Ditinjau Melalui Kacamata Post-Kolonial" | Youtube.com/@Pamflet Generasi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini