Kisah di Balik Sila Pertama yang Justru ‘Ditemukan’ Terakhir oleh Soekarno

Kisah di Balik Sila Pertama yang Justru ‘Ditemukan’ Terakhir oleh Soekarno
info gambar utama

Tidak seperti Bung Hatta, nasib justru membawa Bung Karno untuk diasingkan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bukan dibandingkan di Digul, belantara Papua, dimana Bung Hatta dan Bung Kecil alias Sutan Syahrir. Mungkin juga kalau bukan karena berada di Ende, Pancasila yang direnungkan akan punya kisah berbeda.

Atau bahkan tak pernah ada?

"Inspirasiku. Khayalku. Mimpiku.’’

Itulah yang dikatakan Bung Karno saat menjelaskan kembali apa arti Pancasila pada hari lahir landasan itu sepuluh tahun kemudian.

"Beliau yang sebenarnya paling tahu tentang Pancasila itu. Pertanyaanya sekarang, ‘Kapan tiba-tiba Bung Karno mendapatkan sinyal Pancasila itu?’’ ungkap Rushdy Hoesein, Sejarawan Indonesia sekaligus Ketuga Dewan Pembina Komunitas Historia Indonesia, pada webinar bertajuk Bung Karno, Pancasila, dan Milenial (21/06) lalu.

Sila Pertama “Ditemukan” Setelah Pulang dari Bengkulu

Soekarno Saat Pengasingan di Bengkulu
info gambar

Januari 1934, Bung Karno bersama keluarganya sudah menerima nasib mereka untuk hidup di Ende setelah Pemerintah Hindia Belanda mengetok palu untuk mengasingkan dirinya.

"Sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda akan membuangnya ke Digul. Mungkin kalau (diasingkan) ke Digul, ceritanya tidak akan begitu romantis, karena Ende memiliki nilai tersendiri dalam keberadaan Bung Karno,’’ kata Rushdy lagi.

Di Ende, ada pohon sukun yang kerap disebut-sebut sebagai saksi hidup saat Soekarno merenungkan nasib bangsanya. Bahkan angin sepoi dari pohon sukun itu jugalah yang seolah menginsipirasi Bung Karno untuk menggali sebuah landasan negara.

"Yang menarik adalah ketika beliau berbicara tentang sila Ketuhanan itu ternyata ada pada bagian terakhir,’’ ungkap Rushdy.

Di Ende, tutur Rushdy, Bung Karno banyak menemui pastur-pastur dan menjalin komunikasi dengan mereka. Di sana Bung Karno banyak mempelajari banyak hal tentang masalah keyakinan dan agama. Namun hal tersebut tidak membuatnya yakin akan esensi dari Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Bung Karno kurang mendapat bahan-bahan esensinya. Baik itu dari pengelana hidup sebelumnya, orang tuanya, dan dari gurunya sendiri. Itu beliau juga sangsikan,’’ terang Rushdy.

Nasib membawa Bung Karno seolah berkelana untuk mencari suatu keyakinan akan sila, yang Rushdy sebut sesuatu yang ringkih dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

"Bukan berlebihan kalau beliau ingin membahas sesuatu yang esensinya paling besar,’’ katanya.

Setelah empat tahun di Ende, kenyataannya Pancasila bisa dikatakan belum sempurna. Setelah menjalani pengasingan empat tahun di Bengkulu, Pancasila diungp lebih siap dan sempurna untuk dibawa oleh Bung Karno.

"Di Bengkulu beliau lebih memahirkan diri dalam pemahamannya mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tokoh-tokoh Islam di sana,’’ kata Rushdy.

Di Bengkulu juga Bung Karno kepincut seorang gadis bernama Fatmawati, seorang putri tokoh Muhammadiyah dari Hasan Din. Meski begitu, Rushdy mengisahkan bahwa kehadiran Fatmawati dalam hidup Bung Karno tidak memberi pengaruh pada penyempurnaan sila pertama Pancasila itu.

"Tidak juga dari istrinya Ibu Fatmawati yang lulusan madrasah,’’ kata Rushdy.

Yang pasti, di tengah kondisi Belanda yang sedang limbung karena Perang Dunia II, Soekarno dijemput dari Bengkulu ke Jakarta. Tepatnya Juli 1942 silam, Bung Karno kembali dari Sumatra, kapalnya mendarat di pasar ikan sambil menghela napas dan mengatakan…

"Sekarang aku kembali.’’

Tentang “Pemerasan” Pancasila

Lambang Garuda Pancasila
info gambar

Ramai dibicarakan soal Pancasila yang akan menjadi Trisila, bahkan berakhir di Ekasila, yaitu menjadi "Gotong Royong’’.

"Inilah pentingnya untuk kita mempelajari sejarah,’’ ungkap Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI, pada pengantar webinar bertajuk Bung Karno, Pancasila, dan Milenial kala memberikan reaksi soal situasi yang ramai itu.

Menurut Hilmar, ini semakin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa 1 Juni hanya menjadi sekadar peringatan dan euforia sesaat.

"Masih kurang kita lakukan membaca secara utuh teks itu, mempelajari perjalanan sejarahnya dari sejak pidato sampai akhirnya terbentuk dalam Pembukaan UUD 1945. Bicara soal Pancasila sebagai landasan, adalah bicara sebuah landasan filosofis,’’ jelas Hilmar.

Bung Karno sebelumnya pernah menceritakan tentang esensi gotong royong ini, kata Rusdi. Dia juga menegaskan bahwa perubahan Pancasila yang disampaikan masyarakat itu menandakan bahwa penting diceritakan kembali sejarah terbentuknya Pancasila.

"Ini penting untuk diingat. Bung Karno menggunakan kata ‘peras’, bukan ‘diganti’. Dalam pemahaman saya, kalau semua dari nilai Pancasila diaplikasikan dalam kehidupan, maka yang muncul di sana adalah gotong royong,’’ ujar Hilmar.

Hilmar juga ingat betul apa yang disampaikan Bung Karno mengenai Pancasila bahwa, "Saya tidak menciptakan Pancasila, saya menggali arti tentang gotong royong.’’

Maka dari itu, sebenarnya landasan negeri ini, yaitu Pancasila sudah berlaku final.

"Jadi nggak perlu dicari-cari. Amalannya yang lebih penting (dilakukan) dari pada dihafal,’’ tegas Hilmar.

"Saya setuju dengan Pak Hilmar. Ini sebetulnya sari pati dari semua sila-sila itu,’’ tandas Rushdy.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini