Saksi Mata : Orang Kampung Daftar Jadi Relawan Merebut Irian Barat

Saksi Mata : Orang Kampung Daftar Jadi Relawan Merebut Irian Barat
info gambar utama

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh wilayah negeri ini adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Namun Belanda sebagai penjajah tidak mengakui klaim Indonesia ini dan masih ingin bercokol di bumi pertiwi ini dan pada waktu itu wilayah yang tersia adalah Irian yang masih dikuasai Belanda. Berbagai perundingan dilakukan oleh kedua pihak, tapi Belanda ngotot Irian miliknya.

Sikap ngotot Belanda itu membuat presiden Soekarno – “Bung Karno” marah besar dan pada tanggal 19 Desember 196i di Alun-alun kota Yogyakarta Bung Karno dalam pidato nya yang berapi-api mengeluarkan perintah perebutan Irian dari tangan Belanda. Tema pidato nya kalau tidak salah adalah Trikora atau Tri Komando Rakyat. Dalam pidatonya itu Bung Karno menyebut bahwa perintah ini bukan perintah dirinya, tapi perintah seluruh rakyat Indonesia. Maka mulailah dilakukan persiapan perang besar-besaran dan Bung Karno menunjuk Mayor Jendral Suharto (presiden ke 2 RI) sebagai panglima operasi Mandala, demikian istilahnya. Pak Suharto menyiapkan pasukan besar-besaran dari ketiga matra TNI, darat, udara , laut dan juga kepolisian.

Untuk merebut Irian, Indonesia ketika itu membeli berbagai peralatan tempur dari Uni Sovyet – salah satu negara adi daya masa itu selain Amerika Serikat. Dengan hutang jangka panjang dari negeri beruang merah ini (sekitar 2,5 milyar dolar Amerika) Indonesia membeli kapal perang dalam berbagai jenis, peluru kendali, pesawat tempur Mig 15, 17 dan 21, tank, kendaraan amphibi, truk militer, senjata serbu (AK-47) dsb. Ratusan penasihat militer dari Uni Sovyet didatangkan ke Indonesia, dan saya sendiri seringkali melihat mereka lalu lalang di Surabaya.

Pidato menggelegar Bung Karno itu membuat nasionalisme rakyat meningkat dimana-mana; lalu dibentuk lah Sukarelawan/wati untuk disusupkan ke hutan belantara Irian bersama tentara reguler dari TNI seperti RPKAD (Kopassus sekarang), KKO AL atau Korps Komando (marinir sekarang), PGT atau Pasukan Gerak Tjepat (Paskhas AU sekarang) dan Mobrig atau Mobil Brigade (Brimob sekarang). Ribuan orang mendaftar untuk menjadi sukarelawan/wati. Tak terkecuali di kampung saya - Kapasari Surabaya.

Saya menyaksikan para bapak dan pemuda di kampung yang mendaftar sukarelawan/wati ini secara rutin dilatih baris-berbaris dan dilatih anggota TNI. Mereka dengan baju seadanya dan membawa senjata dari kayu berlatih serius untuk nanti diterjunkan di hutan belantara Irian yang ganas itu. Sekarang kalau saya mengingat hal itu, heran kok begitu semangat nya para pemuda kampung ini mau diterjunkan ke Irian padahal tidak memiliki latar belakang militer, tahu-nya hanya baris berbaris saja; tapi itulah semangat demi membela harga diri bangsa ini.

Tentu sebagai anak kecil (umur sekitar 7 tahun-an) saya tidak tahu apakah para bapak dan pemuda kampung saya tadi yang mendaftar jadi sukarelawan betul-betul dikirim ke medan perang atau tidak.

Tapi saya tahu dari pemberitaan media dan pembicaraan warga di kampung memang ada seorang sukarelawati namanya Herlina Kasim yang betul-beul diterjunkan di Irian. Herlina Kasim yang juga punya nama Siti Rachmah Kasim arek Malang (Arema) ini lahir tahun 1941 sering ikut demo menentang Belanda selepas pidato presiden Sukarno itu. Dia sebenarnya adalah pendiri Mingguan Karya di Ternate Maluku. Darahnya mendidih setelah mendengar pidato Bung Karno di Yogyakarta itu, lalu dia minta ijin pada Panglima Kodam XVI Pattimura agar segera diterjunkan di hutan belantara Irian untuk ikut berperang melawan Belanda. Kodam lalu menerjunkan 20 sukarelawan termasuk dirinya. Hal ini membuat dia masuk dalam sejarah Indonesia, menjadi satu-satunya wanita yang diterjunkan di Irian.

Nama dia tentu melegenda di tanah air karena keberanian dan semangat nasionalisme nya yang tinggi. Saya sendiri tidak bisa membayangkan seorang perempuan diterjunkan dari pesawat militer Angkatan Udara dikegelapan malam di hutan yang sangat tidak bersahabat. Saya waktu itu sering mendengar cerita para prajurit TNI kita yang gugur ketika diterjunkan dari langit, karena ditembak Belanda sesampainya di daratan, atau mati karena terluka parah tersangkut di pohon Irian yang tinggi-tinggi, atau mati terkena penyakit malaria di hutan Irian. Tapi Bu Herlina ini kok berani ya.

Balik ke Kampung saya – yang saya ingat tidak satupun para bapak dan pemuda yang sudah mendaftar sukarelawan/wati dan sering berlatih kemiliteran itu ada yang diterjunkan di hutan belantara Irian seperti bu Herlina ini.

Kalau kisah ini didengar oleh kaum muda milenial sekarang ini, mungkin mereka akan tertawa dan bertanya apa ya bisa para sukarelawan/wati ini ikut perang, mengingat ketika para bapak dan pemuda ini berlatih baris berbaris militer, banyak yang salah terus, misalkan pelatih dari TNI berteriak “Maju Jalan!”, seharusnya kaki kanan melangkah maju dan tangan kiri diayunkan kedepan, tapi masih banyak yang kaki kanan dan tangan kanan bersama-sama digerakkan kedepan. Jadi lucu.

Tapi ingat, meskipun para bapak dan pemuda itu tidak bisa baris berbaris, dan tidak pernah punya latar belakang militer, semangat nasionalisme mereka begitu tingginya untuk membela bangsa. Terbukti Herlina yang juga tidak tahu apa-apa tentang dunia militer, berani berperang di hutan yang ganas. Sebelumnya juga terbukti demi bangsa dan negara arek-arek Suroboyo pada bulan November 1945 hanya berbekal bambu runcing – yang dikasih doa-doa oleh Ulama dan senjata rampasan dari Jepang berani melawan tentara sekutu dari Inggris yang pengalaman perang dunia ke II dengan persenjataan yang canggih kala itu (kapal perang, pesawat tempur dan tank).

Dan atas keberanian dan kepahlawan merekalah kita bisa merdeka seperti sekarang ini. Generasi muda keturunan mereka sekarang tinggal menikmati hasil perjuangan mereka yaitu bisa sekolah tinggi, mampu traveling, makan sambil tertawa-tawa di resto mahal, ber-selfie ria bersama teman dan pacar dsb.

(Oleh Penulis Senior GNFI)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini