Melacak Leluhur Penghuni Sejati Hutan Sulawesi

Melacak Leluhur Penghuni Sejati Hutan Sulawesi
info gambar utama

Anoa [Bubalus spp.] atau yang sering disebut kerbau kerdil Sulawesi, merupakan megafauna endemik Pulau Sulawesi. Populasinya mengalami tren penurunan. Penyebabnya, hutan yang merupakan habitatnya dikonversi menjadi perkebunan, pertambangan, atau permukiman, serta perburuan ilegal yang masih terjadi.

Anoa masuk daftar satwa terancam punah International Union for Conservation of Nature [IUCN] dan Appendix 1 berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora [CITES]. Itu berarti selain dilindungi, anoa juga dilarang untuk diperdagangkan. Di Indonesia, anoa termasuk daftar satwa liar prioritas konservasi nasional.

Namun, pernahkah Anda berpikir sejak kapan satwa liar ini berada di Pulau Sulawesi?

Dwi Sendi Priyono, Conservation Genetics Specialist WCS-Indonesia Program, menjelaskan ejarah biogeografi anoa hingga pertama kali muncul di Sulawesi. Menurutnya, anoa mengalami insular dwarfisme, yang berarti terjadi proses evolusi dan kondisi pada hewan yang mereduksi ukuran tubuhnya. Pengurangan bentuk tubuh itu kebanyakan terjadi pada spesies yang ada di kepulauan. Sehingga ada suatu gradasi ukuran tubuh satwa dari mainland [daratan utama], Asia mulai dari kerbau air asia [Bubalus arnee] hingga anoa di Sulawesi.

“Jika dihubungkan sejarah biogeografis, ada dua hipotesis rute migrasi mamalia besar menuju Indonesia. Pertama, adalah land bridges melalui Myanmar, Thailand, atau Indochina. Kedua, adalah insular melewati Taiwan dan pulau-pulau di Fhilipina,” ungkap Dwi Sendi dalam diskusi virtual “Mengungkap Asal Usul Anoa Menggunakan Pendekatan Genetika”, Kamis [18 Juni 2020].

Anara, anoa [Bubalus depressicornis] yang lahir alami di Anoa Breeding Centre [ABC], Balai Penelitian dan Pengembangan LHK [BP2LHK] Manado, pada 8 November 2017. Foto: Dok. Anoa Breeding Centre Manado/KLHK
info gambar

Dwi Sendi mengambil sampel darah, bulu, dan feses anoa untuk diketahui DNA-nya. Dalam penelitiannya, ia menggunakan total 50 dataset sekuens DNA anoa dan spesies terdekat di Asia Tenggara. Secara umum, anoa masuk keluarga Bovidae dan genusnya adalah Bubalus.

Hasilnya, Bubalus terdivergensi pada awal zaman Pleistosen dan anoa terpisah pada 2,2 juta tahun silam. Sementara penanggalan uranium fosil manusia di Sulawesi memperlihatkan, waktu okupasi manusia di Sulawesi terjadi 200.000-100.000 tahun lalu.

“Okupasi anoa di Sulawesi tampaknya tidak ada kaitan dengan migrasi manusia menuju Sulawesi.”

Menurutnya lagi, taksonomi anoa juga terjadi perdebatan di kalangan peneliti. Secara umum ada dua pengelompokan, yaitu anoa dataran rendah [Bubalus depressicornis] dan anoa gunung [Bubalus quarlesi]. Anoa dataran rendah habitatnya berada kurang dari 1.000 meter dpl, ukurannya relatif lebih besar; tinggi 60-100 cm dan berat kurang dari 300 kg.

Sedangkan anoa gunung habitatnya lebih dari 1.000 meter dpl, tingginya kurang dari 75 cm dan berat kurang dari 150 kg.

Anoa dataran rendah juga memiliki rambut tipis berwarna hitam, sementara anoa gunung dengan rambut tebal wol cokelat cerah. Untuk tanduk, anoa dataran rendah berbentuk kerucut, dan anoa gunung bulat. Para peneliti, menurutnya, menemukan banyaknya variasi kromosom pada anoa di penangkaran yang diduga sebagai hasil hibridisasi atau persilangan populasi berbeda.

“Anoa dataran rendah dan anoa gunung adalah spesies berbeda. Namun dari hasil penelitian, ternyata ada satu individu yang memiliki campuran genetik dari keduanya,” ungkap Dwi Sendi.

Anoa dataran rendah. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
info gambar

Leluhur Anoa

Abdul Haris Mustari, pengajar pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, mengatakan berdasarkan studi keragaman genetik, terdapat empat sub populasi anoa di Sulawesi. Keempatnya adalah sub populasi Pulau Buton, sub populasi Sulawesi Tenggara, sub populasi Sulawesi Tengah, dan sub populasi Sulawesi Utara.

Harus Mustari menjelaskan itu dalam buku terbarunya, “Ekologi, Prilaku, dan Konservasi Anoa” terbitan Desember, 2019. Menurutnya, anoa, kerbau air asia, dan tamaraw [Bubalus mindorensis] termasuk dalam sub suku Bubalina, genus Bubalus. Evolusi leluhur genus Bubalus diperkirakan dari Proamphibos di Siwaliks, Asia Selatan, pada era Pliosen 3,5–2,2 juta tahun lalu yang kemudian menurunkan Hemibos pada awal Pleistosen dan Bubalus pada tengah dan akhir Pleistosen.

Perjalanan panjang leluhur anoa yang bermigrasi ke Sulawesi, berdaptasi dengan iklim dan lingkungan yang baru dan sumber daya berupa makanan, air, dan tempat berlindung. Kondisi menyebabkan terjadi perubahan genetik dan morfologi. Dalam adaptasi tersebut, terjadi spesiasi yaitu terbentuknya suatu spesies baru yang melahirkan spesies anoa seperti yang ada sekarang.

Haris menjelaskan, bagaimana leluhur anoa mencapai Sulawesi masih diperdebatkan oleh para ahli palaeo-ecology. Mengutip pendapat Groves [1976], Haris menyatakan, leluhur anoa bermigrasi ke Sulawesi melalui “penyempitan” jalur laut yang terdapat di antara Jawa dan Kalimantan serta Sulawesi. Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali [Sundaic] yang merupakan bagian dari oriental, suatu ketika pernah bersatu saat permukaan air laut turun dan terjadi glasiasi, terbentuknya lapisan es tebal di kutub.

Selama periode penurunan air laut, terdapat beberapa pulau di bagian barat Majene di Sulawesi Barat dan terbentuk Dangkalan Doangdoangan yang terletak di Selat Makassar. Apabila air laut turun sekitar 100 meter dari kondisi saat ini, maka akan terbuka suatu hamparan darat yang luas, yang hampir menghubungkan Kalimantan bagian tenggara dan Sulawesi barat daya. Selain itu, di sepanjang bagian utara Selat Makassar pada kedalaman 1.000 meter terdapat kontur bawah laut di bagian timur Kalimantan yang bersesuaian dengan kontur bawah laut di bagian barat Sulawesi.

Anoa dataran rendah sang penjelajah hutan. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
info gambar

Berdasarkan kontur bawah laut yang bersesuaian itu maka diperkirakan, Selat Makassar pada suatu ketika pernah mengalami penyempitan, Kalimantan dan Sulawesi pernah bersinggungan atau berdekatan. Kontur bawah laut yang bersesuaian itu oleh para ahli geologi disebut “Palau Laut Centre of Diastrofism”. Diperkirakan, leluhur anoa menyeberang atau bermigrasi ke Sulawesi selama periode ketika Kalimantan dan Sulawesi saling mendekat atau ketika air laut surut dalam.

“Menyeberangnya leluhur anoa ke Sulawesi dari jalur Kalimantan yang saat itu masih terhubung dengan Jawa dan Sumatera sangat mungkin terjadi. Anoa menyukai lingkungan air dan termasuk satwa yang dapat berenang, diasumsikan bahwa leluhur anoa dapat berenang pada jarak tertentu,” ungkap Haris.

Ia mengatakan, anoa termasuk satwa yang dapat berenang dengan baik, seperti yang terjadi di Teluk Kolono, bagian selatan Sulawesi Tenggara. Teluk Kolono memiliki lebar 1–3 km dan kedalaman berkisar 20–40 m. Teluk tersebut memisahkan tiga kawasan konservasi yang merupakan habitat penting anoa: Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, Tanjung Peropa, dan Tanjung Batikolo. Anoa pada masa itu dapat bertukar individu dari kawasan konservasi yang berbeda namun berdekatan.

Mustari melaporkan, terdapat dua individu anoa yang tertangkap masyarakat ketika berenang di Teluk Kolono pada 1984 dan 1994.

“Apabila air laut turun 40 m sesungguhnya ketiga habitat anoa tersebut saling terhubung pada masa lampau, populasinya dipastikan dapat bertukar.”

Penyebaran populasi anoa dengan cara berenang dalam jarak relatif dekat antarpulau kemungkinan juga dapat menjawab proses migrasi anoa secara alami dari daratan Sulawesi Tenggara ke Pulau Buton. Laut yang memisahkan daratan di ujung selatan Sulawesi Tenggara di Desa Amolengo dan Langgapulu dengan ujung utara Pulau Buton di Desa Labuan Bajo, lebarnya hanya sekitar 8 mil [12,8 km], kedalamannya tidak lebih 60 m. Apabila permukaan air laut turun sekitar 50 meter dari kondisi sekarang, kedua pulau itu terhubung jalur darat yang memungkinkan dilintasi anoa dan mamalia darat lain.

Oleh karena itu, Tanjung Amolengo dan Tanjung Peropa serta kawasan hutan sekita di ujung selatan Sulawesi Tenggara merupakan titik terdekat penyeberangan anoa ke Buton Utara pada era Pleitosen [1–2 juta tahun lalu]. Di Buton terdapat kawasan konservasi yang juga dihuni anoa, yaitu Cagar Alam Buton Utara serta Suaka Margasatwa Lambusango yang terletak di tengah Pulau Buton.

Selain itu, beragamnya tipe habitat, kondisi lingkungan, serta bentang alam di berbagai wilayah Sulawesi menyebabkan beragamnya morfologi dan genetik anoa. Anoa sering disederhanakan menjadi dua spesies: anoa dataran rendah dan anoa gunung, berdasarkan studi morfologi dan studi genetik.

Namun sesungguhnya, kata Haris Mustari, keragaman spesies anoa lebih dari itu. Studi genetik anoa mendalam, lambat laun akan menyibaknya. “Secara evolusi, kondisi ini memfasilitasi terjadinya keragaman morfologi dan genetik, bukan hanya pada anoa tetapi pada seluruh satwa Sulawesi, khususnya yang endemik.”

Leluhur anoa telah mengalami perjalanan evolusi panjang, rentang waktu jutaan tahun. Leluhur anoa berada pada kondisi lingkungan yang senantiasa berubah, akibat perubahan iklim, geologi, bentang alam, habitat, hutan, serta pegunungan.

Lebih dari itu, Haris Mustari menegaskan, anoa adalah penghuni sejati hutan Sulawesi.

--

Artikel ini ada repost dari website Mongabay.co.id, atas MoU GNFI dengan Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini