Riset Membuktikan, Piknik Membuat Orang Lebih Kreatif dan Cerdas

Riset Membuktikan, Piknik Membuat Orang Lebih Kreatif dan Cerdas
info gambar utama

Jika sekarang dibuat poling siapa yang ingin segera piknik, tentu semua akan mengacung.

Betul kawan, pandemi Covid-19 selain membuat orang stress, juga menghilangkan kesempatan para pengelana untuk menyalurkan hobinya tersebut. Bagi kawan GNFI yang saban bulan piknik, tentu wabah Corona ini cukup menyiksa.

Namun jangan risau kawan, beberapa tempat wisata alam di Indonesia dan mancanegara pun mulai dibuka dengan protokol kesehatan tertentu. Artinya, gairah piknik sudah mulai harus digelorakan kembali kawan.

Tengok saja kawasan-kawasan wisata alam usai pandemi Covid-19 yang dikatakan lebih indah dari sebelumnya. Hal lainnya, banyak fauna yang muncul di tempat-tempat wisata yang sebelumnya tak pernah muncul.

Nah, apakah kawan GNFI tak tertarik?

Rajin piknik membuat lebih kreatif dan cerdas

Rutin piknik ternyata tak hanya menyenangkan kawan, tapi memberikan dampak psikologi dan banyak hal positif yang bakal muncul pada diri kita. Saat berlibur, lazimnya kita akan lebih rileks dan pikiran akan lebih terbuka.

Selain menikmati perjalanan, kita tentunya berkesempatan untuk melakukan petualangan kuliner dengan menjajal makanan khas daerah yang kita kunjungi.

Lain itu, jika mengunjungi tempat yang belum pernah kita datangi, atau berkenalan dengan penduduk setempat, akan mendorong kreativitas kita untuk menghasilkan sebuah karya.

Laman Huffingtonpost menulis, bahwa perjalanan akan membuat kita menjadi orang yang mengagumkan. Pengalaman yang dilalui, akan membuat kita menjadi lebih percaya diri, mudah beradaptasi, lebih berani, sekaligus lebih rileks.

Selain dapat bersenang-senang dan sedikit menepi dari rutinitas harian, kita juga bisa meningkatkan kualitas diri dengan melakukan perjalanan.

Cara kita memandang sesuatu juga akan berubah bila rutin melancong ke tempat baru. Pergi ke beberapa tempat bakal memperluas kesadaran kita tentang keragaman.

Lain itu, kebiasaan makan, kebiasaan berbicara, dan pengenalan budaya, akan jadi hal sederhana yang bisa kita dapatkan.

Semakin sering pergi ke tempat baru, semakin banyak menjelajah daerah tersebut, semakin kaya juga pengetahuan kita. Inilah yang membuat pergi berwisata membuat kita jadi pribadi yang lebih pintar.

Lalu, bagaimana dengan kita yang bermasalah dengan komunikasi?

Nah, melancong bisa jadi solusinya. Setiap pergi ke suatu tempat, belajar bicara dengan orang asing akan jadi latihan sederhana yang tentunya bakal banyak manfaatnya.

Dari bincang-bincang tadi, komunikasi bisa jadi lebih lancar. Bonusnya, semakin sering piknik, semakin sering berkenalan dengan orang asing, kita bakal memiliki jejaring pertemanan yang luas.

Dapat menghasilkan karya-karya menakjubkan

Penulis Ernest Hemingway dan Mark Twain misalnya, yang memanfaatkan perjalanan internasional mereka sebagai modal dalam pekerjaannya.

Dalam novel Hemingway berjudul A Moveable Feast yang menceritakan soal inspirasi yang didapatkan melalui perjalanan dari Perancis dan Spanyol. Sementara perjalanan Mark Twain berlayar melalui Mediterania yang kemudian diceritakannya dalam buku Innocents Abroad.

Karya-karya tadi adalah contoh karya terbaik yang dihasilkan dari sebuah perjalanan.

Di era media sosial seperti sekarang ini, kawan GNFI boleh coba melakukan riset kecil-kecilan. Karena rerata pemilik akun Instagram yang kerap mengunggah foto-foto saat liburan atau tempat wisata, nyatanya lebih digandurungi alias banyak di-follow.

Menampilkan keceriaan dan pemandangan alam yang menakjubkan, tentu memberikan kecerahan dan inspirasi bagi mereka yang melihatnya.

Kurang piknik membuat orang gampang sakit

Ada riset lain soal piknik kawan, ternyata para ilmuwan dari Queen Mary University of London mengungkap bahwa pelesiran selama dua pekan bisa meningkatkan kinerja sistem kekebalan tubuh dan membantu melawan infeksi.

Penelitian yang sudah diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Immunologyitu menjadi bukti bahwa lingkungan yang berubah akan memengaruhi fungsi sel-T, suatu jenis sel darah putih yang sangat penting bagi kekebalan tubuh.

Bahkan Sel-T disebut bisa memperkuat orang yang terjangkit virus HIV (AIDS), radang sendi, dan penyakit kronis lainnya.

Penelitian lain yang diterbutkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Science membuktikan bahwa piknik dengan cara berjalan-jalan di alam bebas bisa mengurangi pikiran negatif.

Jadi, jika seseorang selalu berfikiran negatif, artinya ada kemungkinan orang tersebut membutuhkan piknik beberapa waktu.

Untuk sampai pada kesimpulan itu, para ilmuwan dari Stanford University melakukan percobaan terhadap 19 orang yang berjalan kaki selama 90 menit di alam bebas.

Para peserta penelitian dalam kelompok pertama berjalan-jalan di sekitar Stanford, sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan, pepohonan dan semak-semak yang lebat. Sementara itu kelompok lainnya berjalan-jalan di salah satu ruas jalan tersibuk di sekitar Palo Alto, California, Amerika Serikat.

Hasilnya, pikiran negatif orang-orang ini ternyata lebih rendah ketimbang 19 orang lain yang berjalan kaki di lingkungan perkotaan yang sesak dengan atmosfir yang cukup sibuk.

Pikiran negatif yang muncul di kepala para partisipan diungkap melalui kuesioner. Selain itu, tim peneliti juga melakukan pemindaian terhadap aktivitas otak relawan sebelum dan sesudah jalan-jalan. Hasilnya, jalan-jalan di alam bebas menurunkan aktivitas otak di bagian yang berhubungan dengan penyakit mental.

''Hasil penelitian ini menarik karena hanya dengan berjalan 90 menit bisa memberikan dampak sebesar ini,'' kata Gregory Bratman, mahasiswa doktoral yang melakukan penelitian tersebut, dalam Livescience.

Piknik jadi agenda wajib kalangan milenial

Menurut CN Travelsoal tren wisata, mereka menyebut bahwa anak-anak mudalah yang saat ini memiliki peran besar untuk membentuk cara baru dalam berwisata.

Di Indonesia khususnya, dari sekitar 261 juta jiwa penduduknya pada tahun 2016, setidaknya ada 35 persen atau 25 juta anak muda yang gemar pelesir.

Anak-anak muda ini masuk ke dalam kategori usia di bawah 20 tahun. Sedangkan kelompok usia produktif bekerja yakni 20-40 tahun berada satu peringkat di bawahnya.

Bisa jadi, wisatawan domestik golongan Generasi Z ini diboyong oleh keluarganya saat berlibur, mereka berwisata sendiri, atau dengan rekan sebayanya, tanpa mengekor orang tua, mengingat saat ini banyak sekali jasa open trip yang tersebar di dunia maya.

wisatawan domestik 2014-2018

Menurut data Badan Pusar Statistik (BPS) periode 2014-2018, generasi Z dan milenial mendominasi jumlah wisatawan lokal sepanjang periode itu. Sejak 2014 jumlahnya terus naik saban tahunnya.

Data infografik di atas menggambarkan, jika generasi Z mendominasi dengan 21,8 persen pada 2014, 22,8 persen pada 2016, dan 24,2 persen pada 2018.

Sementara generasi milenial berada di peringkat kedua yang mendominasi dengan 19,3 persen (2014), 19,5 persen (2016), dan 18,8 persen (2018).

Sementara menurut data Susenas BPS Maret 2017 terkait pelancong asal suatu daerah, 48,1 persen penduduk Yogyakarta suka melancong, disusul penduduk DKI Jakarta yang mencapai 43 persen.

Tentu saja DKI menjadi nomor satu karena provinsi ini memiliki populasi mencapai 10,18 juta jiwa (sensus 2014), nyaris tiga kali lipat ketimbang penduduk Yogya (3,59 juta jiwa).

Merujuk data itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalangan usia produktif lebih senang membelanjakan uangnya untuk ''membeli pengalaman'' ketimbang memiliki barang.

Aisha (27) salah satu pekerja kantoran di Jakarta pernah mengungkap kepada penulis jika ia memang memiliki bujet khusus untuk pelesir. Setidaknya ia menyisihkan Rp500 ribu hingga Rp1 juta dari gajinya untuk pelesir.

''Biasanya sih pakeopen-trip, karena lebih teratur, meski sedikit mahal. Tapi gak jarang kok kita patungan buat bikin agenda piknik. Kalo yang--patungan--ini biasanya untuk ke luar (luar negeri),'' tandas dara yang menyukai plesir ke pulau Sumatra, Lombok, dan Thailand ini.

Mengapa para milenial begitu antusias?

Selain di Indonesia, fenomena generasi Z dan milenial yang mendominasi jumlah wisatawan juga terjadi di belahan dunia lain.

Ada sebuah fakta dalam wawancara Forbes (8/11/2017) dengan Dean Sivley, pimpinan Berkshire Hathaway Travel Protection (BHTP), sebuah perusahaan asuransi perjalanan di Amerika Serikat.

Menurut Sivley, jumlah permintaan asuransi perjalanan ternyata berbanding lurus dengan jumlah para wisatawan muda.

Awalnya, wisatawan yang menginginkan asuransi perjalanan adalah mereka yang berusia 35-44. Lalu pada 2016, angka pemohon berusia 25-44 meningkat sekitar 30 persen, dan melonjak tajam menjadi 70 persen pada 2017.

Hal itu, sambungnya, disebut sebagai masa kejayaan para milenial dan para remaja yang mulai memegang peran penting dalam industri pariwisata dunia.

Tren tersebut juga sejalan dengan berkembangnya kecanggihan internet dan gawai. Kehadiran dua sarana komunikasi dan informasi tersebut mempermudah kaum milenial mengetahui keberadaan daerah-daerah potensi wisata yang sebelumnya tak terjamah.

Pada milenial ini pun tak segan melakukan kongsi bujet dalam biaya perjalanan dan akomodasi saat mereka yang memiliki tujuan yang sama. Tindakan itu dilakukan untuk bisa mengurangi pengeluaran anggaran yang besar, sehingga melancong jadi lebih terjangkau.

Penjabaran tersebut selaras dengan pengakuan Diar (32) seorang travel blogger asal Bandung. Penulis yang tak pernah absen pelesiran saban bulan ini bisa tidur di mana, dan kapan ia mau ketika pelesir.

''Yang penting ada colokan listrik buat laptop dan jaringan internetnya bagus," akunya.

Destinasi favorit

Soal tujuan wisata favorit para turis domestik, menurut Indeks Pariwisata Indonesia hingga akhir 2017, Bali merupakan daerah tujuan wisata paling diminati di Indonesia.

Sementara Skyscanner dalam CNN Indonesia perah menyebut, bahwa Belitung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Solo di Jawa Tengah merupakan destinasi domestik yang popularitasnya meningkat pada 2017.

Belitung mengalami peningkatan pencarian informasi wisata sebesar 90 persen, sementara Solo mengalami peningkatan sebesar 79 persen. Data ini menunjukkan adanya ketertarikan terhadap pengalaman wisata ke arah anti-mainstream dan gaya hidup lokal yang orisinal.

Selain destinasi anti-mainstrem tadi, generasi muda ini juga memiliki cara baru untuk menghabiskan malam ketika pelesir.

Booking.com, salah satu situs penyewaan penginapan pernah melakukan riset yang hasilnya 6 dari 10 wisatawan domestik anak muda lebih memilih untuk bermalam di rumah sewa ketimbang hotel mewah.

Selain lebih murah, menginap di rumah sewa disebut lebih bisa memberi inspirasi dan pengalaman berbeda ketimbang pulas di kasur empuk hotel.

Rumah yang disewakan kepada wisawatan biasanya memang dibanderol dengan harga terjangkau ketimbang hotel pada umumnya. Bahkan, ada beberapa situs komunitas yang memungkinkan kita sebagai wisawatan untuk dapat menginap secara cuma-cuma di rumah penduduk lokal.

Berbekal segala kemudahan tersebut, melancong menjadi kegiatan yang lumrah dan murah untuk dilakukan, terutama saat libur sekolah yang biasanya jatuh pada pertengahan tahun, antara Juni-Juli.

Waktu terbaik untuk pelesir

periode melancong

Sementara jika membicarakan waktu yang paling banyak digunakan untuk melancong, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada 2017 mencatat bahwa kuartal ketiga (Juli-September) adalah waktu yang paling sering digunakan para pelesir, dan catatannya mencapai 54,6 persen.

Sedangkan waktu kedua yang paling digemari untuk wisata saban tahun adalah kuartal keempat, yakni Oktober-Desember. Wajar, mengingat akhir tahun masih menjadi salah satu cara orang untuk menikmati liburan tahuhn baru. Catatannya mencapai 45,5 persen.

Nah, dari paparan di atas jelas menunjukkan jika selain piknik dapat membuat sehat jiwa dan raga, juga menjadi salah satu cara untuk menambah wawasan, jejaring pertemanan, dan yang lebih penting adalah meningkatkan rasa syukur kepada Tuhan.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini