Siapa PNS dengan Nomor Induk Pegawai 1?

Siapa PNS dengan Nomor Induk Pegawai 1?
info gambar utama

Apa pun profesi atau aktivitas Kawan GNFI, tentu tidak asing dengan nomor identitas selain Kartu Tanda Penduduk, seperti nomor induk mahasiswa, atau nomor pegawai di kantor. Sama juga dengan pegawai negeri sipil. Pernahkah terpikir, siapa PNS dengan nomor kepegawaian 1?

Saat itu usia kemerdekaan Indonesia telah mencapai 28 tahun. Pemerintah tengah berusaha memulihkan ekonomi dan salah satu sektor penting dalam usaha pemulihan itu adalah pendataan para abdi negara atau para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kini kerap disebut sepagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Satu sisi ini urusan penting bagi sebagian masyarakat yang sudah mengabdikan diri mereka kepada pemerintah. Setidaknya, pemerintah memberikan suatu jaminan kepada mereka yang sudah mengurusi segala hal kecil dan administrasi pemerintah dan negara.

"Kenapa penting, pensiun itu diatur di Undang-Undang 1969,’’ kata Aris Windiyanto, Deputi Bidang Mutasi Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara (BKN), kepada GNFI (1/7).

Dasar undang-undang tersebut memang tertulis jelas, yaitu:

Bahwa perlu menetapkan peraturan tentang pemberian pensiun-pegawai dan pensiun-janda/duda sebagai jaminan hari tua dan penghargaan atas jasa-jasa dalam dinas pemerintah kepada pegawai negeri, yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian Nomor 18 tahun 1961.

Per Januari 2020, jumlah PNS—atau ASN—yang tercatat oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, mencapai 4.286.918 orang.

Lalu, siapa yang menjadi PNS pertama di Indonesia?

Setelah ditelusuri, orang dengan nomor urut 1 sebagai PNS di Indonesia ternyata adalah Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 010000001.

Hal ini tertuang dalam Kartu Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia yang diterbitkan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) di Jakarta, 1 Desember 1974. Yang ditandatangani oleh Kepala BAKN saat itu, yaitu A.E. Manihuruk.

Itu artinya secara administrasi, pemegang tahta Keraton Yogykartaka pada 1940-1988 itulah yang menjadi PNS pertama di Indonesia.

Sri Sultan HB IX sebenarnya sudah bertahta pada tahun 1940. Kala itu belum ada negara Indonesia, yang ada adalah Hindia Belanda. Pada masa itu, Keraton Yogyakarta juga tidak luput menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan kolonial Belanda.

Lalu apa alasan Sri Sultan HB IX dinobatkan menjadi PNS pertama di Indonesia?

Bagaimana para nasib abdi negara yang sebelumnya sudah bekerja meski di bawah pemerintahan Belanda? Apakah mereka turut ikut dianggap menjadi PNS di bawah pemerintahan Republik Indonesia?

Inilah hasil penelusuran GNFI.

Teknis Penomoran NIP di Indonesia

Teknis Penomoran NIP
Ilustrasi papan nomor. © Nick Hillier/Unsplash

Penomoran 010000001 milik Sri Sultan HB IX ini ternyata memiliki arti dan kode tersendiri.

"Jadi, dulu pembagian NIP itu berdasarkan kode instansi. Dulu ada 9 digit, 2 digit pertama merupakan kode instansi. Kalau Sultan (HB IX) itu 01, itu berarti (dari instansi) Kementerian Dalam Negeri," ungkap Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum, dan Kerjasama BKN, Paryono, kepada GNFI (1/7).

Di sisi lain, penemuan salinan NIP milik Sri Sultan HB IX itu terjadi pada 1974.

"Pada tahun itu dilakukan pendaftaran ulang pegawai negeri sipil (PUPNS), yang dilakukan untuk seluruh pegawai negeri, baik pegawai negeri pusat, pegawai negeri daerah, maupun ada beberapa daerah otonom dan sebagainya," kata Aris.

Aris sendiri mengaku bahwa pihaknya perlu mengkaji ulang terkait penomoran pertama yang ditentukan dan diberikan kepada Sri Sultan HB IX.

"Karena pasti penetapan NIP itu dari [proses] pendaftaran ulang. Jadi kalau hitam putihnya, secara detilnya, saya belum dapat. Tapi itu yang kita pegang, [berdasarkan] pendaftaran ulang tahun 1974,’’ pungkasnya.

Dari proses PUPNS tersebut pada akhirnya berlanjut hingga sekarang. Meski pada perjalanannya, tepatnya pada Oktober 2008 terjadi perubahan lagi pada penetapan NIP.

"Konversi yang tadinya 9 digit, kemudian pada 2008 itu mulai ditetapkan jadi 18 digit,’’ ungkap Kepala Seksi Pengadaan Non-Kementerian BKN, Maryono, kepada GNFI (1/7).

"Tapi bagi yang sudah pensiun tidak di konversi," tambahnya.

Untuk diketahui, penomoran 18 digit itu juga terdapat kode dan arti tersendiri.

8 digit pertama adalah tahun, bulan, dan tanggal lahir pegawai.

6 digit selanjutnya adalah tahun dan bulan masuk pegawai sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

1 digit selanjutnya kode jenis kelamin. Jika laki-laki menggunakan angka 1, maka perempuan menggunakan angka 2.

3 digit terakhir merupakan indeks urutan.

Sejak 2008 tidak ada lagi digit sebagai kode instansi seperti yang tercantum pada NIP Sri Sultan HB IX.

Asal-Usul PNS

Pegawai Negeri SIpil
info gambar

Pada perjalanan sejarahnya, Aris menjelaskan bahwa PNS—atau dalam hal ini pegawai pengurus pemerintah—tidak lahir pada saat kemerdekaan. Disebut sebagai pegawai pemerintah, diartikan sebagai pegawai yang dulunya pernah bekerja kepada pemerintah Belanda.

"Dulu zaman Belanda, ada dua jawatan, ada dua instansi yang mengelola pegawai pemerintah. Ada yang mengelola pegawai Republik Indonesia, ada juga yang mengelola pegawai Hindia Belanda. Jadi mereka bekerja sejak sebelum kemerdekaan," jelas Aris.

Jadi bisa dikatakan bahwa orang kepegawaian pertama itu sebenarnya bukan Sri Sultan HB IX?

"Saya tidak bisa menyatakan seperti itu," jawab Aris,"Ketika merdeka, pemerintah bukan membubarkan lembaga yang sudah ada, tapi dibentuk lembaga baru. Lembaga zaman pemerintah Belanda menjadi lembaga pemerintah Indonesia. Penguasaan dan pemerintahannya yang beralih."

Terkait sistem kepegawaian saat pemerintahan Belanda, Asep menjelaskan bahwa kala itu ada yang disebut dengan Pamong Praja atau Pangreh Praja.

"Kalau bahasa Belandanya, amtenar (ambtenaar) atau pegawai pemerintah Belanda,’’ katanya.

"Konsep pada zaman Belanda, mereka menguasai tapi kalau ada yang mau bekerja untuk pemerintah Belanda, bisa. Biasanya nanti jadi kaki-tangan pemerintah, misalnya jadi Bupati dan Camat. Kalau level residen baru (dipegang oleh) Belanda. Di bawahnya nanti orang-orang pribumi,’’ jelas Asep tentang sistem kepegawaian pada era kolonial Belanda.

Pada dasarnya terdapat dua sistem pada birokrasi Hindia Belanda kala itu, yang disebut Binnenlandsch Bestuur (BB) dan Inlandsch Bestuur (IB).

Sistem BB adalah istilah sistem korps pegawai kolonial yang diisi oleh orang-orang Belanda yang jelas berlatar belakang pendidikan paling tinggi. Sedangkan sistem IB adalah istilah sistem untuk pegawai-pegawai dari kalangan bumiputra atau pegawai pribumi. Inilah yang disebut Pangreh Praja.

Biasanya tugas pegawai pribumi dilanjutkan secara turun-temurun atau berdasarkan pertalian keluarga. Dalam hal ini adalah memanfaatkan priyayi-priyayi bumiputra sekaligus mendidik mereka dalam dunia birokrasi modern dan menjadi penguasa pribumi di wilayah tertentu.

Dalam praktiknya, penguasa pribumi menempati posisi penting dalam hubungan pemerintah kolonial dengan rakyat. Mereka menjadi perantara kebijakan eksekutif dari gubernur jenderal dan residen, dengan tugas utama menjangkau rakyat bawah.

"Jadi sebenarnya bekerja untuk pemerintah itu tidak hanya di zaman kita. Dari zaman dulu, zaman kerajaan sudah ada. PNS [pegawai pemerintah] dari bekas Belanda, otomatis nanti lanjut pada masa pendudukan Jepang. Setelah itu lanjut lagi di pemerintahan Indonesia," jelas Asep.

Penghargaan untuk Komitmen terhadap Nusa Bangsa

Sri Sultan Hamengkubuwono IX
info gambar

"Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat. Terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang timur harus kehilangan kepribadiannya."

"Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa."

"Maka selama tidak menghambat kemajuan adat, akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini."

"Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji. Semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan kepada saya."

Itulah kutipan pidato Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat jumenengan atau naik tahta, pada 18 Maret 1940. Sesuai dengan salinan NIP yang terdokumentasi, pada tahun itu pula Sri Sultan HB IX ditunjuk sebagai PNS pertama Indonesia yang sesuai dengan peraturan administrasi negara.

Coba perhatikan kutipan pidato tersebut!

"Bukan 'negara', tetapi untuk kepentingan nusa dan bangsa. Sebab negara waktu itu Hindia Belanda, karena saat itu Indonesia belum merdeka,’’ ungkap Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, alias Romo Tirun, yang juga merupakan cucu dari Sultan HB VIII itu, dikutip Kompas (16/12/2019).

Tirun adalah orang yang pertama kali mengungkap pemilik NIP pertama di Indonesia. Kala itu, Tirun masih menjadi Kepala Biro Umum. Segala hal tentang masalah yang berkaitan dengan pensiun janda, Tirunlah yang mengumpulkan data-data tersebut.

Termasuk menerima data salinan kartu pegawai milik Sri Sultan HB IX.

Pidato naik tahta Sri Sultan HB IX itu disebut-sebut sangat fenomenal, sebab dirinya secara terang-terangan memilih untuk mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa. Secara tersirat, Sri Sultan HB IX menyampaikan pesan dirinya tak ingin lagi "berkomplot" dengan pemerintah Belanda.

"Memang raja-raja zaman dulu itu kan rata-rata berkomplot dengan pemerintah Belanda. Mereka [Kerajaan Yogyakarta] tidak berperang. Pemerintah Yogya tetap independen. Ini yang menarik, Kesultanan Yogya waktu itu betul-betul sangat nasionalis,’’ jelas Asep.

Lebih jauh Asep mengungkapkan bahwa tidak heran jika Yogyakarta diberikan hak istimewa hingga sekarang. Dia melihat bahwa Yogyakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap negeri ini.

"Kontribusi dalam hal politik, dalam hal macam-macam, termasuk menyelamatkan republik. Pada saat perang kemerdakaan, agresi itu terjadi sangat besar di daerah Yogya, Magelang, dan daerah-daerah situ. Dan kontribusi kerajaan keraton Yogya sangat besar terhadap eksistensinya republik ini," ungkap Asep.

Terkait mengenai penomoran istimewa terhadap Sri Sultan HB IX, Tirun menjawab kepada Tempo,’’Itu menjadi salah satu saja bentuk pengakuan pemerintah atas keistimewaan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta).’’

Pidato pada tahun 1940 itu, diungkap Tirun, menjadi salah satu apresiasi negeri dan mencatatnya sebagai pegawai pertama Republik Indonesia pada tahun 1974. Waktu dimana pendaftaran ulang PNS dilakukan.

Bukti Pembelaan Sri Sultan Terhadap Nusa dan Bangsa

Sri Sultan Hamengkubuwono IX
info gambar

Tak hanya menjalankan peran sebagai raja, Sri Sultan HB IX juga diketahui menjadi seorang tentara yang berdinas sebagai prajurit TNI AD dan berpangkat Letnan Jenderal.

Tidak hanya bertugas memimpin kerajaan atau kesultanan daerah dan menjadi gubernur wilayahnya, jenderal dengan nama kecil Gusti Raden Mas Dorojatun itu pernah berjibaku berjuang mempertahankan kemerdekaan di masa-masa sulit setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Beberapa pertempuran melawan penjajah yang enggan angkat kaki dari negeri ini pernah ia lakoni.

Yang paling monumental tentu andilnya dalam ikut memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Sejak dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Sénapati ing Ngalaga Abudrrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat, ia sudah memantapkan diri berseberangan dengan penjajah Belanda dan memilih mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Jadi ketika Belanda datang dan menjajah, Belanda tidak serta merta membumihanguskan yang berhubungan dengan politik pemerintahan dan kerajaan. Belanda selalu memanfaatkan kondisi untuk memudahkan penguasaan atas wilayah," kata Asep.

Alih-alih melakukan kerja sama terkait hubungan dagang, ekonomi, dan sebagainya, menurut Asep, itu merupakan taktik Belanda.

"Kalau Belanda mengatur Yogya ya berat. Mendingan ya udah Sultannya saja yang mengatur," pungkasnya.

Tak hanya sampai di situ, Sri Sultan HB IX menegosiasikan hak otonomi kepada pemerintah Belanda yang diwakili diplomat senior Lucien Adam. Pada akhirnya hak tersebut berhasil didapat.

"Jadi [Belanda menganggap] lebih mudah untuk dikelola oleh rajanya daripada oleh orang lain yang bukan [berasal dari] Yogya atau orang lain yang bukan dari kesultanan. Itu jauh lebih berat [bagi Belanda],’’ jelas Asep.

Setelah mendapatkan hak tersebut, Sultan lalu mulai menata wilayah istimewanya sedemikian rupa.

Sejumlah kebijakan ia keluarkan, termasuk pada akhirnya memilih menggabungkan wilayah kekuasaan Yogyakarta kepada Republik Indonesia yang baru merdeka.

Setelah bergabung pun ia mengerahkan segala dukungan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Termasuk menghibahkan kekayaannya sebesar 6 juta gulden kepada pemerintah di tengah kesulitan ekonomi yang menjerat pasca-kemerdekaan.

Di tengah agresi Belanda, Sri Sultan HB IX bahkan menawarkan wilayahnya, Yogyakarta, sebagai ibukota negara dengan alasan keamanan. Pada akhirnya Yogyakarta pernah menjadi ibukota negara sejak 4 Januari 1946 sampai 17 Agustus 1950.

"Sejak semula beliau itu memang pengabdiannya, bekerjanya, untuk memenuhi kebutuhan nusa dan bangsa," ujar Romo Tirun dikutip Kompas.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini