Geliat Pelaku E-Commerce Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi Saat Pandemi

Geliat Pelaku E-Commerce Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi Saat Pandemi
info gambar utama

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia di awal tahun 2020, perekonomian menjadi salah satu sektor yang sangat terpukul. Pemutusan hubungan kerja bahkan sampai beberapa perusahaan gulung tikar membuat daya beli masyarakat cenderung menurun.

Kondisi pandemi sangat riskan bagi para perusahaan rintisan. Sebut saja Airy Rooms yang terpaksa gulung tikar akibat penurunan drastis angka pelancong akibat kondisi dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Di tengah situasi tersebut, roda perputaran ekonomi tentu saja tidak boleh berhenti. Salah satu sektor perekonomian yang mampu mengambil banyak peran seperti ini adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Praktisi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Sigit Iko Sugondo, dikutip dari Pikiran Rakyat, mengatakan bahwa UMKM harus bisa melakukan beberapa jurus agar usaha mereka tidak terhambat atau selamat melalui pandemi ini.

Salah satu jurusnya ada kreativitas dan inovasi. Jangan sampai para UMKM ini justru ikut tumbang mengingat sebagian besar dari mereka lah yang punya peran penting dalam memasok kebutuhan masyarakat.

Untuk mendukung hal tersebut, salah satu perusahaan rintisan (startup) asli buatan Indonesia rupanya tengah bejibaku mendongkrak pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor UMKM.

Sejak kelahirannya pada Januari 2020 silam, lalu berjalan selama pandemi, siapa yang menyangka bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah tumbuh sampai 10 kali lipat.

Mereka adalah Ula, aplikasi marketplace Business to Business (B2B) yang dihadirkan untuk para usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ula sendiri merupakan singkatan dari ''Untung, Lancar, Aman''.

Pada tahap awal pendanaan, Ula sudah berhasil menarik investor Sequoia dan Lightspeed asal India dengan jumlah modal 10,5 juta dolar AS atau Rp148 miliar.

Selain dua nama ventura tersebut, investor lain yang tercatat memberikan pendanaan awal kepada Ula antara lain SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Diketahui terdapat beberapa angel investor juga yang berpartisipasi dalam pendanaan itu.

Untuk diketahui, angel investoradalah individu dengan kekayaan bersih yang tinggi, yang memberikan dukungan berupa dana keuangan untuk perusahaan rintisan atau seorang pengusaha. Dana yang diberikan ini merupakan investasi yang bersifat satu kali saja.

Tujuannya untuk membantu para perusahaan rintisan atau pebisnis keluar dari tahap awal yang sulit.

Potensi UMKM Indonesia

Warung
info gambar

Pada 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia susah memiliki 26,4 juta unit usaha mikro kecil dan usaha mikro besar. Dan 46,38 persen dari jumlah tersebut masuk dalam kategori perdagangan besar dan eceran serta reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor.

Warung masuk dalam kategori perdagangan eceran dan merupakan sistem bisnis yang paling menjangkau masyarakat di berbagai penjuru Indonesia.

Co-Founder Ula, Nipun Mehra menjelaskan bahwa ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia.

‘’Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus (sudah) mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,’’ jelasnya kepada DailySocial.

Tak heran perusahaan rintisan seperti Ula mantap merambah sektor ini. Terlebih kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PBB) membuat masyarakat juga tidak bisa melakukan aktivitas jauh dari rumah.

Warung menjadi salah satu tempat pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang membuat masyarakat tak harus berbelanja ke pasar yang cenderung ramai. Sehingga tak heran pula Ula bisa bertumbuh sangat pesat sejak kelahirannya lima bulan lalu.

Meski berkantor di Jakarta, namun Ula sampai saat ini masih berstatus private beta dan sebagian besar bisnisnya baru beroperasi di area Jawa Timur. Ke depannya, Ula sudah merencanakan untuk melebarkan sayapnya ke seluruh Indonesia dan mengembangkan kategori produk seperti pakaian dan elektronik.

Layanan Utama Ula

Ula untuk UMKM Indonesia
info gambar

Pada dasarnya Ula merupakan e-commerce marketplace yang menggabungkan teknologi, kemampuan, dan peralatan ritel modern dengan struktur biaya yang rendah dari UMKM.

Ula sendiri ingin memberikan fasilitas kepada para UMKM dengan pilihan berbagai produk dan harga yang lebih terjangkau. Bahkan menyediakan modal usaha kepada pemilik UMKM untuk meningkatkan pendapatan mereka secara keseluruhan.

Co-Founder Ula lainnya, Derry Sakti, mengungkapkan salah satu latar belakang pembuatan Ula adalah ketika melihat kondisi para pemilik UMKM yang tidak dapat bersaing karena kurang akses terhadap pengadaan barang di tengah modal usaha yang dimiliki mereka sangat terbatas.

Salah satu hal yang ia contohkan adalah fenomena warung kelontong yang terpaksa harus membeli barang dari 50 sumber yang berbeda setiap pekannya dalam jumlah besar. Hal ini biasa dilakukan mereka untuk mendapatkan harga yang lebih baik, meski kebutuhan akan barang sebenarnya tidak besar.

Melalui Ula, UMKM bisa mendapatkan kebutuhan bisnis sehari-hari. Mulai dari pengiriman dan opsi pembayaran di kemudian hari. Tujuannya agar UMKM bisa menyimpan sedikit stok barang tanpa perlu khawatir kehabisan barang.

Selama ini Ula juga memprioritaskan para pelaku bisnis atau UMKM pada sektor yang paling mendasar seperti fast moving consumer goods (FMCG) atau produk yang memiliki omset dengan cepat, biaya yang relatif rendah, serta masa simpan yang relatif singkat.

Selain sektor FMCG, Ula juga memprioritaskan para pelaku UMKM di sektor sembako. Mengingat sembako adalah kebutuhan utama masyarakat dan rantai pasokan tradisionalnya kerap terkendala.

Nantinya para pelaku UMKM dapat memasok barang secara efisien dengan harga yang diklaim lebih terjangkau. Bahkan memungkinkan mereka terhubung langsung dengan brand tertentu.

Terkait modal usaha, Derry juga menilai bahwa pendanaan UMKM pada umumnya lebih efisien hingga 8-10 persen jika dibandingkan toko ritel modern.

‘’Karena sebagian besar dari mereka merupakan usaha bebas pajak, mempekerjakan keluarga dan kebanyakan beroperasi di rumah sendiri. Namun, tidak dapat bersaing karena kurangnya akses terhadap pengadaan yang baik dan modal usaha yang terbatas,’’ jelasnya dikutip Kontan.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini