Gunakan Bahan Makanan yang Terbuang Percuma, Resto Indonesia di Jerman Jadi Idaman

Gunakan Bahan Makanan yang Terbuang Percuma, Resto Indonesia di Jerman Jadi Idaman
info gambar utama

Kawan GNFI suka buah dan sayuran? Semoga suka ya, apalagi mengonsumsi buah dan sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena banyaknya gizi yang dikandungnya. Rajin mengonsumsi buah dan sayuran secara tidak langsung juga membantu para petani – terutama petani lokal tentu saja – untuk meningkatkan pendapatan mereka.

Sayangnya, tidak semua hasil panen buah dan sayuran diloloskan begitu saja karena mesti melewati tahap penyortiran terlebih dahulu. Biasanya, sortir produk makanan seperti ini dilakukan di toko-toko modern seperti supermarket. Buah dan sayuran yang tak layak jual alias cacat secara fisik pun jadi tidak dijual dan dibuang.

Pada 2018, salah satu pegawai supermarket di Indonesia menceritakan penyortiran yang dilakukan tempat kerjanya. Dalam melakukan sortir, ada beberapa kriteria makanan yang harus dibuang. Salah satunya jika sudah berubah bentuk dan secara fisik tampilannya sudah tak layak jual, misalnya buah pisang dan mangga yang kulitnya menghitam, atau 'bonyok' di beberapa bagian. Padahal sebagian besar tampilan luarnya saja yang bagus, tetapi bagian dalamnya masih layak konsumsi.

Apel yang tidak memenuhi standar estetika menjadi tidak layak jual.
info gambar

"Ada juga beberapa item yang didiskon dulu sebelum dibuang. Kalau tak laku sampai batas yang ditentukan ya terpaksa dibuang,'' terang Cahyo dikutip dari Viva. ''Sampahnya nanti ada yang ambil. Biasanya malam sudah ada mobil truk sampah yang datang,'' katanya lagi.

Beberapa dari kita mungkin berpikir jika sampah makanan yang bersifat biodegradeable itu pasti bisa terurai secara alami, dibuat bio fuel, bio gas, atau diolah menjadi sumber energi lain. Padahal prosesnya tidak semudah itu. Proses alami yang dibutuhkan sampah makanan untuk terurai adalah 5-7 hari, tapi dengan banyaknya asupan sampah setiap harinya, proses ini tentunya membutuhkan waktu lama dan prosesnya tidak maksimal.

Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis total jumlah sampah di Indonesia yang mencapai 200 ribu ton per harinya. Sebagiannya tentu ialah buah dan sayuran yang kualitasnya tidak bagus untuk dipasarkan.

Ketatnya penyortiran ini sebelumnya sudah dilakukan negara-negara Eropa. Pada Juli 2009, ditetapkan standar aturan 26 jenis buah dan sayuran yang layak jual. Wortel yang bengkok, mentimun keriting, kentang berbintil merupakan beberapa contoh yang harus “ditendang” dari keranjang jual gerai supermarket.

Terdengar sayang ya? Beruntung beberapa tangan-tangan kreatif turun tangan terkait ini. Salah satunya dilakukan orang Indonesia bernama Cassie Sukmana yang tinggal di Jerman. Dari bahan-bahan yang tidak memenuhi standar estetika itu, Cassie menyulapnya menjadi kuliner menggugah selera lewat restoran Daur Lang miliknya.

Sadar Nilai Gizinya Sama

Upcycling adalah proses transformasi barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang lebih berguna dan seringkali bersifat lebih bagus daripada awalnya. Konsep upcylcing pada makanan pun tetap berlaku. Pada 2019, menurut penelitian mengenai pengolahan bahan makananan hasil penyortiran pasar lewat situs Future Market Insights, para pelaku usaha yang memanfaatkan bahan makanan tersebut di wilayah Amerika Utara dan Eropa bisa meraup untung 46,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 674 triliun).

Memang sungguh disayangkan beberapa buah dan sayuran disingkirkan dari pasar karena bentuknya yang jelek. Don't judge a book by it's cover, mungkin ungkapan ini pantas diberikan dalam penyortiran buah dan sayuran yang berdampak sampah berton-ton. Karena di dalam buah dan sayuran yang tampilan fisiknya tidak estetis, di dalamnya masih terkandung gizi yang baik.

Pengusaha Indonesia, Cassie Sukmana, yang berbisnis restoran di Koeln, Jerman, merasakan itu. Berhubung Cassie adalah pecinta lingkungan, ia pun tidak rela melihat sayur-sayuran atau buah-buahan yang dianggap tidak memenuhi standar estetika untuk dipasarkan di supermarket atau yang istilahnya 'tidak cantik', mendarat begitu saja di tong sampah.

''Di Jerman terkadang, buah atau sayuran di supermarket-supermarket ini harus memenuhi standar, misalkan sebuah tomat harus besarnya minimal 10 sentimeter. Dan kalau misalkan kurang dari standar itu maka mereka dibuang. Atau tomat bentuknya tidak bulat atau kentang bentuknya hati, sayang jika terbuang, jadi bahan makanan itu tetap kami olah untuk menu di restoran kami,'' kata Cassie dikutip GNFI dari DW.

''Rasa dan nilai gizinya, kan sama. Kita masak dengan memakai sayuran dan buah-buahan yang kurang cantik itu, dan kita ubah menjadi makanan yang enak dan cantik di atas piring,'' ujar Cassie yang merupakan lulusan jurusan ekonomi dari sebuah universitas di Jerman.

Ketimbang dibuang, Cassie berusaha untuk membuatnya jadi sajian makanan ala Asia khususnya Indonesia. Usaha restoran makanan ini baru ia rintis pada bulan Maret 2020.

Orang Jerman Kesengsem Gado-Gado

Terdapat lima kuliner yang menjadi identitas Indonesia dan biasa dibanggakan di luar negeri yakni rendang, nasi goreng, bakso, sate, dan gado-gado. Yang disebutkan terakhir merupakan salah satu menu andalan Cassie di restorannya.

Vera Weber, warga Koeln, salah seorang pengunjung tetap restoran itu, tidak bosan makan sepekan sekali di kedai makan milik Cassie. Berhubung Weber adalah seorang vegetaris, gado-gado yang disajikan restoran Cassie pun menjadi yang paling sering ia pesan. ''Menu mereka tiap pekan ganti-ganti. Jadi tidak bosan. Tapi yang jelas, saya selalu menanti gado-gado, saya suka,'' kata Weber.

Gado-gado di restoran milik Cassie Sukmana.
info gambar

Cassie bercerita, sejauh ini menu restorannya bisa diterima dengan baik oleh pengunjung. ''Bagi mereka, makanan-makanan Asia di sini lain dari restoran-restoran lainnya yang biasa mereka temui di Koeln. Yang pasti kita sangat terkejut kalau ternyata orang-orang Jerman yang ekstra ke mari untuk mencari makanan Indonesia,'' ucap Cassie.

Tiap pekan, menunya berganti-ganti sesuai ketersediaan produk bahan makanan. "Karena kami orang Indonesia, kita buat masakannya yang lebih Indonesia dan dicampur dengan masakan negara-negara Asia lainnya. Contohnya minggu ini, kami ada menu gado-gado, soto, dan kwetiau goreng. Sisanya dicampur masakan Cina atau Thailand, misalnya tahu dicampur dengan sayuran.”

Buka Perdana Langsung Dihantam 'Lockdown'

Sehari setelah membuka restorannya pada bulan Maret 2020, Jerman mengumumkan pembatasan keluar rumah gara-gara merebaknya wabah Covid-19. Sebuah tantangan besar bagi Cassie karena ia harus menutup usaha yang baru dibukanya.

''Berat buat kita semua. Tidak hanya buat kami tapi juga buat orang lain. Jadi, kita sudah rencana buka bulan Maret dan akhirnya kita bisa buka bulan Maret sesuai rencana, tapi sehari kemudian kita harus tutup lagi karena lockdown. Akhirnya kita tutup dan istirahat di rumah satu bulan dan buka lagi untuk take away,'' jelasnya.

Cassie Sukmana dan pasangannya mengelola Daur Lang di tengah pandemi Covid-19 di jerman.
info gambar

Kini setelah pelonggaran pembatasan, restorannya bisa kembali buka, tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan yang diwajibkan pemerintah. Para pengunjung pun sudah kembali memenuhi rumah makannya.

Daur Ulang Bakar Bekas demi Dekorasi Daur Lang

Selain menjajakan makanan, ada juga berbagai produk seperti kerajinan tangan dan lain sebagainya yang dijual di rumah makan ini. Semuanya dibuat dari bahan bekas. ''Kita menjual barang-barang upcycled. Dengan upycling concept store kita memproduksi barang-barang yang tadinya tak berharga atau kurang bermanfaat dan akhirnya proses menjadi barang baru, yang punya fungsi baru,'' tutur Cassie.

Interior dan dekorasi toko-rumah makan itu juga memakai produk bekas yang kemudian dikreasikan menjadi barang yang lebih berguna dan indah. ''Ya, kami punya banyak papan potong bekas, lalu kami jadikan rak, untuk menjual barang-barang upcycled-nya. Jadi bisa dilihat kalau misalkan ada barang lama, bisa jadi barang baru yang lebih bermanfaat. Yang tadinya mau dibuang, bisa menjadi barang yang lebih baik.''

Menurut Cassie, dalam berbisnis sangat perlu memerhatikan aspek keberlanjutan. Ia pun meyakini konsep restoran-toko daur ulang yang dikelolanya akan terus berkembang, mengingat gaya hidup yang ramah lingkungan dari hari ke hari semakin menjadi tren yang dianut oleh banyak kaum muda di Jerman.

Wah, sambil mendaur ulang bahan makanan bisa berbisnis juga. Gimana nih? Kawan GNFI mau coba nggak?


Referensi: Viva.com | DW.com | Forbes.com | Futuremarketinsights.com | Foodbankindonesia.org | Koeln.mitvergnuegen.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini