Memprediksi Indonesia yang Bakal Jadi Jawara E-Commerce Dunia

Memprediksi Indonesia yang Bakal Jadi Jawara E-Commerce Dunia
info gambar utama

Pada 2019 silam, lembaga riset asal Inggris, Merchant Machine menobatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di dunia—mencapai 78 persen pada 2018.

Angka tersebut diambil dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 100 juta pengguna dari total seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 267 juta jiwa, sesuai data tahun 2019. Angka tersebut menjadi alasan utama yang mendorong meningkatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia.

Rata-rata uang yang dibelanjakan masyarakat Indonesia di portal belanja daring diketahui mencapai 228 dollar AS atau sekitar Rp3,19 juta per orang. Tiga kategori produk yang paling banyak dibelanjakan adalah tiket pesawat dan hotel, pakaian dan alas kaki, serta kesehatan dan kecantikan.

Percaya tidak percaya, posisi China dan Amerika Serikat berada sangat jauh di bawah Indonesia. Posisi China saja ada di peringkat 10, dengan angka pertumbuhan 27 persen pada 2018.

Sedangkan negara yang menduduki peringkat kedua tercepat setelah Indonesia ditempati oleh Meksiko. Dengan angka pertumbuhan 59 persen pada 2018. Selanjutnya ada Filipina dengan angka 51 persen.

McKinsey & Co
McKinsey & Co adalah perusahaan konsultan manajemen multinasional © Piotr Swat/Shutterstock

Mengingat lagi prediksi ke belakang, sekitar 2016, saat banyak berkembangnya platform e-commerce baru di Indonesia, data dari Merchant Machine seolah mengamini prediksi McKinsey & Co.

Perusahaan konsultan itu pernah mengatakan bahwa pasar e-commerce Indonesia bisa menjadi jawara di dunia. Ternyata hal itu untuk sementara menjadi kenyataan. Meski pihak McKinsey saat itu tidak menyebutkan kapan prediksinya akan terjadi.

Pada 2016, perkembangan bisnis e-commerce belum didukung oleh penetrasi pengguna internet yang luas. Terhitung hanya 38 persen masyarakat Indonesia dari jumlah penduduk saat itu sekitar 261 juta jiwa. Artinya baru 99 juta masyarakat yang baru melek internet.

Angka tersebut bukan termasuk angka masyarakat konsumtif yang membelanjakan uangnya ke platform e-commerce.

eMarketer memperkirakan bahwa pada tahun 2016 tersebut, setidaknya baru 8,6 juta orang yang sudah berbelanja melalui internet. Angka tersebut masih dianggap meningkat jika dibandingkan tahun 2015 yang baru menjapai 7,9 juta orang.

Kala itu McKinsey juga memprediksi bahwa baru pada 2030, sedikitnya sudah ada 90 juta orang Indonesia yang akan berperilaku konsumtif dengan prediksi penetrasi pengguna internet yang lebih banyak.

Ramalan McKinsey memang benar adanya.

"Tapi, kalau ngomongin pertumbuhan, sebenarnya tidak mencerminkan potensi. Pertumbuhan itu kan cuman ngomongin snapshot data suatu waktu. Penetrasinya masih rendah."

Begitulah tanggapan Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA), Ignatius Untung, saat GNFI memaparkan data-data tersebut kepadanya pada Rabu (8/7).

Ignatius bahkan menekankan bahwa masyarakat, baik itu pemerintah, pelaku bisnis e-commerce, bahkan konsumen, diharapkan untuk tidak salah kaprah mengambil data tanpa melihat absolute number yang terjadi.

"Kalau saya punya kucing 1, terus beranak 8, kan [pertumbuhannya] 800 persen. Jadi nggak bisa cuman dilihat dari persennya, tapi harus dilihat dari berapa ke berapa,’’ pungkasnya.

Menakar Kekuatan E-Commerce Indonesia

E-Commerce Indonesia
info gambar

Kepada GNFI, Ignatius membeberkan kondisi e-commerce di Indonesia yang sejak 2015 silam menjadi perhatian para pelaku pasar. Baik di dalam negeri, regional Asia Tenggara, bahkan dunia.

Apalagi tren e-commerce hingga kini dianggap sebagai sektor yang banyak berpengaruh pada roda perekonomian Indonesia. Pasalnya, perputaran uang lewat platform ini dinilai cukup fantastis.

Bank Indonesia (BI) saja menyebutkan bahwa pada tahun 2019, jumlah transaksi e-commerceper bulannya sudah mencapai Rp11-13 triliun.

Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menunjukan bahwa keberadaan e-commerce sudah mendorong pertumbuhan ekonomi sedikitnya 0,71 persen pada 2018.

Semisal, Tokopedia yang disebutkan sebagai platform penyumbang terbesar yang berhasil mencatatkan kontribusi hingga Rp73 triliun terhadap perekonomian Indonesia pada 2018.

Sebenarnya seberapa kuat pengaruh e-commerce di Indonesia?

"Secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang pendapatan per kapitanya masih lebih rendah dibanding negara-negara maju. Artinya, barrier to entry untuk orang berusaha itu besar," jelas Ignatius.

"Contoh paling simple, di Indonesia, untuk bisa punya PT (Perusahaan Terbatas) harus punya domisilinya. Domisilinya tidak boleh di bangunan residensial, harus di bangunan komersial. Nah, bangunan komersial itu sewanya berapa mahal.’’

Menurut Ignatuius, ini menjadi hambatan. Karena mahal, orang bisa jadi coba-coba dulu, tidak punya badan hukum perusahaan.

"Kerja sampingan dulu saja, bahkan dia masih bisa kerja kantoran. Tapi sampingannya dia punya toko dan semuanya online, nggak harus [berwujud] buka toko. Sehingga biaya untuk memulai bisnis pun bisa ditekan."

"Ini akhirnya membuka kesempatan kepada banyak orang. Powerful-nya lebih ke sana," papar Ignatius.

World Bank
info gambar

Terkait pendapatan per kapita, Indonesia sebenarnya termasuk dalam kategori negara yang terus meningkat setiap tahunnya. Kabar baik terakhir, pada 1 Juli 2020, Bank Dunia secara resmi mengubah dan mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (Upper Middle Income).

Semula, Indonesia masih masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke bawah.

"Kenaikan kelas" itu terjadi karena Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia sudah berada di antara 4.046 hingga 12.535 dolar AS per tahun.

Menurut perhitungan Bank Dunia, angka PNB Indonesia sudah mencapai 4.050 dolar AS. Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, angka Produk Domestik Bruto per kapita Indonesia sepanjang tahun 2019 sudah mencapai Rp59,1 juta atau setara 4.175 dolar AS.

Karena baru masuk dalam kategori kelompok yang baru, secara urutan Indonesia masih menduduki posisi paling bawah di kelompok negara berpendapat menengah ke atas.

Cukup jauh ketinggalan dibandingkan Thailand yang PNB per kapitanya sudah di angka 7.260 dolar AS.

Omong-omong soal kekuatan e-commerce di Indonesia, Ignatius menjelaskan fenomena lain yang juga kerap tidak terlalu diperhatikan dikalangan masyarakat. Terutama para pedagang dan pebisnis yang merupakan pemain di e-commerce.

Menurut Ignatius, data-data kekuatan e-commerce tanah air, "jangan dibuat ngambang doang, tapi diajak ngejejeg tanah juga."

"Saya mau fair ya. Banyak yang ngomong bahwa e-commerce itu akan membuka kesempatan buat UMKM [usaha mikro, kecil, dan menengah]. Betul. Saya setuju. Tapi di sisi lain ini baru kesempatan, bukan jaminan bahwa mereka akan sukses," ungkapnya.

Fenomena kehadiran e-commerce diakui Ignatius sebagai bagian dari sistem ekonomi yang sempurna dan terbuka. Artinya, semua orang bisa bersaing secara terbuka, sehingga para pedagang diuntungkan dengan kondisi ini.

Namun, hal yang kerap terlewati oleh para pedagang adalah tidak hanya mereka yang memiliki akses yang luas, melainkan konsumen pun punya akses yang sama luas dengan para pedagang itu. Terutama akses untuk mendapatkan barang yang bagus.

"Analoginya begini, semakin suatu daerah jauh dari kota besar, kualitas barang yang dijual di sana relatif nggak banyak pilihan. Kasarnya barang yang nggak bagus-bagus amat pun akan dibeli," papar Ignatius.

"Sehingga, tadinya barang yang jelek jadi punya peluang, sekarang nggak punya peluang karena (konsumen) sudah punya akses ke barang yang lebih bagus sekarang."

Itu artinya, selain kesempatan bisnis yang meluas dan persaingan yang sangat terbuka, para pedagang juga dituntut untuk terus melakukan perubahan dan peningkatan kualitas barang yang mereka jajakan kepada konsumen.

Menakar Kemungkinan yang Terjadi Ketika E-Commerce Asing Masuk Indonesia

E-Commerce Dunia
info gambar

Diwartakan pada 1 Juli 2019 silam oleh CNBC Indonesia, peritel raksasa dunia, Amazon, akan masuk ke Indonesia. Tak hanya akan membangun secara online, Amazon juga dikabarkan akan membangun toko ritel versi offline.

Meski santer terdengar akan masuk ke Indonesia, Amazon diperkirakan akan masuk ke Singapura terlebih dahulu untuk selanjutnya bisa merambah pasar Asia Tenggara lainnya.

Tak hanya Amazon, e-commerce terbesar lainnya, Alibaba, juga melirik pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Bahkan Alibaba sudah mengambil langkah dengan berinvestasi senilai 1,1 miliar dolar AS atau setara Rp14,6 triliun ke Tokopedia.

"Tapi sebenarnya di Indonesia sendiri, persaingannya sudah masuk babak semifinal kalau menurut saya," pungkas Ignatius.

Dia menjelaskan bahwa dari setiap e-commerce yang ada sudah menggarap pasar Indonesia yang cukup besar. Dalam artian, sudah berlomba untuk menggaet para pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 171,17 juta jiwa.

Angka tersebut merupakan hasil olahan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia. Dari 264,16 juta penduduk di Indonesia, itu artinya sudah ada 64,8 persen masyarakat yang melek internet pada 2019.

"Nah, dari 170 juta lebih itu, berapa yang berani transaksi secara online? Nggak semua berani dan nggak semua bisa. Bisa jadi [mereka] nggak punya kartu kredit, nggak punya rekening bank. Bingung jika mau [melakukan] transaksi. Sehingga, yang sudah bertransaksi pun masih kecil.’’

‘’Itu adalah market yang sudah ready buat digarap,’’ jelas Ignatius.

GNFI pernah mengolah data soal bagaimana para pemain besar e-commerce berlomba-lomba memikat pengguna internet untuk hanya sekadar berkunjung ke laman situs web mereka (traffic). Data yang dikumpulkan dari iPrice itu akhirnya tercipta sebuah simpulan sementara.

Sampai kuartal pertama 2020, diketahui Shopee berada pada peringkat teratas dengan jumlah pengunjung 71,5 juta, disusul Tokopedia 69,8 juta, Bukalapak 37,6 juta, Lazada 24,4 juta, Blibli 17,6 juta, JD.id 6 juta, Fabelio 5,8 juta, Orami 5,6 juta, Sale Stock 4,6 juta, dan Bhinneka 4,45 juta.

Menurut Ignatius, data kunjungan itu pada akhirnya membagi mereka ke dalam tiga grup besar. Grup terbesar adalah e-commerce yang menduduki peringkat tertinggi satu sampai tiga.

Jika berdasarkan data yang GNFI himpun, maka peringkat tiga teratas diduduki oleh Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

"Nah, artinya apa? Artinya persaingannya sudah masuk babak semi final. Juara satu, dua, tiganya sudah kelihatan. Tinggal bergantian [posisi] antara ketiga itu. [Yang] nomor empat dan lima mau nyodok itu butuh effort yang besar banget. Apalagi yang sisanya," jelasnya.

Menurut Ignatius, bagi pemain e-commerce baru—terutama pemain asing yang hendak masuk Indonesia—mau tidak mau mereka akan masuk ke dalam market dengan persaingan yang ketat, yaitu menghadapi tiga semifinalis tersebut.

"Untuk ngejar, ya masih bisa ngejar, tapi effort-nya luar biasa gede dan butuh waktu yang luar biasa panjang. Si nomor satu, dua, tiga, ini begitu dikejar, dia akan lari lebih kencang. Jadi tidak semudah itu untuk menggeser posisi satu, dua, tiga," katanya.

Satu-satunya hal yang paling mungkin dilakukan oleh para e-commerce itu, menurut Ignatius adalah, "mengakuisisi tiga besar atau paling nggak lima besar."

"Lebih gampang lagi kalau (sudah) IPO. Nanti semua beli sahamnya, diborong. Beres, kan? Jadi mayoritas. Kalau sudah jadi perusahaan publik, perusahaan tidak bisa nolak siapa yang mau beli dia."

Soal Tingkat Rawan Cybercrime dan Peluang Ekspansi

Cybercrime
info gambar

Pada 2019 silam, upaya pencurian data konsumen pernah menimpa e-commerce Bukalapak dan Lazada. Tahun 2020, giliran Tokopedia yang merasakan insiden itu. Sebanyak 91 juta data pelanggan e-commerce ini dijual di dark web dan bisa diunduh bebas di internet.

Sang peretas Tokopedia rupanya mengincar data pengguna Bhinneka sebagai sasarannya. Tidak sebanyak Tokopedia memang, hanya 1,2 juta data pengguna yang bocor, tapi justru e-commerce yang belum terlalu besar inilah yang menjadi sasaran paling empuk dan paling mudah untuk dibobol.

Riset IBM menunjukkan bahwa serangan siber (cybercrime) secara global kala itu melonjak sampai 6.000 persen sepanjang kuartal pertama 2020. Indonesia adalah negara yang tidak bisa mengelak akan kondisi tersebut.

Pasalnya korporasi utama yang diincar para peretas (hacker) di Indonesia adalah e-commerce. Apalagi setelah melihat penetrasi pengguna internet yang melakukan transaksi daring di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar dan terbanyak di dunia.

"Secara logic," aku Ignatius, "Indonesia tingkat kerawanannya di atas rata-rata. Kalau cybercrime itu kira-kira mau nggak sih ngebobol yang penggunanya sedikit? Nah, dari situ Indonesia sudah 'mumpuni' jadi sasaran."

Selanjutnya, berbicara soal keamanan siber (cyber security) adalah berbicara soal teknologi. Selama ini kemajuan teknologi komputer Indonesia, dinilai Ignatius, belum dalam tahap membentuk sebuah clear leadership.

Itu artinya, "potensinya gede untuk dihantam. Ngomongin soal teknologi yang dipakai dan supply tenaga kerjanya, jujur kita masih belum ngejar,’’ katanya.

Di satu sisi, Indonesia memang dalam keadaan beruntung dengan memiliki market sendiri yang sudah sangat besar. Kondisinya sama dengan Alibaba dan Amazon yang sudah menjadi jawara di negeri mereka sendiri.

Jika melihat kerentanan kejahatan siber yang terjadi di Indonesia, maka gambaran untuk ekspansi, diakui Ignatius, Indonesia masih membutuhkan waktu dengan perjalanan yang cukup panjang. Terutama terkait infrastruktur dan sumber daya manusia.

Ekspansi Traveloka dan Gojek menjadi awal yang baik buat Indonesia. Namun dengan begini, Ignatius memiliki harapan yang lebih, terutama menyangkut brand negara.

Indonesia sepatutnya untuk mencontoh Korea Selatan.

"Kalau kita lihat balik, 15 tahun lalu, kita mana pernah berpikir soal Korea. Orang-orang Indonesia apakah suka sama budaya Korea? Nggak kan? Tapi akhirnya mereka membangun ‘brand’nya macam-macam. Dengan musiknya masuk dulu, filmnya, dan produknya. Ketika orang Indonesia suka sama drama Korea, orang jadi lebih terbuka sama orang Korea."

Namun di satu sisi, Ignatius masih positif dan optimis, bahwa dengan atau tanpa ekspansi, Indonesia punya kesempatan untuk dalam jajaran terbesar di dunia. Mengingat market besar yang belum sepenuhnya terjamah dan tergarap oleh Indonesia.

''Mending fokus saja di sini dulu. Kalau pun ekspansi, ekspansi ke tetangga aja dulu,'' tutup Ignatius.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini