Kongres Kebudayaan Desa Bermimpi Pendidikan yang Memerdekakan Anak Indonesia

Kongres Kebudayaan Desa Bermimpi Pendidikan yang Memerdekakan Anak Indonesia
info gambar utama

Pendidikan lewat sekolah formal di Indonesia selalu mendapatkan sorotan tajam karena sifatnya kerap membebani ketimbang mengembangkan potensi anak. Belum selesai masalah itu, pendidikan di Indonesia juga terlalu berkiblat dengan Jakarta dan kota-kota besar lain dalam hal kurikulum sehingga tidak selaras dengan kehidupan anak-anak di daerah.

Begitu pula dalam hal keseragaman, para peserta didik tampak terkekang dengan tidak mampu mengekspresikan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran. Peraturan di sekolah formal yang mewajibkan harus seragam - contohnya dalam berpakaian - terkadang memberatkan siswa-siswi dari kalangan menengah ke bawah terutama di pedesaan untuk menerapkan peraturan tersebut.

Padahal, akan lebih baik kegiatan belajar harus lebih fleksibel dan tidak memberikan beban terhadap siswa. Juga jangan lupa, pola pikir "tidak belajar di sekolah formal artinya tidak belajar" harus dienyahkan, karena belajar bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Kongres Kebudayaan Desa dalam sebuah webinarnya kemudian membicarakan pendidikan yang memerdekakan bagi anak-anak khususnya mereka yang berada di luar kota-kota besar atau daerah.

Pendidikan Alternatif yang Lebih Memanusiakan

Pendidikan seharusnya memberi kesempatan murid untuk belajar, bermain, dan mengembangkan diri. Sayangnya, sekolah formal belum mampu memenuhi harapan ini. Sekolah kerap membuat anak terbebani oleh pekerjaan rumah, guru yang otoriter, hingga tekanan untuk berprestasi.

Bahkan, sekolah formal kerap dipandang belum mampu membentuk karakter seperti hormat kepada yang lebih tua, keterbukaan, hingga sikap bertanggung jawab yang kelak akan menyebabkan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Meskipun demikian, di berbagai daerah muncul kelompok-kelompok yang berusaha membangun model pendidikan alternatif yang memanusiakan. Sekolah-sekolah tersebut mencoba memperlakukan anak didik menjadi manusia yang memiliki sikap hidup, berbudi luhur, hingga menguasai keterampilan hidup.

Pendidikan jenis ini membutuhkan peran aktif orangtua dan masyarakat. Mereka tidak sekadar menitipkan anaknya di sekolah kemudian lepas tangan. Dalam salah satu sesi webinar Kongres Kebudayaan Desa, ditampilkan gagasan dan mimpi bersama lewat perbaikan pendidikan di Indonesia. Diskusi tersebut menghadirkan lima pembicara yang membahas mengenai pendidikan yang memerdekakan.

Toto Raharjo - seorang fasilitator pendidikan kerakyatan - mengajak peserta mempertanyakan apakah kita sudah bebas dan merdeka dalam dunia pendidikan? ''Pendidikan formal menguasai karena menyeragamkan. Bahkan, pengetahuan sendiri menjadi bagian penting dalam melanggengkan kekuasaan. Saat ini, kita belum merdeka. Jika dulu zaman Ki Hadjar kita menghadapi musuh Belanda yang terlihat, kini kita dijajah oleh globalisasi,'' terang Toto.

Toto menyatakan jika pendidikan formal dari Sabang sampai Merauke itu seragam. Bahkan, pendidikan yang ada kini kerap menjadi dominasi sekolah. Orang beranggapan jika sekolah pasti belajar dan orang yang tidak sekolah dianggap tidak belajar.

Keseragaman yang Mematikan Kreativitas

Pendapat serupa dikemukakan oleh Ahmad Bahruddin, ''Tidak ada satu pun sekolah dasar yang mengajak anak-anaknya mengenal konteks kehidupan di desanya, meski sekolah itu berlokasi di desa. Sekolah lewat guru-gurunya justru berkaca pada kurikulum yang ada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.''

Pendiri Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah tersebut juga menambahkan jika pendidikan formal di Indonesia tidak menumbuhkan nalar kritis termasuk terhadap persoalan ketidakadilan. Hal tersebut terjadi karena pendidikan tidak disusun berdasar konteks kehidupan.

Ahmad juga memprotes penyeragaman yang terlihat dari kewajiban memakai kaus kaki putih. Hal tersebut mengekang kreativitas dan kebebasan berpikir siswa karena terbiasa dengan menyamakan semua hal.

Murid SD di sebuah sekolah di pedesaan.
info gambar

Diskusi mengenai pendidikan tersebut menjadi bagian dari 20 seri webinar dalam Kongres Kebudayaan Desa yang menghadirkan 103 pembicara dengan berbagai latar belakang. Kongres yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 10 Juli 2020 tersebut membahas beragam tema mengenai potensi desa mulai dari kesehatan, media, keluarga, hingga perempuan.

Selain mengikuti webinar, peserta juga dapat mengirimkan paper mengenai gagasan membangun desa hingga 15 Juli 2020. Tulisan-tulisan terpilih akan dibukukan dan diserahkan secara simbolis kepada Presiden, Kemendes, dan KPK pada waktu deklarasi Arah Tatanan Indonesia Baru Dari Desa pada tanggal 15 Agustus 2020 di Istana Negara. Info lebih lanjut mengenai kongres dapat dilihat di https://kongreskebudayaandesa.id/.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini