Perang Jawa atau Perang Diponegoro (ejaan lainnya Dipanegara) pecah pada 20 Juli 1825.
Penyebab perang pecah karena adanya perseteruan antara Pangeran Diponegoro dengan Residen Belanda di Yogyakarta, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert.
Kala itu Smissaert memberi perintah agar jalan lingkar di luar kota Yogyakarta, yang melintasi daerah Tegalrejo, diperbaiki dan diperlebar.
Tujuannya ialah meningkatkan laju perdagangan sehingga pendapatan negara meningkat.
Pelebaran jalan kemudian dibangun dengan melewati tanah perkebunan dan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo.
Tidak ada komunikasi terlebih dahulu antara residen dan patih, otomatis Diponegoro murka.
Ruas jalan yang diberi pembatas lalu diganti dengan tombak oleh pengikut Diponegoro sebagai simbol perlawanan.
Smissaert yang dibantu orang dalam keraton, Danurejo IV, memberikan ultimatum bagi Diponegoro untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya.
Pada Rabu siang, 20 Juli 1825, pihak istana akhirnya turun tangan dengan mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.
Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.
Pada 21 Juli, Diponegoro tiba di Selarong yang kemudian menjadi markas dari para pengikutnya.
Referensi: Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 4 No. 2 (2019) | Peter Carey, "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)" | Wardiman Djojonegoro, "Sejarah Singkat Diponegoro"
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News