Mengenang Karya Abadi Para Sastrawan Legenda Indonesia

Mengenang Karya Abadi Para Sastrawan Legenda Indonesia
info gambar utama

Pada Minggu (19/7) lalu, Indonesia dikejutkan dengan berita berpulangnya sastrawan hebat Indonesia, yaitu Sapardi Djoko Damono. Meskipun telah tiada, tentu karya-karyanya akan terus abadi dan menjadi jejak warisan yang terus dikenang oleh banyak orang.

Selain karya dari Sapardi, melalui artikel di bawah ini akan membahas karya dari para sastrawan yang juga abadi. Hari ini, besok, dan selamanya akan terus hidup di dunia ini.

W.S Rendra

Mengenang Karya Abadi 4 Sastrawan Legenda Indonesia - WS Rendra
info gambar

Sajak Rajawali

Sebuah sangkar besi
Tidak bisa mengubah rajawali
Menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
Dan di dalam sangkar besi
Rajawali merasa pasti
Bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
Adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
Tujuh langit, tujuh rajawali
Tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
Memandang dunia
Rajawali di sangkar besi
Duduk bertapa
Mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
Yang terjadi dari keringat matahari
Tanpa kemantapan hati rajawali
Mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
Membela langit dengan setia
Dan ia akan mematuk kedua matamu
Wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

Penyair yang popular dengan julukan ‘Si Burung Merak’ ini mulai menekuni kecintaannya terhadap puisi sejak duduk di bangku SMP. Selain menulis puisi, Rendra juga menulis cerita pendek dan drama untuk kegiatan sekolah.

Puisi W.S Rendra pertama kali dipublikasikan di tahun 1952 di majalah Siasat. Dari sini, puisinya mulai sering bermunculan di berbagai majalah. Bahkan, karyanya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya Bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. W.S Rendra tutup usia pada 6 Agustus 2019 karena komplikasi penyakit yang dideritanya.

Beberapa karya dari W.S Rendra di antaranya adalah Sajak Rajawali, Sajak-Sajak Cinta, Orang Miskin, Makna Sebuah Titipan dan masih banyak lagi.

Sapardi Djoko Damono

Mengenang Karya Abadi 4 Sastrawan Legenda Indonesia - Sapardi Djoko Damono
info gambar

Hujan di bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini tutup usia pada hari Minggu (19/7) dalam usianya yang genap 80 tahun. Sapardi mulai aktif menulis sejak duduk di bangku SMP dan karyanya sering dimuat di berbagai majalah. Hingga akhirnya kecintaannya terhadap dunia menulis semakin tinggi saat ia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Sapardi juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan redaktur pada majalah Horison, Basis dan Kalam. Kontribusi besarnya bagi dunia sastra Indonesia adalah dengan merintis Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), dimana sering menyelenggarakan seminar dan peremuan para sarjana sastra.

Berbagai karya Sapardi adalah Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Akulah si Telaga, Pada Suatu Hari Nanti dan masih banyak karya indah yang dihasilkannya.

Chairil Anwar

Mengenang Karya Abadi 4 Sastrawan Legenda Indonesia - Chairil Anwar
info gambar

Aku

Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Penyair yang memiliki julukan ‘Si Binatang Jalang’ ini terkenal akan karya-karyanya dengan berbagai tema seperti pemberontakan, kematian, individualisme dan eksistensialisme. Chairil Anwar mulai menekuni dunia sastra di usia ke-19 tahun. Nama Chairil Anwar mulai dikenal banyak orang setelah puisinya yang berjudul Nisan dipublikasikan pada tahun 1942. Karya-karya Chairil dikompilasi ke dalam tiga buku, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terempas dan Yang Putus (1949) dan Tiga Menguak Takdir (1950) yang merupakan kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin serta diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Chairil tutup usia pada 28 April 1949 di usianya yang ke-26 tahun.

Beberapa karya puisi dari Chairil Anwar adalah Aku, Diponegoro, Krawang-Bekasi, Doa dan masih banyak lainnya.

Wiji Thukul

Mengenang Karya Abadi 4 Sastrawan Legenda Indonesia - Wiji Thukul
info gambar

Di bawah selimut kedamaian palsu

apa gunanya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu

Penyair yang juga merupakan aktivis buruh, Wiji Thukul, menyampaikan kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru melalui karya-karyanya. Melalui puisi yang ia ciptakan, Wiji Thukul menceritakan bagaimana mirisnya kehidupan rakyat kecil di bawah cengkeraman kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru.

Wiji Thukul dinyatakan hilang pada tahun 1998 dan hingga kini belum ditemukan keberadaannya. Berbagai karya Wiji Thukul adalah Puisi untuk Adik, Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu, Peringatan, Tanpa Judul dan lainnya.

Itulah para sastrawan legenda Indonesia dengan karya-karyanya yang abadi. Semoga bisa menginspirasi kita untuk terus berkarya dan juga menjaga karya mereka, ya.

Jika Kawan GNFI ingin membaca artikel seru dan inspiratif lainnya, silakan kunjungi youngontop.com, atau ikuti media sosial mereka di @youngontop.*

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini