Sekolah dari Rumah Diperpanjang, Bagaimana Nasib Anak Indonesia?

Sekolah dari Rumah Diperpanjang, Bagaimana Nasib Anak Indonesia?
info gambar utama

Terhitung sejak awal April 2020, pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud). Ini bisa disebut sebagai konsekuensi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia.

Hasil penelusuran GNFI menemukan, permasalahan yang dirasakan oleh peserta didik dari SD, SMP, dan SMA, ternyata bukan hanya sebatas mahalnya kuota untuk jaringan internet maupun media pembelajaran yang tak beragam.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dikutip Kompas terhadap 1.700 siswa berbagai jenjang pendidikan yang dilakukan pada 13-20 April 2020 lalu memperlihatkan bahwa 76,7 persen di antaranya mengaku tidak senang mengikuti PJJ.

Salah satu sebab yang paling sering dikatakan oleh para responden tersebut adalah pemberian tugas dari setiap mata pelajaran tanpa ada penjelasan materi dan diskusi sebelumnya. Belum lagi para siswa hanya diberi waktu yang pendek untuk menyelesaikan tugasnya.

Walhasil, tugas menumpuk pun tak terhindarkan.

Dampak lainnya pun terasa, terutama dampak terhadap fisik yang dapat membuat peserta didik kelelahan. Apalagi setelah berlama-lama fokus di depan layar gawai atau komputer saat proses PJJ berlangsung.

Untuk mereka yang menggunakan layar lebih besar seperti komputer dan komputer jinjing, PJJ sudah dirasa melelahkan. Apalagi dengan mereka yang hanya bisa memanfaatkan layar telepon genggam yang lebih kecil.

"Ih, parah. Rasanya tuh tiap mau tidur, enyut-nyutan di mata. Kayak aneh banget karena mungkin capek ya matanya lelah lihat ke layar melulu. Apalagi aku [punya tekanan] darah rendah, itu bikin aku tambah migrain, gampang capek," aku Kezia, siswi kelas 12 di Jakarta dalam siaran liputan di akun Instagram @narasinewsroom.

Psikolog Ifa Hanifah Misbach mengarahkan GNFI untuk melihat salah satu sosial eksperimen yang dilakukan oleh National Geographic untuk mengenal istilah yang menjadi tren, yaitu "Zoom Fatigue". Atau, kita terjemahkan dengan menyebutnya kelelahan menggunakan Zoom, aplikasi yang mendadak digandrungi masyarakat di tengah pandemi.

Tidak hanya berlaku pada aplikasi Zoom saja, tapi ini juga berlaku pada aplikasi interaksi virtual seperti Google Hangouts, Google Meeting, Skype, dan Google Classroom yang kerap digunakan saat PJJ.

Hasil eksperimen itu membuktikan bahwa interaksi virtual adalah kondisi yang dapat menghilangkan kesempatan untuk otak dalam memecahkan "kode" atau isyarat non-verbal yang tersirat disampaikan pada saat komunikasi antar manusia.

Secara alami, pembelajaran lewat layar ini sebenarnya bertentangan dengan visi sentral otak manusia, karena meski saat diam, sejatinya otak manusia menerima banyak stimulus, kode, dan isyarat non-verbal yang dapat memicu keaktifan otak.

Sedangkan interaksi virtual tidak memberikan kesempatan itu pada otak. Belum lagi interaksi terbatas oleh layar kecil dalam komputer. National Geographic bahkan menyebutnya taxing the brain atau membebani otak.

"Jadi, itulah kenapa dampaknya keras banget. Apalagi kalau buat anak masih sekolah. Karena screen itu (menuntut) atensi. Kamu dipaksa buat fokus," pungkas Ifa.

Apakah Itu Berlaku Untuk Anak di Wilayah "Tak Ramah" Internet dan Gawai?

Anak Indonesia
info gambar

Survei yang dilakukan oleh KPAI seperti penjabaran di awal, tampaknya hanya mengambil responden dari siswa yang berada di wilayah perkotaan atau wilayah mudah akses internet dan gawai.

Terbukti dari hasil survei tersebut bahwa 95,4 persen responden mengaku menggunakan ponsel pintar, 23,9 persen menggunakan komputer jinjing, dan 2,4 persen lainnya menggunakan komputer.

Keadaan jauh berbeda justru terjadi pada siswa yang tinggal di wilayah-wilayah yang tidak mudah mengakses jaringan internet dan angka kepemilikan gawai yang sedikit.

Yayasan sosial kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) ini memilih konsep riset yang berbeda, yaitu dengan melakukan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini digawangi oleh perwakilan forum anak dari Ende, Timor Tengah Selatan dan Sumba Timur di Nusa Tenggara timur, Bengkayang dan Kubu Raya di Kalimantan Barat, serta Jakarta Timur.

Dari hasil wawancara dan penelitian yang dimulai sejak Juni 2020 itu memperlihatkan keadaan yang sangat berbeda dengan hasil survei KPAI.

Di Sumba Timur, masa belajar dari rumah (BDR) membuat anak justru turun ke jalan dan pasar untuk berjualan sirih pinang, sayuran, dan lainnya. Ada sekitar 25-45 anak yang turun ke jalan untuk menawarkan barang dagangan mereka tanpa didampingi orang tuanya.

"Saya lihat sendiri ada anak yang dipukul karena tumpahkan ikan yang dijual kena orang. Anak itu dikatakan bodoh," kata Grace (15) salah satu peneliti anak yang didampingi WVI dalam penelitiannya.

Di Ende, Ivon (14) juga menemukan hal yang tidak jauh berbeda. Kondisi BDR justru dijadikan momen bagi para siswa yang berusia 9 tahun ke atas untuk menjadi pekerja dan membantu di kebun. Dengan imbalan upah mulai dari Rp25.000 sampai Rp50.000.

Di Bengkayang, anak-anak yang bekerja di kebun sawit rupanya diberi upah lebih besar, yaitu Rp60.000. Dan dari tiga daerah tersebut, anak-anak dipekerjakan layaknya orang dewasa. Pekerjaan dimulai pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore.

Bagi anak yang berjualan turun ke jalanan, mereka justru harus berdagang sampai malam hari agar jualannya laku.

Tadinya saya berharap hasil penelitian di Jakarta Timur tidak sama dengan yang ditemukan di tiga daerah sebelumnya. Toh daerah ibu kota seharusnya masuk dalam kategori wilayah mudah akses internet dan kepemilikan gawai.

Namun ternyata hasil penelitian kualitatif itu memperlihatkan hal yang tak jauh beda. Anak-anak di Jakarta Timur justru memilih untuk mengamen di jalanan dengan cara menjadi "manusia silver". Tak jarang dari mereka juga mengalami pelecehan di jalanan.

Dari semua hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa PJJ atau BDR justru dijadikan ajang "liburan" dan menjadi saat yang tepat untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini juga "didukung" dengan tidak adanya fasilitas pendukung bagi siswa untuk belajar maupun guru untuk mengajar.

Selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ditemukan juga bahwa motif mereka bekerja adalah didorong kemauan sendiri. Alasannya, supaya bisa membeli paket data internet dan ponsel supaya mereka bisa belajar dari rumah sesuai instruksi sekolah.

Tapi kenyataannya, setelah pulang dari berkebun dan berjualan, mereka tidak bisa membagi waktu untuk belajar karena kelelahan. Sangat disayangkan karena mereka yang kurang beruntung itu tidak punya kesempatan yang sama untuk tetap menerima pelajaran dan belajar.

Ajang Kolaborasi Guru dan Koreksi Sistem Pendidikan Indonesia

Kolaborasi Guru
info gambar

Sudah lebih dari satu semester model PJJ dilaksanakan. Kalau bukan karena situasi "darurat", baik para guru, siswa, serta orang tua tidak akan terpaksan untuk melek teknologi. Kondisi ini tentu saja menjadi salah satu dampak baik dari situasi darurat.

Di samping itu, Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga sempat mengatakan bahwa model PJJ akan jadi sesuatu yang permanen dalam konteks tren global di dunia pendidikan.

"Bukan pembelajaran jarah jauh pure saja, tapi hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi," tegas Nadiem dikutip Kompas (2/7) di tengah kesalahpahaman masyarakat akan kebijakan tersebut.

"Interaksi guru dan murid akan menjadi lebih dinamis dengan dukungan teknologi. Bukan PJJ akan diimplementasikan selamanya saat Covid-19 sudah tidak ada lagi," jelasnya lagi pada kesempatan berbeda dikutip Tempo (13/7).

Sebagai psikolog, Ifa menanggapi kritis pernyataan Nadiem tersebut, "Itu nggak empati banget karena [dalam] pembelajaran daring, selalu kelas menengah ke atas yang teruntungkan. Yang mampu beli kuota internet."

Sebagai penggiat isu pendidikan dan telah menjadi relawan Pelatih Guru sejak 2013, Ifa menyampaikan penilaiannya bahwa sistem pembelajaran daring yang dijalankan sekarang hanyalah sebuah alternatif.

"Bukan jadi yang utama sebagai penyampai konten belajar. Masih banyak cara, kok."

Salah satu cara yang Ifa jelaskan adalah kolaborasi antar guru. Ini dia sampaikan karena melihat kondisi sekolah, terutama guru-guru yang kerap mementingkan mata pelajarannya masing-masing sehingga ada miskonsepsi yang menunjukkan bahwa PJJ hanya sekadar memindahkan tugas ke dalam bentuk digital.

"Seharusnya pembelajaran itu memberi tugas yang kontekstual dan bermakna buat siswa. Kenapa ya guru-guru ini ngga kolaborasi lintas mata pelajaran? Tugasnya (untuk siswa) jadi nggak usah banyak."

Situasi pandemi Covid-19 ini seharusnya dimanfaatkan oleh para guru, ungkap Ifa. Pasalnya, selama PJJ diberlakukan, Kemendikbud tidak akan menuntut kewajiban menuntaskan kurikulum. Semua penilaian diserahkan kepada guru sebagai bahan pertimbangan kenaikan kelas maupun kelulusan.

"Utamakan well being anak. Itu kata kuncinya,’’ kata Ifa, ‘’Jadi gali skill anak yang paling penting. [Salah satunya] living skill. Bagaimana mereka bertahan dengan cara kreatif dan mandiri. Mereka sangat punya ruang sumber belajar yang banyak dan bisa menentukan jam belajar kapan pun.’’

Kreativitas Anak Indonesia
info gambar

Pada intinya, hak anak atau siswa tetap bisa terpenuhi dengan tetap merangsang kreativitas mereka selama di rumah dengan muatan yang sarat makna pembelajaran. Toh, guru seharusnya bisa bergerak lebih luwes dengan cara melakukan kolaborasi untuk mempermudah dan meringankan anak dalam menangkap materi pembelajaran.

Ifa tak menafikan bahwa sistem kolaborasi dalam dunia pendidikan kini, terutama di sekolah-sekolah negeri, tidak dijadikan suatu tradisi yang biasa dilakukan. Maka dari itu, Ifa tak mau serta merta menyalahkan atau menyudutkan para guru.

"Kuncinya di kepemimpinan kepala sekolah. Kalau kepala sekolahnya nggak ngerti, yang terjadi akhirnya guru nggak punya arah. Mereka [guru] nggak pernah punya keterampilan untuk membuat desain pembelajaran yang bermakna.’’

"Tahunya cuman ngajar, ngasih tugas, submit, nilai. Jadi potensi dan keunikan anak tidak tergali," pungkasnya.

Dalam webinar Dinas Pendidikan Jawa Barat yang GNFI ikuti, bertajuk "Bincang Kepala Sekolah, Strategi Mengelola PJJ Bermakna: Sekolah Punya Praktik Baik Apa yang Sudah Dilakukan?" pada 25/07 silam, GNFI menemukan beberapa contoh praktik baik yang berhasil diimplementasikan oleh beberapa kepala sekolah di Jawa Barat.

Praktik baik tersebut dinilai telah berhasil membentuk pembelajaran yang efektif yang terjadi antara siswa, guru, wali kelas, dan orang tua. Meski belum maksimal dan masih terus dalam proses pengembangan dan pengkajian, sistem kolaborasi ini mulai terbentuk dan sudah terbukti mampu mengurangi "beban" tugas yang sebelumnya pernah dikeluhkan oleh para siswa.

Seperti yang dilakukan oleh Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Ida Yuniarti Surtika.

Sebagai sekolah kejuruan berbasis pertanian yang butuh banyak praktik dalam pembelajaran, pihaknya menggunakan blocking system pada mata pelajaran. Sistem ini dilakukan dengan cara melakukan pengelompokan mata pelajaran sesuai pemetaan kompetensi dasar yang harus tersampaikan kepada siswa.

Pengelompokan itu dibagi menjadi tiga yaitu muatan nasional, muatan kewilayahan, dan muatan peminatan kejurusan. Pada praktiknya, akan ada kolaborasi antar guru sehingga setidaknya ada empat sampai lima guru mata pelajaran untuk mendapatkan dasar penilaian akhir untuk siswanya.

"Mengapa harus pakai blocking system, karena di SMK ada metode pembelajaran berbasis industri sehingga materi yang disampaikan harus terintegrasi dengan yang diharapkan oleh industri," ungkap Ida.

Cara yang sama ternyata dilakukan juga oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, Suhendiana Noor.

Untuk mendukung kolaborasi antar guru, pihaknya telah memberikan pelatihan intensif mengenai learning management system kepada para guru. Bahkan untuk mendukung proses tersebut, pihaknya juga telah menyiapkan studio webinar bagi para guru.

Peran orang tua pun tak bisa dilepaskan. Suhe mengaku selama dua bulan terakhir, pihaknya juga telah mengadakan webinar dengan orang tua secara rutin dua pekan sekali.

Terkait dengan media sarana dan prasarana, dua kepala sekolah ini kompak memberikan dorongan dengan cara mengeluarkan sarana Pinjam-Pakai berupa tablet gawai milik sekolah kepada siswa, guru, bahkan orang tua yang memang membutuhkan.

Sehingga akan terbentuk dorongan motivasi yang sama baik untuk guru, orang tua, dan para siswa.

Dari semua hal yang telah dilakukan oleh kepala sekolah di tengah pandemi seperti saat ini, Ifa menilai ini juga sebagai ladang untuk para pendidik mengoreksi sistem pendidikan yang selama ini tidak pernah mendorong kolaborasi.

"Ini waktunya! Bukan untuk saling menyalahkan."

Bagaimana nasib mereka di pedesaan?

Ifa lagi-lagi menegaskan bahwa guru sangat memegang peran penting. Kolaborasi guru menjadi satu-satunya jawaban yang paling mungkin dilakukan di daerah-daerah blank spot.

"Tetap kemandirian belajar kuncinya. Terlepas anak itu beruntung apa tidak, kemandirian, living skill, keterampilan hidup tidak boleh lepas."

"Alam semesta ini gede. Bisa jadi sumber belajar dan sekolah yang besar," kata Ifa.

Maksud Ifa adalah konten pembelajaran bisa tergantikan dengan apa saja, namun hal yang tidak bisa tergantikan adalah peran guru.

"Teaching is art. Kadang-kadang saya nggak suka kimia, tapi saya ngefans banget sama gurunya. Menerangkan [pelajarannya] enak banget. Jadi pembelajaran dimulai, ketika hati tersentuh. Bukan ketika pikiran atau kognitif tersentuh," jelasnya.

Tri Sentra Pendidikan

Ki Hajar Dewantara
info gambar

Seseorang yang dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Indonesia ini sebenarnya sudah tahu apa yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam hal pembangunan pendidikan nasional. Selain istilah Panca Dharma, Kon-3, Ki Hajar Dewantara juga mengenalkan soal Tri Sentra Pendidikan.

Jauh sebelum kondisi darurat seperti pandemi tahun 2020, beliau sesungguhnya sudah menjelaskan soal arti kolaborasi dalam hal pembangunan pendidikan nasional. Beliau menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Setiap lingkungan memiliki perannya masing-masing yang sama-sama penting dalam memengaruhi pembentukan karakter dan kepribadian anak.

Di satu sisi, banyak orang tua yang mengeluhkan tentang kondisi adaptasi pembelajaran baru seperti sekarang. Ini membuktikan bahwa beberapa dari mereka tanpa sadar bahwa orang tua memiliki peran yang sama pentingnya seperti guru di sekolah.

Kondisi pandemi ini menjadi ajang pembuktiannya.

Di sisi lain, menurut Ifa, sejatinya momen ini menjadi ajang introspeksi dan koreksi terhadap sistem pendidikan yang ternyata tidak seutuhnya memenuhi amanat Ki Hajar Dewantara.

Selama terjun menjadi relawan Pelatih Guru, Ifa kerap menemukan kondisi bahwa para guru justru terbelenggu dengan suatu sistem ‘’kepatuhan’’ yang membuat mereka tidak bebas mengeksplorasi sistem belajar untuk anak.

"Pertanyaan guru sekolah negeri selalu khas. Mereka selalu bertanya, 'Ini boleh apa tidak?'. Bukan bertanya 'Ini bisa apa tidak?'. Saking terbelenggu harus compliance, harus patuh," ungkapnya.

Begitu pula dengan orang tua. Sampai kini Ifa masih mengacu bahwa pendidikan karakter yang pertama dan utama berasal dari ayah dan ibu. Mengapa jadi yang pertama? Ifa menjelaskan contoh kecil.

"Sejak dalam kandungan, itu sudah terjadi proses pendidikan. Ketika anak [dalam kandungan] menendang, ibu berkomunikasi. Bukan diomelin kan perutnya?" kata Ifa sambil tergelak.

Namun, Ifa juga tidak menafikan bahwa orang tua tidak punya basis mengajar. Itulah pentingnya kolaborasi yang Ifa anggap menjadi salah satu hal paling tepat dan paling efektif untuk memenuhi hak anak akan pendidikan.

"Orang tua harus menjadi mitra guru yang juga harus memfasilitasi kemandirian," tutup Ifa.

--

Sumber: Kompas | Narasi News Room | National Geographic | Wahana Visi Indonesia | Tempo | The Conversation

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini