Kisah Perang Besar Menentang Pajak Hewan Kurban oleh Belanda

Kisah Perang Besar Menentang Pajak Hewan Kurban oleh Belanda
info gambar utama

Sejak tahun 1620 pada masa kesultanan yang dipegang oleh Ruma ta Ma Bata Batu, agama Islam sudah menjadi agama kerajaan atau Kesultanan Bima untuk menggantikan ajaran Hindu. Sistem pemerintahan Islam otomatis menjadi sistem pemerintahan yang harus dijalankan oleh kesultanan kala itu.

Hingga akhirnya Belanda datang ke Nusantara dan berusaha ingin merebut wilayah Nusa Tenggara dari tangan Kesultanan Bima. Alasannya tidak lain adalah ingin menguasai jalur perdagangan di bagian timur Nusantara.

Sejak awal, tindakan Belanda untuk merebut kekuasaan sudah memancing terjadinya perlawanan rakyat Bima.

Meski sudah melakukan berbagai perlawanan, Belanda justru mengambil jalan ‘’damai’’ dengan melakukan berbagai perjanjian kepada Sultan Bima, alih-alih perjanjian yang akan sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Bagi pihak Kesultanan Bima, mereka diberikan kebebasan untuk menjalankan pemerintahannya sendiri (zelfbestuur), yaitu menjalankan sistem pemerintahan Islam.

Sejak saat itu Sultan Bima terus menjalankan pemerintahan Islam didampingi dewan yang disebut Wazir Al-Muazam dan Dewan Syariat Islam. Tugas Wazir mirip dengan perdana menteri, yaitu menyampaikan kehendak sultan kepada rakyatnya.

Sedangkan Dewan Syariat Islam atau disebut Sara Dana Mbojo, terdiri atas beberapa jabatan seperti khalif, imam, khatib, lebe, bilal, dan rabo. Kepada mereka, Sultan Bima kerap berkonsultasi mengenai penerapan hukum Islam di wilayahnya.

Sikap Keterlaluan Belanda

Masa Kolonial Belanda
info gambar

Dikisahkan Historia mengutip hasil penelitian Lalu Wacana, dkk, berjudul Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat, tahun 1908 terjadi pembaharuan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bima. Kala itu kesultanan sedang di bawah kepemimpinan Sultan Ibrahim.

Dan isi perjanjiannya adalah pengakuan Sultan Ibrahim atas kedaulatan Belanda di wilayah Nusa Tenggara Barat, serta perjanjian untuk tidak melakukan kontak langsung dengan orang-orang kulit putih lain selain Belanda. Perjanjian tersebut juga otomatis dengan kesediaan Kesultanan Bima untuk memberi bantuan kapanpun dibutuhkan pihak Belanda.

Sebagai gantinya, pemerintah Belanda akan tetap menghormati adat-istiadat Kesultanan Bima yang berhubungan dengan peringatan Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Melihat perjanjian yang ‘’tampak’’ menguntungkan bagi kedaulatan pemerintahan Kesultanan Bima yang menjalankan prinsip Islam, Sultan Ibrahim pun menandatangani perjanjian tersebut.

Geliat Belanda yang dipandang penuh kecurigaan itu sempat memicu pemberontakan kecil di dalam kesultanan. Seperti para bangsawan Bima yang keluar dari wilayah kesultanan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap Sultan Ibrahim.

Benar saja. Belum lama perjanjian itu disahkan, pemerintah Belanda malah mengingkari perjanjian tersebut. Mereka menarik berbagai macam jenis pajak kepada rakyat, dimulai dari pajak tanah, pajak kepala, dan pajak hewan.

Termasuk pajak hewan untuk kebutuhan ritual kurban Idul Adha yang dibebankan kepada perseorangan. Jika tidak membayar pada waktu tertentu, maka hewan milik rakyat akan dirampas sebagai bayaran, bahkan sampai dimusnahkan.

Besaran pajak pemotongan hewan kurban kala itu bervariatif dan semua berdasarkan nilai gulden (mata uang Belanda) dengan rata-rata besarannya berkisar antara ½ sampai 2 gulden.

Rakyat Bima yang secara turun-temurun mengikuti perundang-undangan berdasarkan hukum Islam tentu tidak mau menerima dan menentang perundang-undangan baru yang didasarkan perundang-undangan hukum Hindia belanda. Kala itu rakyat yang disadarkan oleh bangsawan yang keluar dari kesultanan untuk mulai berkumpul dan menyatukan suara untuk pertanggungjawaban Sultan Ibrahim.

Perang Besar pun Pecah

Istana Kesultanan Bima
info gambar

Melihat tuntutan para rakyat dan para mantan bangsawannya, Sultan Ibrahim malah memandang ini sebagai pemberontakan. Sang Sultan bahkan mengadukan ini kepada pemerintahan Belanda yang membuat situasi panas tak terhindarkan.

Hingga akhirnya Belanda mengirimkan bala bantuan dari Batavia ke Bima untuk menghadapi situasi tersebut. Begitu pun dengan rakyat dan para bangsawan, demi menjalankan syariat Islam dan menentang peraturan Belanda, rakyat pun berkumpul. Perang besar pun tidak dapat dihindari.

Perang itu berlangsung di Ngali, salah satu desa di Kecamatan Belo, sebelah tenggara teluk Bima. Alih-alih perang untuk melawan Belanda, rakyat Ngali justru ingin mengembalikan kewibawaan sultan. Terutama terkait utusan-utusan sultan yang sudah banyak dipengaruhi oleh Belanda.

Sikap yang dianggap pemberontakan rakyat itu terus menyulut emosi Belanda, sehingga mereka menyiapkan lebih dari 1000 pasukan yang disiapkan untuk menghadang rakyat ‘’pemberontak’’ baik dari darat maupun laut.

Melihat adanya perbedaan jumlah, rakyat Ngali justru tidak kecil nyali. Selama tiga hari tiga malam mereka menggemakan takbir berkeliling desa tanda dimulainya perang melawan pemerintah Belanda, bukan melawan kesultanan.

‘’Takbir dan tahlil inilah yang mereka pakai untuk mengorbankan semangat rakyat yang sudah meluap-luap menanti kedatangan serangan Belanda. Mereka bertekad untuk mati syahid di jalan Allah SWT,’’ tulis Wacana dalam hasil penelitiannya yang dilansir Historia.

Sayang, kekuatan Belanda terlalu besar saat itu. Apalagi mereka juga disokong oleh pasukan dari kerajaan di Sulawesi yang membuat kekuatan semakin tidak berimbang. Pertahanan rakyat Nyali tembus dan perlawanan terhenti.

Para pimpinan pemberontakan dibawa ke hadapan sultan dan masing-masing dijatuhi hukuman, termasuk wajib membayar denda sebanyak 70 ekor kerbau jantan.

Belanda Akhirnya Hapus Aturan

Pajak Kurban Dihapuskan
info gambar

Diketahui pemerintah Belanda baru menghapus aturan pajak hewan kurban pada 29 April 1938. Penghapusan aturan ini tidak lepas dari sikap Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang mempertahankan untuk dihapusnya aturan tersebut.

Seperti yang dilakukan NU di Banjarmasin untuk meminta Belanda menghilangkan aturan tersebut yang pada akhirnya dikabulkan. Meski begitu, bagi siapapun yang akan melakukan penyembelihan hewan kurban harus dilengkapi dengan surat keterangan dari Bestuur (pemerintah daerah Banjarmasin di era kolonial).

Perwakilan dari Bestuur pun harus hadir dalam proses penyembelihan untuk memastikan bahwa hewan yang disembelih memang untuk kepentingan ibadah kurban.

Sedangkan di Jawa, usaha menghapuskan aturan pajak hewan kurban dilakukan oleh Muhammadiyah bersama Majelis Islam A’la Indonesia kala itu. Surat penolakan itu dimunculkan melalui kongres pada 26 Februari – 1 Maret 1938 di Surabaya.

Pada tahun yang sama, tahun 1938, tuntutan itu berhasil dikabulkan Belanda.

--

Sumber: Republika | Kumparan | Historia | Medcom.id

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini