Jangan Terulang Kasus Sipadan-Ligitan, Ini Pentingnya Kedaulatan Rupiah di Perbatasan

Jangan Terulang Kasus Sipadan-Ligitan, Ini Pentingnya Kedaulatan Rupiah di Perbatasan
info gambar utama

Indonesia boleh jadi menyesal ketika dinyatakan "kalah" di depan Mahkamah Internasional dalam klaim Pulau Sipadan dan Ligitan.

Berbagai upaya sudah Indonesia lalui untuk mempertahankan kedua pulai itu.

Dimulai dari negosiasi intensif yang dilakukan mulai tahun 1994 sampai 1996, sampai akhirnya digelar pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, di Yogyakarta pada Juni 1998.

Upaya-upaya tersebut nyatanya selalu menemui jalan buntu. Akhirnya Presiden Soeharto dan PM Mahathir sepakat membawa kasus sengketa ini ke pihak ketiga, yaitu ke Mahkamah Internasional.

Saling Klaim Sipadan-Ligitan

Sengketa Indonesia dan Malaysia
info gambar

Perebutan dan sengketa dua pulau yang berada di wilayah Selat Makasar dan Laut Sulawesi ini sudah mencuat pada 1967. Perselisihan dimulai kala kedua negara dalam pertemuan teknis hukum laut saling memasukkan Sipadan dan Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.

Hanya saja Indonesia dan Malaysia masing-masing menyatakan Sipadan dan Ligitan dalam keadaan status quo dengan pengertian yang berbeda.

Malaysia sudah membangun resor pariwisata baru di sana yang dikelola oleh pihak swasta, sedangkan Indonesia tak terima dengan sikap Malaysia lantaran pengartian status quo itu bukan berarti negara berhak menempati atau menduduki wilayah tersebut sampai persoalan atas kepemilikan selesai.

Indonesia sadar bahwa pihaknya memposisikan diri sebagai yang mempersengketakan wilayah, sehingga harus bersikap adil. Namun, tak ayal pihak Indonesia geram lantaran Malaysia malah semakin menambah jumlah penginapan di pulau Sipadan dan secara sepihak pada 1969 telah memasukan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Indonesia sendiri mengklaim Sipadan-Ligitan atas dasar dua hal.

Pertama, kedaulatan Indonesia atas dua pulau tersebut sudah diperoleh berdasarkan Konvensi 20 Juni 1891 antara Inggris dan Belanda. Konvensi ini mengatur penetapan batas di Pulau Kalimantan antara Belanda dan negara-negara di Pulau Kalimantan yang berada di bawah perlindungan atau kekuasaan Inggris.

Dalam Konvensi 1891 itu salah satu poinnya menyatakan bahwa garis 4˚10’ LU batas Indonesia—atau kawasan kekuasaan Belanda kala itu—tidak hanya sampai di Pulau Sebatik, melainkan harus diteruskan ke arah timur.

Argumentasi itu pada akhirnya membuat klaim bahwa pulau-pulau di sisi selatan garis menjadi milik Belanda, sedangkan sisi utara garis menjadi milik Inggris. Dengan begitu, Sipadan-Ligitan yang memang berada di sisi selatan garis seharusnya menjadi milik Belanda.

Kedua, Indonesia juga memiliki bukti yang disebut effective occupation yang diajukan kepada Mahkamah Internasional bahwa patroli Angkatan Laut Belanda sudah melakukan aktivitasnya sejak 1921.

Setelah Indonesia merdeka, pihak Indonesia juga memiliki bukti bahwa TNI Angkatan Laut juga masih kerap melakukan aktivitas di dua pulau tersebut.

Menanggapi bukti effective occupation itu, Malaysia pun tak mau kalah. Malaysia juga memberikan bukti-bukti berupa penguasaan dan pengelolaan penyu yang dimulai dari pengambilan telur penyu oleh Inggris.

Selain itu, Malaysia juga melampirkan pembentukan wilayah suaka burung di Sipadan pada 1933 serta bukti pembangunan mercusuar di Sipadan-Ligitan oleh otoritas kolonial Inggris melalui British North Borneo pada 1960.

Setelah merdeka, mercusuar itu diketahui dirawat secara berkala oleh Pemerintah Malaysia.

Keputusan Mahkamah Internasional yang Memenangkan Sipadan-Ligitan

Mahkamah Internasional
info gambar

Mahkamah Internasional pada akhirnya fokus pada analisis terhadap klaim bukti effective occupation yang disodorkan kedua negara. Kesimpulannya, Mahkamah Internasional menilai klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibanding klaim yang diajukan oleh Indonesia.

Palu sidang pun diketok. Keputusan tertanggal 17 Desember 2002 membuat Indonesia harus rela kehilangan Sipadan-Ligitan untuk menjadi "milik" Malaysia.

Selain karena bukti effective occupation dari Malaysia yang lebih kuat, salah satu hal terpenting yang harus menjadi catatan adalah karena Sipadan-Ligitan sudah sejak lama menggunakan mata uang ringgit dalam setiap transaksi ekonomi di dalamnya. Bukan menggunakan rupiah.

Jelas sudah Indonesia tidak punya kedaulatan di sana. Terutama terkait kedaulatan secara ekonomi.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa penggunaan uang ringgit di Sipadan-Ligitan sudah menunjukan bahwa secara de facto, Malaysia yang menguasai dua pulau tersebut.

"Berarti yang punya bukti bahwa pengelolaan ekonominya sudah berjalan disitu adalah Malaysia. Salah satu buktinya adalah mata uang yang digunakan," ungkap Piter kepada GNFI (30/7).

Ringgit yang Terus Mengalir di Sipadan

Ringgit Malaysia di Perbatasan
info gambar

Mahkamah Internasional butuh waktu sampai lima tahun untuk memutuskan siapa yang berhak atas kedaulatan di Sipadan-Ligitan.

Selama masa pertimbangan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, kegiatan di Pulau Sipadan kala itu terus berjalan seperti biasa. Kegiatan yang membuat Malaysia terus mengeruk keuntungan dari para wisatawan di sana.

Tak heran jika para wisatawan mengantre untuk mengunjungi pulau ini. Pasir putih dengan air laut sebening kaca membuat siapa pun bisa melihat berbagai macam terumbu karang dan hewan laut di sana meski dengan mata telanjang.

Diketahui lebih dari 3.000 jenis spesies hewan laut dapat ditemukan di sini, seperti Penyu Agar, Penyu Karah, Ikan Alu-Alu (Barakuda), dan Ikan Selar. Jika beruntung, para wisatawan akan menemukan Ikan Selar membentuk formasi seperti pusaran angin.

"Saya tak peduli, saya cuma pelancong," kata salah satu wisatawan Hong Kong bernama Steven Cho saat Tempo melakukan reportase ke Pulau Sipadan pada 2002 lalu.

Sedikitnya Malaysia sudah membangun beberapa resor dengan kapasitas 110 kamar dan kala itu sedang membangun 20 pondok baru. Pembangunan itu seolah menunjukan bahwa Malaysia yakin persengketaan akan dimenangkan kepada Malaysia.

Tempo pernah merinci aliran ringgit di sana dengan kurs yang berlaku saat itu adalah Rp2.500 per ringgit Malaysia.

Tarif resor paling murah di sana adalah 300 ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp750 ribu untuk semalam, sedangkan tarif termahal sekitar RM700 atau setara Rp1,75 juta per malam.

Untuk wisatawan yang ingin menyelam atau menyewa speedboat mengelilingi Sipadan maka harus menambah sekitar biaya RM50. Belum lagi soal cinderamata seperti kaus, tas, topi, dan berbagai aksesori lainnya, yang dijajakan sebagai buah tangan dari Sipadan, yang sudah diberikan gerai khusus di Bandara Kinabalu.

Setiap peringatan Tahun Baru dan Tahun Baru China, resor di Sipadan kerap penuh oleh para pelancong baik dari Malaysia maupun pelancong luar negeri. Bahkan pada 1995 beberapa wisatawan asing pernah melangsungkan pernikahan massal di sana.

Berlatar alam yang indah, kegiatan sakral itu pun mampu membuat memori indah bagi para pelancong yang datang ke Sipadan.

Tak heran, sejak 1998 sudah jutaan ringgit mengalir ke kocek pemerintah negeri jiran itu. Jadi tak heran pula jika pihak Malaysia mengeluarkan usaha dan upaya yang lebih agar Sipadan menjadi miliknya yang sah.

Saat Tempo menyiarkan hasil reportasenya pada 8 Desember 2002, semua pihak memang sedang harap-harap cemas akan hasil keputusan Mahkamah Internasional yang menjatuhkan keputusan sembilan hari kemudian.

Namun hal menarik justru ditemukan. Salah satu agen perjalanan swasta yang tak disebutkan namanya mengungkapkan hal yang mengejutkan. Dia dan beberapa agen perjalanan swasta justru berharap bahwa Mahkamah Internasional bisa memenangkan Indonesia.

"Jika Malaysia menang, pemerintah dan keluarga Mahathir akan 'memakan' habis Sipadan," katanya.

Sudah lama tercium kabar bahwa pihak pemerintah dan kerabat dekat Mahathir ingin mengelola kawasan ini secara monopoli. Namun, niat itu terganjal status kepemilikan pulau yang masih menjadi sengketa dengan Indonesia.

Jika itu terjadi, maka otomatis lapak rejeki agen perjalanan swasta di sana akan tergusur. Namun, jika Indonesia yang menang maka mereka masih punya kesempatan dengan melanjutkan operasi melalup proses pembayaran sewa.

"Ucapan tergantung pada kepentingan, rezeki tergantung pada majikan," sebuah pemeo yang menjadi penutup hasil reportase Tempo kala itu.

Namun, apakah Indonesia pada waktu itu mampu dan punya kesempatan untuk memenangkan Sipadan-Ligitan?

Penguasaan Ekonomi yang Menjadi Kuncinya

Penguasaan Ekonomi di Wilayah Perbatasan
info gambar

Piter menilai soal penggunaan mata uang asing bukan semata masalah penegakkan hukum. Salah satu kunci untuk menengakkan kewibawaan rupiah adalah memperbaiki kondisi di perbatasan yang akan menggenjot perekonomian di sana.

"Jadi penggunaan rupiah itu bergantung pada penguasaan ekonominya. Kalau secara ekonomi sudah dikuasai oleh negara tetangga, maka kecenderungannya rupiah akan tidak dipergunakan," jelasnya.

Pembangunan wilayah perbatasan yang disinggung Piter sebenarnya sudah diperjuangkan oleh pemerintah, yaitu dengan membangun 11 Pos Lintas Batas Negara (PLBN) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI.

Pembangunan ini yang sudah dimulai sejak tahun 2019 silam dengan anggaran mencapai Rp11 triliun.

11 PLBN itu berada di:

  • Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
  • Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat
  • Sei Pancang Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara
  • Long Midang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara
  • Long Nawang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur
  • Jasa-Sei, Kabupaten Sintang, Kalimantan Timur
  • Labang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
  • Oepoli, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
  • Napan, Kabupaten Timur Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur
  • Sota, Kabupaten Merauke, Papua
  • Yetetkun Distrik Waropko, Kabupaten Boven Digoel, Papua

Selain sebagai identitas bangsa dan negara, PLBN juga berfungsi sebagai fungsi pertahanan dan keamanan serta pusat pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, pada 2018, Kementerian PUPR sudah membangun tujuh PLBN Terpadu di tiga tempat yaitu di Kalimantan Barat (Entikong, Badau, dan Aruk), Nusa Tenggara Timur (Motaain, Motamassin, dan Wini), dan Papua (Skouw).

Di Entikong dan Skouw hingga kini sudah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan menjadi andalan masyarakat negeri tetangga untuk membeli berbagai macam kebutuhan. Namun, masih kerap terjadi penggunaaan mata uang asing di sana.

"Nah, apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan membangun wilayah perbatasan, saya kira nanti akan secara bertahap akan memunculkan kewibawaan dari NKRI termasuk juga kewibaan dari rupiah," pungkas Piter.

"Buat pedagangnya lebih banyak dari Indonesia sehingga mereka (warga negeri tetangga) akan bergantung kepada kita."

Pamor Rupiah di Perbatasan

Uang kina di Pasar Skouw
info gambar

Tidak seperti Sipadan-Ligitan yang harus melalui proses sengketa hingga harus ke Mahkamah Internasional, Pulau Sebatik yang telah lama menjadi bagian Indonesia rupanya masih kerap menggunakan mata uang ringgit Malaysia.

Terutama di Kabupaten Nunukan, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Perbandingan penggunaan mata uang ringgit di sana diketahui 3:7, atau sekitar 30 persen warga masyarakat di sana masih berbelanja menggunakan uang ringgit.

Belakangan Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Utara berupaya untuk mengurangi penggunaan uang ringgit di kawasan Pulau Sebatik. Salah satunya dengan menggelontorkan uang rupiah senilai Rp80 miliar ke pulau tersebut.

Kabar baiknya, upaya tersebut memperlihatkan perubahan. Terhitung sejak 2018, penggunaan mata uang ringgit di Pulau Sebatik turun hingga 10 persen.

Keadaan yang sama masih ditemukan di daerah perbatasan lainnya, seperti di Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Huku, Kalimantan Barat. Ringgit ternyata masih lebih tinggi pamor dan banyak digunakan oleh masyarakat di sana.

Salah satu penyebabnya adalah masyarakat Pulau Sebatik di perbatasan masih bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan yang dijual ke Malaysia. Perniagaan dilakukan menggunakan mata uang ringgit, lalu nantinya uang itu lalu digunakan lagi untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko yang justru berada di kawasan indonesia.

Bukan tanpa alasan mereka memilih untuk menjual hasil tani dan kebunnya di Malaysia. Masyarakat perbatasan lebih memilih menggunakan uang ringgit karena nilai tukar ringgit terhadap rupiah cukup tinggi.

Terakhir di perbatasan Papua dan Papua Nugini, tepatnya di Pasar Skouw, Jayapura. Diketahui bahwa para pedagang Pasar Skouw masih menerima mata uang kina Papua Nugini dalam transaksinya. Padahal, money changer sudah disediakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) di sana agar seluruh transaksi yang dilakukan di wilayah Indonesia dapat seutuhnya menggunakan mata uang rupiah.

Baca Juga: Transaksi Pasar Skouw Jayapura Capai Rp3 Miliar Saban Hari

Terkait nilai rupiah yang "murah" apakah redenominasi bisa jadi jawaban?

Piter tidak melihat pengaruh redenominasi terhadap perubahan nilai rupiah. Memang, secara pengertian redenominasi hanya untuk menyederhanakan nilai rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.

Meski begitu, redenominasi dinilai dapat meningkatkan kepercayaan terhadap uang rupiah dan persepsi yang lebih baik mengenai perekonomian Indonesia. Ini karena adanya peningkatan efisiensi dan penghematan signifikan dalam biaya pencetakan uang.

Rupiah Sebagai Kedaulatan Indonesia

Kedaulatan Indonesia
info gambar

"Besok, tanggal 30 Oktober 1946, adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi Tanah Air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar uang Repulik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah."

"Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri. Uang yang dikeluarkan oleh republik kita."

Itu adalah sepenggal pidato yang disampaikan Bung Hatta di Radio Republik Indonesia. Sejak saat itu setiap tanggal 30 Oktober dijadikan sebagai Hari Oeang untuk memperingati sebuah peristiwa dan upaya yang menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki mata uang sendiri dan bukan yang dibuat oleh negara yang pernah menjajahnya.

Rupiah sendiri ditetapkan sebagai mata uang kebangsaan pada 2 November 1949. Dan sejak saat itu penggunaan rupiah diwajibkan di seluruh macam transaksi di Indonesia tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa pasca kemerdekaan.

"Ini untuk menegakan kewibawaan dari rupiah. Rupiah itu adalah cerminan harkat, martabat dari sebuah bangsa dan negara. Kalau di perbatasan itu malah menggunakan mata uang asing, berarti harkat, martabat bangsa dan negara kita ini dikuasai oleh asing," jelas Piter.

Sejak rupiah beredar pertama kali, selain memiliki peran penting sebagai alat pembayaran, uang juga merupakan salah satu alat utama perekonomian.

Tak bisa dipungkiri bahwa dengan uang, perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan masyarakat yang adil dan makmur.

"Jadi pergunakanlah rupiah sesuai dengan aturan. Tetaplah bangga dengan rupiah," tutup Piter.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini