Semangat Menyala Silas Papare, Bebaskan Papua dari Kolonialisme demi Indonesia

Semangat Menyala Silas Papare, Bebaskan Papua dari Kolonialisme demi Indonesia
info gambar utama

Kawan GNFI, terdapat sejumlah pejuang Papua yang telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Sebut saja, Frans Kaisiepo, Marthen Indey, Johannes Abraham Dimara, dan Silas Papare. Keempatnya memiliki semangat nasionalisme yang sama, yakni mempersatukan Papua ke dalam bagian Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI).

Meskipun memiliki semangat yang sama, para pahlawan nasional yang sudah disebutkan sebelumnya tentu memiliki latar belakang dan kisah perjuangan yang berbeda. Kali ini GNFI lewat Minggu Pahlawan akan membahas Silas Papare, sosok yang lantang menyuarakan kemerdekaan tanah Papua dari jerat kolonialisme Belanda.

Latar Belakang Sekolah Rawat

Silas Papare lahir di Kampung Ariepi, Kabupaten Yapen Waropen, Serui, sebuah pulau sebelah utara Papua pada 18 Desember 1918 (beberapa sumber menyebut tahun 1919) . Ia adalah anak dari pasangan suami istri Musa Papare dan Dorkas Mangge. Nilai-nilai agama Kristen ditanamkan oleh keduanya pada si Silas kecil.

Berbekal nilai keagamaan lewat Zending atau misionaris yang masuk ke Irian (sebutan untuk Papua mulai tahun 40-an) plus pendidikan kejiwaan secara tradisional, Silas tumbuh menjadi pemuda yang memerhatikan kondisi tempat ia tinggal. Setelah kelar Sekolah Desa (Volkschool) dan menyudahi kehidupan bertani selama setahun, orang tuanya menyarankan Silas melanjutkan sekolah agar menjadi pegawai negara (pamong praja).

Silas Papare.
info gambar

Pada saat itu daerah Serui sangatlah memprihatinkan karena banyaknya mewabahnya penyakit malaria, pes, dan kolera. Melihat kondisi ini Silas pun memutuskan masuk ke sekolah juru rawat di Serui pada 1931.

Silas menempuh pendidikan juru rawat selama tiga tahun, alhasil ia mempunyai keahlian pembedahan ringan serta merawat pasien seperlunya. Pada masa itu di Serui masih jarang perawat, sehingga keahlian Silas sangat dibutuhkan orang-orang Serui maupun Belanda. Lulus dari sekolah juru rawat pada tahun 1935, Silas lalu bekerja di rumah sakit di Serui selama 3 tahun.

Menjadi Mata-Mata untuk Mengusir Jepang

Militer Jepang masuk ke wilayah Indonesia - saat itu Hindia Belanda - pada 1942. Selama Jepang menduduki daerah Irian/Papua Barat, rakyat melakukan perlawanan dengan senjata yang sederhana seperti parang dan panah. Misalnya, perlawanan terbuka terjadi bulan Oktober 1942, di pantai Manswan, Biak Selatan, dengan korban sangat besar di pihak rakyat. Mereka yang selamat meneruskan perlawanan dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengganggu kegiatan Jepang.

Silas Papare turut andil ketika mengenyahkan militer Jepang dari Irian. Pada tahun 1944, ia direkrut oleh Amerika Serikat untuk menjadi mata-mata untuk misi tersebut.

''Saya berenang ke pesawat dan diberi seragam tentara Amerika dan beberapa saat kemudian kami terbang menuju tempat yang belum saya ketahui. Setelah tiga seperempat jam di udara saya melihat barisan kapal-kapal perang di lautan dan kapal terbang di udara. Kami mendarat di lapangan udara Sentani pukul 09.30,'' kata Papare menerangkan tugasnya sebagai mata-mata dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare. Atas usaha bersama tentara sekutu, Irian merdeka lebih dulu dibandingkan Jawa.

Potret Silas Papare pada 1949.
info gambar

Sumbangan besar Silas telah dihargai melalui pemberian Bintang Perunggu dari Ratu Belanda, Wilhelmina, pada 5 April 1945. Penghargaan juga diberikan oleh Biro Intelijen Tentara Sekutu, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal G.A. Willongby, 31 Oktober 1945, berkat jasa-jasanya dalam membantu Sekutu melawan Jepang.

Sayangnya setelah Jepang kalah pada Perang dunia ke-2, Belanda kembali mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Karena tidak menyukai Belanda, Silas kembali lagi ke Serui dan bekerja di rumah sakit.

Benih Nasionalisme Tumbuh Saat Kemerdekaan

Ketika mendengar Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, Silas segera keluar dari pekerjaannya dan mengadakan perlawanan kepada Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.

Rasa nasionalisme Silas memang sudah tumbuh ketika bekerja di rumah sakit di mana statusnya saat itu ialah pegawai pemerintah Belanda. Selama menjadi pegawai pemerintah Belanda, ia disekolahkan di Sekolah Pegawai Pemerintah Belanda.

Di sekolah itu Silas bertemu Soegoro Atmoprasodjo yang bertugas menjadi direktur sekolah dan merupakan aktivis Taman Siswa. Berperan sebagai pengajar dan direktur asrama Sekolah Pamong Praja, Soegoro membentuk tokoh-tokoh lokal terdidik dan elite pertama Papua salah satunya tentu Silas Papare.

''Menurut Corinus Krey, Soegoro adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa,'' tulis Bernarda Materay dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua.

Cara Soegoro menanamkan nasionalisme Indonesia kepada para siswanya di antaranya memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan membentuk kelompok diskusi politik. Diskusi-diskusi yang digelar olehnya juga berhasil meyakinkan siswa-siswanya untuk meyakinkan mereka adalah bagian dari Indonesia yang memiliki banyak suku dan budaya.

Patung dr. Sam Ratulangi di kota Serui.
info gambar

Tak hanya dari Soegoro, tetapi rasa nasionalisme juga tumbuh ketika dimentori dr. Sam Ratulangi.

Hal itu bermula pada Desember 1945, Silas bersama teman-temannya berusaha memengaruhi pemuda-pemuda Irian Barat yang tergabung dalam Batalion Papua untuk melancarkan pemberontakan.Rencana tersebut gagal karena bocornya informasi. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Jayapura.

Saat menjalani masa tahanan di Jayapura, Silas Papare berkenalan dengan dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda di tempat tersebut. Perkenalan Silas dengan Sam Ratulangi membuatnya semakin yakin bahwa Irian harus bebas dan bergabung dengan NKRI. Dengan keyakinanya tersebut akhirnya pada November 1946 Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).

Berlayar Dua Bulan ke Jawa

PKII berperan penting dalam menumbuhkan dan membesarkan benih nasionalisme di tanah Papua (Irian). Di bawah ancaman kolonialisme Belanda, aktivitas PKII dinyatakan ilegal.

Dalam kondisi itu, Papare dan kawan-kawannya terus berjuang di bawah tanah. Dalam tekanan Belanda yang ketat itu anggota PKII terus bertambah. Pada tahun 1949 PKII tercatat memiliki anggota 4.000 orang.

Infografik Silas Papare.
info gambar

Keberanian Silas Papare dalam mendirikan PKII membuatnya kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Hanya saja ketika hendak dijebloskan ke penjara di Biak, ia berhasil meloloskan diri.

Tujuan pelarian Silas ialah Yogyakarta yang menjadi basis perjuangan pejuang Indonesia. Silas menempuh perjalanan menuju Pulau Jawa dengan berlayar selama 2 bulan. Mendengar hal itu, Presiden Sukarno terkejut menyadari ada putra Irian yang mempunyai semangat perjuangan hingga harus berlayar selama dua bulan ke Pulau Jawa demi mewujudkan keingian persatuan rakyat Irian dengan NKRI.

Menjadi Delegasi untuk Irian Barat di Perjanjian New York

Pada tahun 1951 Silas Papare membentuk Kompi Irian 17 di Markas Besar Angkatan Darat untuk mendukung politik Pemerintah di forum Internasional dalam usaha pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Konfrontasi yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari penjajah Belanda.

Silas kemudian aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus 1954.

Artikel mengenai Silas Papare.
info gambar

Pada 15 Agustus 1962 Papare diminta Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement (Perjanjian New York di Amerika Serikat) tentang Irian Barat, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat pun resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.

Sesuai dengan isi persetujuan New York, nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya. Silas kemudian diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat

Bergabungnya Irian Jaya dipertegas oleh Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia. Kemenangan tersebut sesuai dengan cita-cita perjuangan Papare dalam mewujudkan keinginan sebagian besar rakyat Irian untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

Semenjak itu, Silas Papare dikenal sebagai pelopor/penganjur/teladan atas anjurannya “I Love Indonesia”, cinta tanah air Indonesia nasionalisme yang mulia dikembangkan di Bumi Irian.

"Jangan sanjung aku, tetapi teruskanlan perjuanganku," itulah pesan yang disampaikan Silas Papare ketika memperjuangkan Irian Barat/Papua agar terlepas dari belenggu kolonialisme Belanda dan kembali ke pelukan NKRI.

Tetap Dikenang

Pada tahun 1970-an Silas Papare kembali ke tanah kelahirannya di Serui. Papare wafat di pulau kelahirannya pada 7 Maret 1978 dalam usia 60 tahun.

Namanya diabadikan menjadi salah satu kapal perang korvet Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan nomor lambung 386. Selain itu, di pelabuhan laut Serui, didirikan pula Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui.

KRI Silas Papare 386
info gambar

Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro dan Pangkalan TNI AU Silas Papare, Sedangkan di kota Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.

Oleh Pemerintah Indonesia Silas Papare dianugerahi gelar pahlawan Nasional, pada tanggal 14 September 1993 dengan dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.

Baca Juga:

Referensi: Kabarpapua.co | BIN.go.id | Bernarda Materay, "Nasionalisme Ganda Orang Papua" | Didi Junaedi, "Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang Masa" | Onnie Lumintang, P. Suryo Haryono, Restu Gunawan, Dwi Ratna Nurhajirini, "Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini