Perempuan Indonesia yang Tak Gentar Hadapi Patriarki Sosial

Perempuan Indonesia yang Tak Gentar Hadapi Patriarki Sosial
info gambar utama

Namanya Gracia Paramitah, banyak orang yang memanggilnya dengan sebutan Grace. Asli arek Suroboyo, lahir 3 April 1989 dan merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, sekaligus menjadi anak perempuan satu-satunya.

Lahir di lingkungan keluarga berpendidikan tinggi menjadi salah satu alasan Grace memiliki tekad ingin menjadi seorang profesor perempuan termuda Indonesia.

Ibunya seorang dosen, Ayahnya seorang profesor. Tidak heran kalau Grace pada akhirnya memiliki mimpi untuk menuntut ilmu sampai jenjang S3 dan ingin meraih gelar profesor.

''Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan di keluarga besarku bahwa menjadi anak sulung harus menjadi teladan. Harus menjadi role model. Kalau kakaknya sukses, adiknya pasti sukses,’’ kata Grace dalam seri webinar Patriot-Is-Me yang diselenggarakan Komunitas Historia Indonesia (01/08/2020).

Dan ternyata benar.

Grace mengaku bersyukur, ketika dia memilih S3 di luar negeri, adik dan sepupunya juga ternyata ikut kuliah ke luar negeri. Mereka sama-sama ikut merantau dan merasakan susahnya hidup di luar negeri.

''Kini aku sedang menempuh pendidikan PhD di University of York, Inggris, dan mengambil Ilmu Politik Lingkungan.''

Bukan tanpa alasan Grace memilih bidang ilmu tersebut. Dia ingat pertama kali saat masih duduk di bangku SMP dan untuk pertama kalinya pergi ke luar negeri. Tepatnya ke Perth, Australia, untuk mewakili Indonesia sebagai Putri Lingkungan Hidup.

Di sana, dia bertemu seorang diplomat diplomat Indonesia.

Melihat karismatik diplomat tersebut, Grace memberanikan dir untuk bertanya, ‘’Pak, gimana caranya bisa jadi diplomat?’’

Beliau menjawab, ‘’Kalau mau jadi diplomat biasanya ambil mata kuliah HI (Hubungan Internasional), Hukum, dan Politik.’’

Sejak saat itu dan seiring berjalannya waktu Grace memantapkan diri untuk berkecimpung di dunia politik, pendidikan, dan lingkungan.

Bukan tanpa alasan pula Grace memilih untuk ikut mengabdikan diri ke bidang pendidikan dan politik.

''Aku rasa belum banyak diplomat atau lulusan Hubungan Internasional yang tertarik dengan isu lingkungan saat aku kuliah. Tidak seperti sekarang, kala itu isu lingkungan belum seksi. Namun sejak saat itu aku bertekad untuk menggeluti bidang lingkungan.''

Sedangkan untuk bidang pendidikan, Grace tak bisa lepas dari tradisi keluarga intinya yang sangat dekat dengan dunia pendidikan.

''Aku tumbuh di keluarga yang sangat dekat dan kental akan dunia pendidikan. Aku masih ingat saat masih TK, Papa sering membawaku ke kampus. Tapi aku tidak rewel dibawa ke sana,'' ungkapnya.

Terlebih Ibunya. Grace mengaku bahwa sosok Ibu lah yang membuat dia termotivasi untuk meraih mimpinya menjadi seorang pengabdi yang peduli kepada pendidikan Indonesia.

Semua mimpi itu, Grace rangkai sedikit demi sedikit. Dimulai dengan jenjang pendidikan S1 aku mengambil bidang Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, S2 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, dan S3 Politik Lingkungan di Universitas of York.

3 Alasan Grace Kukuh Ingin Menjadi Profesor

Semua kisah dan alasan dari semua hal yang Grace perjuangkan selama ini sebenarnya sudah pernah ia tulis secara lengkap di buku berjudul Perantau Ilmu Amerika-Eropa, tepatnya di halaman 56.

Tapi pada webinar Patriot-Is-Me itu Grace bersedia membacakannya.

Begini…

Sebagai anak sulung pertama, perempuan satu-satunya dari tiga saudara, sudah menjadi hal umum bahwa peranku adalah menjadi teladan. Cita-citaku sendiri adalah profesor muda bahkan profesor termuda sebelum umur 40 tahun di Indonesia, yang ingin berkontribusi untuk bidang politik dan lingkungan hidup.

Ada tiga alasan dibalik keinganku ingin menjadi profesor.

Pertama, jumlah profesor perempuan di Indonesia masih terbatas. Menurut data Kementerian Tinggi Riset dan Teknologi, tahun 2017, ada sekitar 22 ribu orang Indonesia sudah lulus doktor. Dari 22 ribu hanya 5 ribu yang bergelar profesor. Dan dari 5 ribu hanya 250 atau kurang dari 300 orang yang menjadi profesor perempuan.

Kedua, jumlah profesor perempuan di bidang politik masih sangat minim. Aku sangat berprinsip kalau perempuan punya hak, kesempatan, dan kapasitas yang sama untuk menimba ilmu setinggi mungkin. Profesi dosen sudah kujalani sejak 2013 dan aku mantap menempuh jenjang ketiga demi mengisi kekosongan kuota profesor perempuan tersebut.

Ketiga, untuk menjadi profesor harus banyak menulis, melakukan penelitian, mengajar, dan melakukan pengabdian masyarakat. Ini semua terangkum dalam peraturan Kemendikbud yang disebut Dharma Bhakti.

Karena adanya tuntutan yang cukup banyak, aku menilai kapasitas ini perlu diperluas hingga mancanegara. Keputusanku untuk menempuh S3 di luar negeri sudah bulat dan aku siap untuk menerima segala konsekuensinya.

Termasuk pandangan sosial di Indonesia bahwa perempuan berpendidikan tinggi susah mendapatkan jodoh atau tidak begitu penting bagi masa depannya.

''Akibat'' kekukuhannya mengejar mimpinya, Grace juga menceritakan soal perjalanan cintanya yang tak luput dari perjalanan wanita.

Batal Menikah

''Sebenarnya awal tahun 2018 seharusnya aku sudah menikah. Sayang, bagi dia—calon suamiku saat itu—pendidikan PhD yang aku jalani dianggap menjadi batu sandungan yang akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi menikah,'' aku Grace.

Grace menilai bahwa dia sudah mengorbankan banyak hal untuk meraih mimpi sampai menempuh pendidikan PhD seperti sekarang. Ketika berada di persimpangan jalan, Grace memutuskan bahwa hidupnya berjalan dan tidak boleh berhenti sampai di sini.

''Dan jalan itu adalah jalan hidup yang seharusnya mengarah kepada mimpiku.''

Pada hari keputusan Grace batal menikah, seminggu kemudian dia seharusnya sudah langsung memulai penelitiannya. Dia harus mencari data dan melakukan wawancara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, terkait dengan isu lingkungan yang akan dia bahas dalam penelitiannya.

''Di hari pertama aku sampai di Palangkaraya, pikiran dan hatiku benar-benar tidak karuan. Aku manusia biasa. Aku perempuan biasa. Kejadian satu minggu lalu membuat aku... Hari itu aku benar-benar merenung,'' katanya.

Meski begitu, bagaimana pun caranya hidupnya harus terus berjalan. Dia harus menyelesaikan apa yang sudah dia mulai untuk menggapai cita-citanya.

''Tuhan ada bersamaku. Aku beruntung tumbuh di keluarga yang religius.''

Seiring bertambahnya usia, Grace tidak menafikan bahwa patriarki sosial itu kerap ''menghadangnya''. Ketika dia sudah semakin dekat akan cita-citanya, semakin banyak pula yang seolah ingin mematahkan apa yang aku perjuangkan sejak lama.

‘’Terus kapan nikahnya? Udah kepala tiga, loh!’’ adalah sebuah ungkapan yang kerap ia terima.

''Aku berpendapat, seorang pendamping hidup sejatinya akan mendukung apa yang selama ini aku perjuangkan. Aku sendiri tidak mungkin akan lupa kalau suatu saat nanti aku pasti berkeluarga, punya anak, jadi seorang ibu, dan pasti dipasangkan dengan seseorang yang mendukung cita-citaku yang tidak boleh putus di persimpangan jalan.''

Di sela-sela perbincangan itu, Grace selalu mengutip pepatah dari seseorang di Afrika yang mengatakan, ‘’If you educate a man, you build a man. But if you educate a woman, you build a generation, you build a nation.’’

''Ketika perempuan diberikan pendidikan yang layak, maka perempuan itu akan melahirkan dan mencetak generasi-generasi baru sebuah bangsa yang akan lebih hebat dari dirinya sendiri.''

''Aku pun percaya bahwa kehidupan bukanlah sebuah perjalanan dalam kegelapan, melainkan jalan terang yang membahagiakan. Itulah sebabnya aku selalu menerima bahwa perjalanan PhD ini tidak akan mudah.''

Grace sudah menerima jalan hidupnya sekarang. Segala kesulitan, nilai kuliah buruk, tidak lulus, sampai patah hati, itu sudah menjadi bagian pelengkap untuk memenuhi perjalanan hidupnya. Semua itu menuntut dirinya untuk terus bergerak konsisten.

''Patriarki itu bukan hanya sekadar konstruksi sosial. Patriarki itu terjadi secara lahiriah dan historikal. Akan selalu terjadi secara turun temurun, tapi patriarki bisa diubah tanpa mengurangi kodrat seorang perempuan.''

''Berbaurlah dengan gagal. Kegagalan jangan jadikan kegelapan. Justru itu jadi batu loncatan. Justru itu harus dirangku dan kita terima,'' pungkas Grace.

Dia juga ingin menyadarkan kepada seluruh perempuan Indonesia untuk tetap bermimpi dan bercita-cita.

Ingatlah pepatah seseorang dari Afrika tadi, bahwa perempuan hebat sedang membangun sebuah generasi yang hebat. Jangan pantang terseret ketika harus jatuh. Jangan berhenti!

--

Sumber: Patriot-Is-Me, Komunitas Historia Indonesia

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

DY
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini