Cornel Simanjuntak, Maju Tak Gentar sebagai Seniman dan Prajurit

Cornel Simanjuntak, Maju Tak Gentar sebagai Seniman dan Prajurit
info gambar utama

Kawan GNFI pasti setuju kalau dikatakan sebagian basar orang Batak jago banget dalam bermusik. Sejak dulu hingga kini, orang Batak di Indonesia banyak yang terjun di dunia musik.

Orang Batak yang mewarnai belantika musik Indonesia sebagian besar menjadi penyanyi. Lain daripada itu, ada juga yang menjadi komposer atau penulis/penggubah lagu.

Salah satu yang menjadi komposer termahsyur ialah Cornel Simanjuntak. Putra asli Batak satu ini aktif berkarya pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia.

Tak hanya mengedepankan karya, Cornel juga angkat senjata ketika perang pecah pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia. Cornel menciptakan sejumlah lagu pembakar semangat, salah satunya "Maju Tak Gentar". Dari situ, predikat musisi revolusioner pun diberikan padanya.

Diharapkan Menjadi Guru

Cornel Simanjuntak lahir dari rahim ibunya yang bernama Rumina Boru Siahaan di desa Tambunan, Pematang Siantar, Sumatra Utara pada 1921. Ayahnya yang merupakan seorang polisi, Tolpus Simanjuntak, memiliki karakteristik berbadan tinggi besar, keras, dan kuat watak pribadinya.

Cornel merupakan anak tertua dari sembilan bersaudara, tujuh laki-laki dan dua perempuan. Sebagai penganut agama Roma Katolik, ia sangat taat beribadah dan juga hormat terhadap orang tuanya.

Sebagai putra sulung, Cornel ditempa untuk lebih bertanggung jawab terhadap keluarga terutama kepada adik-adiknya. Orang tuanya sangat berharap pada Cornel bisa meningkatkan derajat keluarga.

Pernah bekerja di kepolisian kolonial, tidak membuat Tolpus menginginkan Cornel meneruskan jejaknya. Alih-alih menjadi polisi, Tolpus menginginkan anak pertamanya menjadi seorang guru. Hal itu dianggap wajar karena pada saat itu profesi guru menjadi suatu kebanggaan bagi banyak kalangan di Indonesia tak terkecuali orang Batak.

Rumah Cornel Simanjuntak yang terletak di Desa Tambunan, Tong Marimbun, Kota Siantar, di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.
info gambar

Selama bersekolah, Cornel Simanjuntak dikenal oleh para sahabatnya sebagai anak yang cerdas, pemberani, jujur, dan tidak segan membela kebenaran. Namun, sifat pendiam lebih menonjol dari pemuda Batak satu ini.

Sejak kecil senang berolahraga, tetapi bakat seni yang terpendam dari dirinya lebih berkembang. Saat bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, sekolah Belanda untuk bumiputera, setara SD) di St. Fransiscus Medan misalnya, Cornel sudah dikenal andal memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu Barat yang ia dengar di radio dan film.

Bakat Musiknya Berkembang di Kolese Xaverius Muntilan

Cornel Simanjuntak diizinkan orang tuanya merantau ke Pulau Jawa setelah lulus dari HIS pada 1937. Hollandsche Indische Kweekschool (HIK, sekolah guru) St. Xaverius College (Kolese Xaverius) Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin pastor-pastor Jesuit adalah tujuannya.

Kolese Xaverius Muntilan sendiri merupakan kolese pertama yang berdiri di Indonesia sejak 1904. Pendirinya sekolah ini ialah Pater van Lith, SJ. Murid-muridnya saat itu menganggap Van Lith sebagai seorang Belanda berhati Jawa (waktu itu negara Indonesia belum berdiri) karena menaruh perhatian lebih pada pribumi. Kolese Xaverius tidak pernah meminta murid-muridnya menganut Katolik, karena fokus Van Lith ialah mendidik masyarakat Jawa untuk menjadi guru.

Fasilitas musik yang ada di HIK Kolese Xaverius Muntilan sangatlah mendukung kemajuan musik pada saat itu. Tak heran, kemampuan olah musik Cornel Simanjuntak mulai berkembang pesat karena fasilitas yang tersedia di Kolese Xaverius Muntilan ini. Salah seorang sahabatnya di Kolese Xaverius Muntilan, Binsar Sitompul lewat Cornel Simanjuntak: Komponis, Penyanyi, Pejuang, menyebut Cornel sebagai murid yang cerdas, pemberani, jujur, dan tidak pernah enggan membela pendiriannya.

Xaverius College di Muntilan sekitar tahun 1925.
info gambar

Secara formal, Cornel Simanjuntak belum pernah mengikuti pendidikan musik. Satu-satunya pendidikan musik yang pernah diterimanya hanya berupa pendidikan ekstrakurikuler musik yang terdapat di Kolese Xaverius.

Bermusik lewat ekstrakurikuler merupakan keistimewaan di Kolese Xaverius. Para pengajar mewajibkan para siswa mendalami alat musik simfoni yang sudah tersedia. Kondisi inilah yang membuat Cornel Simanjuntak menggali bakat seni musiknya.

Kebetulan, di Kolese Xaverius Muntilan saat itu ada seorang pengajar musik andal bernama Pater J. Schouten. Sosok Schouten sangat berpengaruh bagi Cornel Simanjuntak. Ia dikenal sebagai pengajar yang senang berbagi dengan siswanya. Jika sedang tidak sibuk, ia biasanya mengajak beberapa siswanya—termasuk Cornel—yang dinilai berbakat untuk menggembleng pengetahuan musik mereka.

Orkes Simfoni Kolese Xaverius pada 1939.
info gambar

Menurut cerita Binsar Sitompul, Cornel langsung menjadi perhatian Schouten berkat bakat musiknya yang menonjol dan suaranya yang bagus. Cornel pun terlibat dalam kelas musik Schouten. Di situlah Cornel berkenalan dengan komposer-komposer besar dunia, termasuk Beethoven atau Franz Schubert. Salah satu lagu Franz Schubert, "Ave Maria", menjadi lagu kesukaan Cornel.

Dalam kegiatan orkes simfoni, Cornel memainkan biola alto, lalu beralih menjadi pemain biola. Karena perkembangan bermain musiknya cepat ia lalu ditunjuk oleh Schouten sebagai konsertmaster pada orkes kebanggaan Kolese Xaverius yang berjumlah 60 orang. Kelompok ini sering memainkan karya Beethoven, Bach, Haydn, Strauss, dan Wagner.

Cornel juga melahap karya-karya sastra di sekolah ini. Beberapa karya pujangga Indonesia dilahapnya seperti; Amir Hamzah, Sanusi Pane, JE Tatengkeng, dan Sutomo Djauhar Arifin. Cornel muda juga makin keranjingan membaca karya sastrawan luar negeri dengan membaca karya-karya Goethe, Schiller, Heine, dan Shakespeare.

Kerja di Lembaga Buatan Jepang Lalu Berjualan Arang

Pada 1942, pasukan fasis Jepang masuk ke Pulau Jawa. Kehidupan di beberapa daerah termasuk Magelang menjadi kacau. Kegiatan sekolah dihentikan karena para pastor ditawan Jepang.

Cornel Simanjuntak yang sedang menempuh tahun pendidikan terakhir yang seharusnya ujian langsung dianggap lulus. Berbekal ijazah darurat, Cornel bisa menjadi guru di Magelang.

Sempat menjadi guru di Magelang, tetapi tak lama. Ia berhenti dan sempat tak ada kabar.

Cornel rupanya pindah pindah ke Jakarta pada 1943. Sempat menjadi guru di SD Van Lith, tetapi karena bakat seninya lebih menonjol ia kemudian bekerja di Kantor Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho). Di Ibu Kota, Cornel bergaul dengan seorang komponis Jepang, Nobuo Lida. Di lembaga ini ia juga ditugasi membuat lagu-lagu propaganda. Banyak lagu diciptakannya: "Menanam Kapas", "Menabung", "Bekerja", "Bikin Kapal, "Asia Sudah Bangun", "Hancurkan Musuh Kita", "Awaslah Inggeris dan Amerika", dan "Mars Pasukan Sukarela".

Bekerja dengan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia membuat Cornel dikecam oleh para aktivis anti-Jepang. Namun Cornel punya alasannya. Menurutnya lewat lembaga buatan Jepang ia bisa mendidik rakyat Indonesia.

''Ini bukan lagi khianat. Tetapi saya telah meniadakan diri saya sendiri. Jangan lihat keindahannya, melainkan hasilnya sebagai sesuatu yang berfaedah: mendidik rakyat untuk mengenal tangga nada yang lebih kompleks,'' ujarnya seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam Lirik, Laut, Lupa: Asrul Sani dan Lain-lain, Circa 1950.

Binsar sebagai sahabat mengerti maksud Cornel. Keinginan Cornel adalah tetap berkarya demi dirinya dan bangsa, jadi daripada dibungkam lebih baik ia mengikuti apa yang Jepang inginkan.

''Cornel membuat lagu-lagu propaganda Jepang hanyalah untuk menjaga agar kesempatan mencipta tetap terbuka, sesuai dengan keinginannya sendiri. Selain itu juga agar tetap terbuka saluran baginya untuk menyiarkan hasil-hasil karyanya kepada masyarakat luas melalui radio,'' tulis Binsar.

Infografik Cornel Simanjuntak
info gambar

Pada akhir 1944, di bawah tekanan Jepang kehidupan rakyat Indonesia semakin terpuruk. Banyak orang kelaparan hingga meninggal karena beras susah didapat. Kesulitan itu juga dialami komponis Cornel Simanjuntak dan kawan-kawannya di Jakarta.

Cornel memang punya uang dari hasil kerjanya di Keimin Bunka Shidosho, tetapi itu belum cukup. Uang yang diperolehnya tidak bernilai, pedagang beras bahkan lebih suka menukar berasnya dengan barang berharga ketimbang uang. Oleh karena itu, Cornel lebih memanfaatkan honor yang ia dapat untuk membeli buku dan pakaian bekas.

Agar dapur tetap ngepul, Cornel bersama dua temannya Binsar Sitompul dan Gayus Siagian menjual arang. Mereka pun punya siasat agar arangnya cepat laris, yaitu menawarkan pada kenalan terdekat.

Salah satu sasaran Cornel ialah sesama pencipta lagu, Ibu Sud, yang tinggal di kawasan Menteng. Padahal belum ada persetujuan dari Ibu Sud, tetapi mereka sudah menurunkan dan mengangkut arang ke dapur si empunya rumah.

Maklumlah, Cornel sudah kenal Ibu Sud sejak lama. Cornel banyak belajar musik dari Ibu Sud sejak pindah ke Jakarta. Ibu Sud menjadi orang pertama yang siap mendengar bila Cornel membuat lagu baru. Selain itu, Ibu Sud juga yang menganjurkan Cornel mengikuti les menyanyi pada Ny. Kempers, seorang guru musik berkebangsaan Belanda.

Ciptakan Lagu Patriotik Saat Perang Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, api revolusi menggelora di setiap pemuda dan rakyat di mana saja. Cornel saat itu pun vakum sementara dari dunia musik karena memilih angkat senjata.

Asrul Sani, seorang sastrawan Indonesia, sangat akrab dengan Cornel. Pernah suatu ketika keduanya bertemu pada masa revolusi itu. Saat itu, Cornel berucap kepadanya, ''Kalau Saudara hendak mencari saya, jangan cari di rumah. Saya ada di markas API (Angkatan Pemuda Indonesia), Menteng 31. Buat sementara waktu saya meninggalkan musik. Saya sekarang merasa bebas sebebas-bebasnya dan dengan kebebasan yang saya perdapat ini saya tentu akan dapat menghalang jiwa saya. Saya tidak ingin perasaan kebebasan itu hilang. Kalau kemerdekaan kita diambil orang, ia pun akan turut hilang. Sekarang ada pertempuran untuk kebebasan ini. Saya tersangkut dalamnya.''

Tempat berkumpulnya para pejuang muda angkatan 45 di Menteng 31. Gedung ini kini menjadi Gedung Joang 45 yang digunakan sebagai museum atau tempat diselenggarakannya seminar kebudayaan.
info gambar

Pada akhir Desember 1945, Cornel bertempur melawan serdadu Belanda di Tangsi Penggorengan. Cornel juga disebut memimpin pasukan di daerah Tanah Tinggi. Menurut Binsar, ketika baku tembak di daerah Senen, peluru menembus paha Cornel sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Ia kemudian dirawat di CentraalBurgerlijke Ziekenhuis (CBZ) yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Selang beberapa hari, tersiar kabar Belanda hendak menggeledah rumah sakit dan menangkap pemuda-pemuda yang terluka. Cornel lalu mengungsi ke Karawang. Dari Karawang ia dikirim ke Yogyakarta. Di kota inilah kemudian lahir lagu-lagu yang heroik dan patriotik, di antaranya ialah; "Tanah Tumpah Darah", "Sorak-sorak Bergembira", "Maju Tak Gentar", "Pada Pahlawan", "Teguh Kukuh Berlapis Baja", "Indonesia Tetap Merdeka".

Di Yogyakarta, kesehatan Cornel menurun dan mulai mengidap penyakit paru-paru. Batuk kering yang dideritanya tak berkesudahan. Badannya melemah dan tubuhnya terus menyusut. Ia pun dirawat di di Sanatorium Pakem, Yogyakarta. Sembari diopname, Cornel terus berkarya, terus melahirkan lagu-lagu perjuangan untuk membakar semangat heroik kaum muda.

Setelah delapan bulan dirawat, Cornel yang masih berusia 25 tahun mengembuskan nafas terakhir pada 15 September 1946. Ia dimakamkan di Pemakaman Kerkop Yogyakarta.

Menurut rekannya sesama pejuang, Karkono Kamajaya, menjelang ajal Cornel masih sempat menulis lagu bernama Bali Putra Indonesia. Namun, lagu yang ditulis dengan irama gamelan itu belum selesai.

Radio Republik Indonesia (RRI) menayangkan kisah perjalanan hidup dan pencapaian Cornel Simanjutak semasa hidupnya.
info gambar

Dalam laporan Majalah Tempo edisi 2 Desember 1978 lewat artikel "Menggali Tulang Pahlawan", tulang Cornel Simanjuntak digali untuk dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogyakarta.

Hanya saja ada kendala yang menghalangi karena beberapa instansi meminta data-data berupa bintang jasa yang ada. Semasa hidupnya, Cornel tidak mengantongi persyaratan itu. Ia hanya mewariskan tanda kehormatan Piagam Satya Lencana Kebudayaan yang dianugerahkan pemerintah pada 1961.

Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogyakarta.
info gambar

Letnan Kolonel Suharsono S., Komandan Kodim 0734 Yogya, menganggap Satya Lencana itu setingkat dengan Bintang Gerilya atau penghargaan lainnya. Jadi bisa dipakai sebagai tiket masuk Taman Makam Pahlawan asal ada izin keluarga. Usul yang digalang para seniman yang tergabung dalam Sasana Vocalia Yogya pimpinan Suyudono Hr tersebut, akhirnya jadi lancar ketika KSAD Jenderal Widodo memberikan persetujuannya. Dari Kerkop, kerangka sempat diinapkan di Art Gallery Senisono di samping Gedung Agung.

Serentetan tembakan salvo mendampingi prosesi penguburan kembali sisa-sisa jasad Cornel Simanjuntak di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Adik Cornel, Blucher Simanjuntak, yang mewakili keluarganya tidak bisa menahan tangis ketika melihat proses pemakaman itu. Ia mengaku, jika saja Cornel dimakamkan di Sumatra, belum tentu acara kehormatan seperti yang disaksikannya hari itu bisa terlaksana.

''Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air,'' demikian kalimat di batu nisan Cornel Simanjuntak, sang komponis yang menggerak semangat prajurit Indonesia lewat karyanya.

--

Baca Juga:

--

Referensi: Java Bode | Majalah Tempo | Binsar Sitompul, "Cornel Simanjuntak: Komponis, Penyanyi, Pejuang" | Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, "Sejarah Nasional Indonesia, Volume VI" | Departemen Pendidikan Nasional, "Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan, Volume 5" | Susilo, Y. Edhi, "Pengaruh Musik Romantik Barat Terhadap Perkembangan Musik Romantik Indonesia"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini